Tanya:
Para penceramah yang sering kali saya dengar, di antara mereka ada yang menyerukan agar seorang muslim senantiasa waspada kepada non-muslim. Kalangan non-muslim yang mereka sebut kafir itu, kata mereka, selalu berusaha untuk melemahkan umat Islam. Dengan demikian, sikap seorang muslim mesti harus selalu memusuhi non-muslim. Benarkah Islam mengajarkan untuk memusuhi dan membenci kaum non-muslim?
Jawab:
Diakui atau tidak, sebagian dari penceramah kita ada yang menyebarkan narasi dakwah yang kiranya mengajak pada permusuhan, khususnya pada non-muslim. Soal permusuhan kepada non-muslim ini, mereka kerap merujuk pada sikap Rasulullah yang tegas pada kaum kafir dalam peperangan dan dalam penegakan hukum Islam.
Para penceramah ini memiliki dalil yang menjadi legitimasi mereka dalam menanamkan sikap curiga juga permusuhan kepada non-muslim dari ayat-ayat Al Quran. Di antaranya adalah ayat pertama surat Al Mumtahanah berikut:
…يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…” (QS. Al Mumtahanah : 1)
Selain itu, kerap dikutip juga ayat ke-51 surat Al Maidah yang pernah populer dalam kontestasi politik beberapa tahun lalu juga menyebutkan bahwa seorang yang beriman hendaknya berhati-hati dengan kaum kafir dan tidak menjadikan mereka sekutu, berikut ayatnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan kaum Yahudi dan Nasrani menjadi ‘wali-wali’-mu.. Sebagian mereka adalah ‘wali’ bagi yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi ‘wali’, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Ma-idah : 51)
Baca juga: Benarkah Yahudi Musuh Islam?
Terkait kata awliya’, ada yang menafsirkan dengan kata ‘pemimpin-pemimpin’. Namun ia juga dapat ditafsirkan dengan arti “penolong”, “aliansi”, atau “teman dekat”. Pendapat ini dicatat oleh Muhammad ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya Tafsir ath Thabari, dan Prof. M. Quraish Shihab juga memaknai ‘para wali’ ini dengan “teman dekat dan penolong”.
Perlu dipahami bahwa asbabun nuzul ayat di atas adalah pada kondisi peperangan (ada yang menyatakan jelang perang Bani Quraizhah, ada yang menyebut jelang perang Uhud). Dalam kondisi perang yang genting, memercayai urusan-urusan strategi atau aliansi perang pada pihak yang masih meragukan untuk dipercaya, dalam hal ini kaum Yahudi dan Nasrani Madinah, cukup mengkhawatirkan. Kekhawatiran itu timbul dari beberapa babak sejarah sebelumnya ketika Yahudi dan Nasrani Madinah berkonflik dengan kaum Muslimin. Meski telah diatur oleh pakta damai, namun Rasulullah dan para sahabat masih berhati-hati akan beragam kemungkinan yang tidak diinginkan.
Selain dua ayat di atas, ayat lain yang dirujuk dalam sikap bermusuhan dengan non-muslim adalah dalam Al Fath ayat 49 berikut:
…مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ
Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”
Ayat di atas jika dipahami parsial dapat menjadi dasar untuk muslim memusuhi non-Muslim atau sesama Muslim dinilai menyimpang. Bahkan, “bersikap keras” makna lafal ‘asyidda’ di atas yang ditujukan kepada orang kafir akan dipahami sebagai permusuhan, bahkan kekerasan fisik.
Sebab turunnya ayat di atas adalah ketika Rasulullah sedang bersikap ‘lunak’ kepada kaum kafir dalam pembuatan kesepakatan usai Perang Hudaibiyah. Namun, sebagaimana ditunjukkan lafal asyiddau ‘alal kuffar, para sahabat yang membersamai Nabi mesti bersikap tegas dan keras pada kaum kafir dalam konteks perang. Jika mereka tidak tegas, mereka bisa saja diperdaya ketika berpolemik dan membuat kesepakatan-kesepakatan pasca perang Hudaibiyah tersebut.
Baca juga: Bolehkah Mengajarkan Al-Quran kepada Non-Muslim
‘Ala kulli hal, hal yang harus dicatat terkait ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan keharusan memusuhi non-muslim erat kaitannya dengan konflik kaum muslimin. Permusuhan itu sifatnya strategis dalam perang, dan bukan permusuhan personal yang penuh dendam. Dalam beragam kisah sirah nabawiyyah, Nabi juga disebutkan banyak berkawan dan bekerja sama dengan non-muslim.
Selain itu, jelas keliru untuk memusuhi tetangga dan kerabat kita yang tidak seagama dengan kondisi hari ini di Indonesia yang plural, komunal, serta memerhatikan betul kohesi masyarakat. Jangan sampai agama yang kita yakini mengoyak kohesi antar masyarakat yang telah terbentuk dari masa ke masa. Kerukunan sosial tidak mungkin lahir dari sikap penuh curiga antar sesama manusia yang berbeda agama, apalagi disertai bentuk permusuhan yang nyata.
Wallahu a’lam.