Benarkah makanan punya agama?
Meminjam istilah Abdurrahman Wahid, hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Di dalam mengangungkan Tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia denganNya, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara massif. Dapat kita lihat dalam ikon-ikon seperti patung, lukisan, atau prosesi-prosesi bersejarah seorang wakil Tuhan yang diutus ke bumi. Tetapi untuk persoalan makanan nampaknya kasus tersebut jarang terjadi.
Perihal keharaman suatu zat dalam perspektif Islam, seperti babi, adalah mutlak. Tetapi perihal apakah ada suatu makanan yang menjadi milik (hak prerogatif) agama tertentu sepertinya tak ada referensi mengenai hal tersebut. Poinnya adalah di manakah batas demarkasi yang jelas antara agama dan budaya? Tak ada bedanya dengan pertanyaan apakah gamis hanya milik Islam dan koko hanya milik Tionghoa?
Dalam tulisan sebelumnya, sudah diuraikan bahwa makanan-dengan beragam jenis bentuknya adalah hasil dari olah kebudayaan. Tetapi bisakah suatu kebudayaan mempakemkan hal tersebut? Lalu menggunakan agama sebagai legitimasi? Saya kira hal tersebut masih memiliki ruang untuk diperdebatkan. Saya jadi teringat sebuah kasus yang hampir sama beberapa tahun lalu ketika ada beberapa youtuber yang membuat video memasak daging babi bersama kurma. Apakah kurma memiliki agama?
Para pengambil kebijakan di negara ini seringkali berada di dalam situasi yang begitu plin plan. Terutama ketika hal-hal tersebut bersentuhan dengan isu SARA. Fatalnya, lumrah kita melihat bagaimana ormas seringkali menyetir (menekan) kebijakan negara menggunakan berbagai jubah mitologi. Respon MUI di atas sudah sangat mewakili yang saya maksudkan.
Gimmick politik yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur yang menghimbau agar restoran-restoran padang diberi label halal adalah sebuah kerancuan berpikir yang semestinya tidak dilakukan seorang gubernur.
Istilah halal sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti “memperbolehkan”. Secara sederhana, makanan halal berarti makanan yang bukan haram atau tidak diperbolehkan. Lalu perihal makanan haram, setidaknya terdapat empat kategori umum yang dijadikan patokan. Pertama adalah bangkai, kecuali ikan dan belalang, kedua adalah darah, ketiga adalah daging babi, dan keempat adalah makanan yang disembelih dengan tidak menyebut asma Allah.
Tidak hanya terbatas pada empat kategori umum tersebut, makanan halal juga harus mengandung empat hal berikut. Pertama, halal zatnya, Kedua halal cara memperolehnya, ketiga halal cara memprosesnya, dan keempat halal cara menyajikan, mengantarkan serta menyimpannya.
Apakah halal yang dimaksud kehebohan nasi padang babi di atas adalah hanya sebatas zat yang dikandungnya? Lalu bagaimana dengan cara memperoleh makanan itu sendiri? Saya ulangi kembali bahwa proses memperoleh makanan, dari teknik produksi, distribusi hingga konsumsi adalah produk kebudayaan.
Jika memang kebudayaan yang dimaksud tersebut telah sepenuhnya bersandar pada agama, bagaimana cara mengontrol keseluruhan proses tersebut? Bagaimana memastikan bahwa setiap daging yang disajikan telah disembelih dengan asma Allah? Bagaimana memastikan bahwa keseluruhan bahan yang digunakan diperoleh dengan cara yang baik?
Lalu bagaimana MUI menjawab perihal pangan yang diproduksi dari hasil merampas lahan-lahan para petani? Pangan-pangan yang diproduksi dari hasil mencemari kehidupan masyarakat adat? Pangan-pangan yang dihasilkan dari mempekerjakan anak di bawah umur? Buktinya banyak pangan yang dihasilkan dari proses tersebut tapi masih mendapat stempel halal dari MUI. Bukankah halal bukan hanya berbicara persoalan zat tetapi juga cara memperolehnya? Mengapa MUI tak pernah “ribut” di persoalan yang lebih mendasar tersebut?
Di sinilah yang dimaksud Abdurrahman Wahid bahwa agama dan kebudayaan bersifat ambivalen. Terdapat ruang kosong di antara dua hal tersebut dan manusia diminta untuk mencari titik temu di antara keduanya. Bagaimana melerai ketegangan yang selalu dan sering terjadi antara agama (sebagai jaringan aturan) dan kebudayaan (sebagai proses perubahan). Bahwa benar ada kebudayaan yang gemar mengonsumsi babi, bahwa benar ada agama yang melarang mengonsumsi babi. Bagaimana mempertemukan kedua hal tersebut seringkali menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat.
Kebudayaan secara esensial hadir untuk meninggikan derajat manusia dan memanusiakan manusia, begitupun agama. Jika kedua esensi tersebut mampu dipertemukan maka konflik yang sifatnya remeh temeh tak akan terjadi. Penyelesaiannya tak akan pernah berhasil jika negara justru hadir terlalu jauh dengan membawa segmentasi dari salah satu pihak yang sedang “berkonflik”. Sudah menjadi tugas kita semua untuk menjembatani ketegangan antara agama dan kebudayaan. Menemukan jalan tengahnya adalah proses panjang yang akan terus mengiringi proses demokratisasi di negeri ini.
Lalu, masihkah kita bertanya, “apakah makanan punya agama?” (AN)