Apakah Islam Kita Hanya Sebatas Islam Hafalan Belaka?

Apakah Islam Kita Hanya Sebatas Islam Hafalan Belaka?

Islam di Indonesia apakah sekadar ritual, apakah sebatas hafalan belaka?

Apakah Islam Kita Hanya Sebatas Islam Hafalan Belaka?

Seorang teman penasaran pada bagaimana orang Kristen seperti lebih khusyuk saat berdoa sebelum makan ketimbang yang Muslim. Dia ngeh betul dia tidak bisa simplifikasi, begitu juga kami, tetapi upaya introspeksi dan refleksi membawa kami pada asumsi bahwa ya, jangan-jangan memang benar: doa sebelum makan telah menjadi sebatas ritual (yang membosankan), yang buru-buru kami rapal dan selesaikan, atau bahkan kami lupakan sama sekali—seperti sering terjadi.

Proses otokritik itu bergerak ke ranah yang lebih luas. Keringnya ritual doa sebelum makan boleh jadi hanya fenomena gunung es. Kita juga bisa melihat itu di ritual shalat dan zikir dan doa. Teman saya beranggapan, apa ini karena keterlalufokusan kita pada kuantitas ketimbang kualitas? Shalat wajib lima kali sekali, duha 8 rakaat biar afdhal, tahajjud 6 rakaat, baca subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu akbar 33 kali. Tetapi kita mungkin tidak selalu mampu menghadirkan hati dan diri kita terhadap ruh shalat, terhadap bacaan-bacaan di dalam shalat, terhadap doa-doa yang kita rapalkan tergesa-gesa, terhadap zikir yang kita ulang saban waktu.

Dan itu mungkin kenapa, shalat kita, zikir kita, doa kita, tidak mendampakkan apapun bagi perbaikan akhlak dan keislamanan kita. Kita mengislami Islam kita dengan ritual-ritual yang tidak kita mengerti, dengan bacaan berbahasa Arab yang tidak kita pahami, sehingga Islam tidak membawa kita ke mana-mana. Kita tidak tiba pada esensi karena kita tidak berkesempatan membedah, mendekonstruksi, dan menyelami makna dari bacaan dan ritual yang kita kerjakan. Tiba-tiba saya jadi ingat lembah di Gunung Nur yang penuh sampah botol air minum. Kita tahu ada protokol yang berbunyi “kebersihan sebagian dari iman”. Tetapi sepertinya protokol itu menjadi sebatas protokol bahkan di jantung wahyu Islam pertama kali diturunkan. Ironis?

 

Tetapi, persoalannya boleh jadi bukan semata urusan kuantitas ibadah yang padat-banyak versus kualitas yang minim-nihil. Boleh jadi ia berhubungan juga dengan metode pendidikan dalam Islam yang menitikberatkan pada hafalan—dan dalam kondisi tertentu, tidak ditindaklanjuti dengan metode, katakanlah, critical thinking. Kita menghafal doa-doa sejak kecil, menghafal ayat suci al-Quran. Bagi santri di pesantren tradisional, salah satu tanda penguasaan terhadap suatu kitab kuning kadang diindikasi oleh seberapa hebat hafalan mereka terhadap kitab tersebut.

Dan jika kita melihat, Islam memang dirawat, dan dibesarkan, oleh tradisi hafalan—tradisi menghafal. Ketika al-Qur’an diturunkan, ia tidak dituliskan. Ia dirawat dalam hafalan dan ingatan Nabi dan para sahabat. Setiap Ramadhan Jibril ‘mengecek’ hafalan al-Qur’an Nabi. Ketika banyak hafiz al-Qur’an meninggal dalam perang, muncul urgensi untuk ‘membukukan’ al-Qur’an. Usman bin Affan merespon hal tersebut dengan membentuk tim penyusunan al-Qur’an. Satu ayat baru diverifikasi sebagai ayat al-Qur’an jika dibenarkan oleh dua/lebih hafiz.

Hafalan juga instrumental karena ia mempermudah urusan-urusan, setidaknya, ibadah mahdah kita. Sebagai contoh: kita butuh shalat setiap hari minimal 5 kali, bayangkan kalau kita tidak hafal apa yang harus kita baca. Betapa merepotkan! Islam juga mengajarkan untuk mengawali hal-hal yang baik, walaupun secara lahiriah bersifat duniawi, dengan basmalah dan doa. Bayangkan kalau kita tidak hafal? Juga akan merepotkan. Singkatnya, hafalan memungkinkan kita tidak harus membawa ‘bunga-rampai doa-doa’ ke mana-mana. Semuanya sudah ada di luar kepala.

Tetapi memang, jika kita melihat peran sentral hafalan dalam metode pendidikan Islam, dan mengaitkannya dengan fenomena keringnya ‘doa sebelum makan’ juga shalat dan zikir kita, jangan-jangan memang Islam kita berhenti di sebatas Islam hafalan. Kita menghafal doa-doa, ayat-ayat, tanpa menyadari makna yang terkandung di dalamnya. Kita bisa merapalkan ayat kursi, misalnya, tanpa mengerti apa sebetulnya rahasia di dalam ayat tersebut. Kita melaksanakan shalat, tanpa mengerti bagaimana shalat sebetulnya adalah momen ‘diskusi’ kita dengan-Nya. Shalat menjelma kewajiban yang menjemukan, zikir terasa bagai upaya buang-buang waktu, doa sebatas rapalan yang entah apa kita tidak tahu.

Ini saja sudah merupakan tantangan yang cukup berat. Belum lagi kalau kita mempertimbangkan kemungkinan bahwa Islam kita boleh jadi hanya ‘warisan’. Dalam artian, kita Islam karena orangtua kita Islam, kakek-nenek kita Islam, saudara-saudara kita Islam. Kita menerima semua itu sebagai sesuatu yang normal, sesuatu yang kita take for granted. Kita kemudian dibekali doktrin-doktrin yang kita terima begitu saja tanpa mempertanyakan. Doktrin yang disampaikan secara satu-arah tanpa interupsi dan pertanyaan, dikultivasi melalui, salah satunya, hafalan.

Jika kasusnya demikian, maka penting bagi kita untuk semakin menginsyafi pentingnya bergerak lebih dalam, membedah keislaman kita, jauh melewati permukaan hafalan, jauh melewati rapalan doa-doa. Kita harus belajar mengislami keislaman kita pada ranah makna dan substansi, pada ranah esensi, sehingga kita memenuhi goal dari dakwah Islam yang digelorakan Nabi: manifestasi insan kamil yang berakhlakul karimah dan menjadi rahmat bagi semesta. Penebar salam, pencipta kedamaian.

 

Dan kesemua itu bisa dimulai dengan memanifestasikan semangat dan filosofi tiap-tiap ritual dan ibadah mahdah kita ke dalam ibadah ghair mahdah dan relasi kita dengan diri kita, orang lain, dan alam semesta. Ambil contoh doa sebelum makan. Kita mesti belajar menjadikannya momen untuk mengucap syukur dan memohon keberkahan-Nya atas rezeki yang Beliau anugerahkan. Dengan demikian prosesi makan kita tidak lagi sekadar ‘ritual’ bikin kenyang, ia menjadi perayaan atas keberkahan hidup dan cinta kasih Tuhan dalam pri kehidupan kita hingga detail yang paling kecil dan remeh-temeh. Maha Besar Allah dengan segala keberkehendakan-Nya.  []

 

Irfan L. Sarhindi, Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting