Islam dengan Alquran sebagai kitab sucinya dalam catatan sejarah agama-agama besar dunia adalah yang termuda. Yahudi dengan Taurat atau Perjanjian Lama dan Nasrani dengan Injil atau Perjanjian Baru adalah agama samawi yang ada jauh sebelum Islam dikenal seperti sekarang ini. Ibrahim a.s. sendiri sebagai bapak monoteisme tidak meninggalakan ajaran yang tertuang dalam agama formal.
Sketsa kronologi yang demikian memberikan dampak bagi keselamatan eksklusif pemeluk agama Islam. Ajaran-ajaran yang tertuang dalam Alquran dinilai sebagai risalah pamungkas yang menghapus dua kitab suci samawi seiring dengan diutusnya kembali Sang Nabi. Wahyu Tuhan dipergunakan sebagai legitimasi meski tidak lebih dari pendapat seorang mufasir sendiri.
Pertanyaan apakah agama-agama lain tergantikan ditegaskan oleh Abdulazis Sachedina dengan jawaban “tidak diragukan bahwa Alquran bersikap diam menghadapi persoalan penggantian terhadap agama-agama Ibrahim terdahulu karena lahirnya Muhammad. Tidak ada pernyataan dalam Alquran, langsung atau tidak langsung, yang mengesankan bahwa Alquran memandang dirinya sendiri sebagai pengganti terhadap kitab-kitab sebelumnya”.
Pandangan yang mengatakan bahwa kedatangan Islam adalah menggantikan agama Yahudi dan Kristen umunya didasarkan pada teori naskh atau abrogasi. Menurut Sachedina Wahyu yang sama dengan wahyu yang sedia kala sedikit demi sedikit telah dikirim kembali sehingga dengan sendirinya seolah melengkapi dan sekaligus menghapus wahyu-wahyu sebelumnya.
Teori abrogasi sendiri dipandang oleh Sachedina sebetulnya adalah seperti tidak pada tempatnya. Menurutnya penting untuk diingat bahwa Alquran memperkenalkan gagasan naskh (abrogasi) berkaitan dengan perintah-perintah hukum yang diungkapkan dalam ayat-ayat tertentu di mana suatu aspek hukum dikatakan telah dihapus atau digantikan oleh ayat yang lain. Dengan begitu, menyerukan naskh dalam hubungannya dengan sikap Islam terhadap agama-agama Ibrahim sebelumnya, sebetulnya, adalah tidak konsisten.
Kenyataan bahwa teori abrogasi diterima oleh sebagian kalangan sendiri menurut Sachedina terkait dengan suatu hadis yang diceritakan dalam banyak kitab tafsir awal tentang Q.S. 3.85 yang menyatakan bahwa tidak agama di sisi Allah selain Islam. Hadis tersebut dinilai bermaksud menyatakan bahwa Q.S. 3.85, yang diturunkan setelah Q.S. 2.62, sebenarnya menghapus janji Allah pada orang-orang yang beramal saleh di luar Islam seperti tertuang dalam Q.S. 2.62.
Lebih jauh Sachedina mengatakan bahwa umat Islam, karena memiliki sumber ketentuan-ketentuan agama dan etika yang independen, yakni Alquran yang berbahasa Arab, disamping mengontrol struktur kekuasaan yang mengatur hubungannya dengan orang lain, sedikit perlu membangun teori tentang penentuan nasib sendiri yang terpisah dari agama-agama monoteistik sebelumnya meski ia tidak pernah memutuskan hubungan teologisnya dengan sejarah keselamatan Ibrahim.
Alquran menurutnya menghubungkan pengalaman ‘ketundukan pada kehendak Tuhan (islam) kepada Ibrahim, seorang unitarian (muwahhid) yang bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi ia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali ia bukanlah dari golongan orang-orang musyrik (Q.S. 3.67). Selain itu Sachedina juga menegaskan bahwa semangat ekumenisme Alquran yang sesuai dengan agama-agama Ibrahim ini senantiasa tetap merupakan potensi laten yang dapat diuraikan dalam berbagai zaman ketika umat merundingkan hubungannya dengan kekuasaan yang menguasai nasib.
Tidak seperti mufasir klasik sebagaimana dikutip Sachedina sendiri tentang pandangan Ismail b. Umar ibn Katsir yang mengatakan tanpa ragu-ragu bahwa berdasarkan pada Q.S. 3.85, tidak ada agama selain Islam yang diterima Allah setelah Muhammad diutus, mufasir modern lebih condong mengedepankan kebebasan kehendak, kesadaran untuk melakukan kemauan yang didukung intelek manusia, agar dapat mencapi keselamatan.
Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935) misalnya, berpendapat bahwa pertanggung jawaban manusia kepada Tuhan disesuaikan dengan tingkat pengetahuan manusia tentang Kehendak Tuhan di mana manusia diberitahu melalui akal ataupun wahyu. Terlebih lagi, sebagaimana dikatakan Sachedina, janji Allah berlaku pada mereka yang menganut agama Allah ini, tanpa memandang afiliasi agama formal mereka.
Hal yang demikian menurutnya didasarkan pada keadilan Allah yang tidak menguntungkan satu kelompok dan mencelakakan yang lain. Semua umat yang percaya pada seorang nabi dan wahyu yang khusus untuk mereka, menurut Sachedina ‘mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih’ (Q.S. 2.62).
Sebagai kesimpulan atas pertanyaan apakah Islam membatalkan agama Yahudi dan Kristen, Sachedina mengatakan adalah tepat untuk beranggapan bahwa Alquran tidak melihat dirinya sebagai penghapus agama Kristen dan Yahudi. Menurutnya, beberapa mufasir klasik, yang terlibat dalam memberikan identitas umat Islam yang independen dan eksklusif serta mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai versi yang tak berubah dari wahyu-wahyu sebelumnya, telah mengembangkan tafsir tipu-muslihat untuk mengeluarkan pandangan teologis yang demikian.
Lanjut, Sachedina mengatakan, bahwa terhadap Q.S. 3.85, mereka memahami kata Islam sebagaimana kenyataan historis. Kenyataan bahwa Islam adalah agama yang dibawa oleh Muhammad. Bukan suatu nama umum (generic) untuk menunjuk pada sikap ‘ketundukan’ pada kehendak Allah. Pada saat sama, ayat-ayat yang menganjurkan toleransi terhadap ahli kitab dianggao telah diabrogasi oleh ayat-ayat yang menghendaki jihad melawan mereka.
Bagaimanapun menurut Sachedina pada akhirnya adalah kepercayaan pada Tuhan yang telah ‘menanamkan dalam hati manusia’ nilai-nilai obyektif yang universal (Q.S. 9.18), dan mencakup semua manusia meskipun mereka mengikuti jalan-jalan tertentu yang diberikan pada mereka. Alquran memuji orang-orang yang terus buat kebajikan sebagaimana tertuang dalam Q.S. Al-Maidah ayat 48.