Covid-19 terus menjangkiti warga dunia. Laporan terakhir yang kita dapatkan dari otoritas kesehatan Indonesia sampai saat ini lebih dari 7000 orang positif virus Corona, dan pada tingkat global jumlahnya sangat banyak. Ini menunjukkan jumlah penyebaran Covid-19 masih tergolong masif, sementara beberapa hari lagi umat Muslim di seluruh dunia akan menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Pertanyaannya adalah apakah Covid-19 ini bisa dijadikan sebagai uzur untuk tidak berpuasa sebagai bentuk kehati-hatian?
Pertanyaan ini muncul ke permukaan setelah adanya himbauan dari tim kesehatan di Wuhan, China, lewat buku saku yang diedit oleh Wang Zhou, MD, (Pimpinan Pusat Kesehatan Wuhan untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) dengan judul The Coronavirus Prevention Handbook; 101 Science-Based Tips That Could Save Your Life (Buku Pegangan Pencegahan Virus Corona; 101 Tips Berbasis Sains yang Bisa Menyelamatkan Hidup Anda) yang menyarankan untuk semua orang yang belum terpapar virus agar tidak berpuasa terlebih dahulu. Mungkin asumsinya adalah dengan berpuasa daya tahan tubuh seseorang akan menurun karena kurangnya pasokan makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya dalam satu hari, sehingga ia akan rentan terpapar oleh virus. Lantas bagaimana ulama menanggapi himbauan ini?
Syekh Mustafa al-Bugha, Syekh Mustafa al-Khin, dan Syekh Ali al-Syarbaji dalam karya fikih kolektif mereka, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i merumuskan bahwa uzur (halangan) puasa itu dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, uzur yang membuat muslim dilarang untuk berpuasa dan yang kedua, uzur yang membolehkan muslim untuk berbuka (tidak berpuasa). Adapun uzur yang termasuk dalam kategori yang pertama adalah uzur yang disebabkan oleh haid, nifas ataupun ditimpa penyakit ayan (epilepsi) serta junun (gila). Sementara uzur yang tergolong sebagai jenis kedua adalah uzur yang disebabkan oleh sakit yang dikhawatirkan akan berlanjut dan semakin parah jika ia memaksakan diri untuk berpuasa.
Kemudian kondisi seseorang yang sedang menempuh perjalanan jauh yang tidak kurang dari 83 km (jarak minimal bolehnya seseorang menjamak atau mengqashar salat). Lalu kondisi seseorang yang sudah lemah untuk berpuasa lantaran umur yang sudah tua atau orang sakit yang sudah tidak ada harapan sembuh berdasarkan pertimbangan ahli medis.
Dengan demikian, setiap muslim yang mengalami salah satu dari uzur-uzur yang sudah disebutkan, maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa dan wajib menggantinya sesuai dengan uzur yang ia alami berupa qadha puasa bagi mereka yang haid/nifas, membayar fidyah saja bagi mereka yang sudah lemah/uzur, ataupun mengqadha sekaligus membayar fidyah bagi perempuan hamil/menyusui yang tidak berpuasa lantaran khawatir terhadap kesehatan anaknya.
Dari sekian banyak uzur yang membolehkan seorang muslim tidak berpuasa, maka tidak ditemukan uzur yang disebabkan oleh kekhawatiran akan terkena wabah penyakit seperti Covid-19 atau yang sejenisnya. Apalagi kekhawatiran itu hanya berdasarkan asumsi yang sifatnya masih belum nyata. Kenapa belum nyata? Karena belum ditemukan bukti nyata pengaruh berpuasa terhadap sistem imun seseorang.
Justru beberapa peneliti di University of Sounthern California, sebagaimana yang dikutip oleh kompas.com, menyimpulkan bahwa rasa lapar dapat memicu sel-sel induk dalam tubuh untuk memproduksi sel darah putih baru yang dapat melawan infeksi. Hal ini mereka sebut juga dengan istilah “pembalik sakelar regeneratif” yang akan mendasari regenerasi seluruh sistem kekebalan tubuh manusia menjadi lebih kuat.
Selain itu, aturan nasional yang telah dibuat oleh pemerintah berupa keharusan untuk mengurangi aktifitas di luar rumah, menjauhi kerumunan, bekerja dari rumah serta beribadah di rumah, juga telah menutup kemungkinan berkurangnya daya tahan tubuh seseorang lantaran berpuasa. Bahkan di sebagian daerah seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Depok, sejak beberapa hari terakhir juga telah menerapkan aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang akan menutup potensi penurunan daya tahan tubuh, karena dengan aturan tersebut masyarakat diharuskan untuk tetap tinggal di rumah atau dibolehkan keluar namun dengan syarat memenuhi protokol kesehatan yang berlaku demi mencegah penyebaran Covid-19 ini.
Imam Izzuddin ibn Abd al-Salam dalam karyanya Qawaid al-Ahkam menuliskan sebuah kaidah yang sangat penting sekali terkait konsep kemaslahatan dan kemafsadatan, yaitu ketidakbolehan menegasikan kemaslahatan yang sifatnya “ghalibah” (kuat/lumrah) terjadi dengan kemafsadahan yang jarang/sulit terjadi. Artinya dalam hal ini, berpuasa di bulan Ramadhan yang merupakan kemaslahatan ghalibah dan sesuai dengan petunjuk syariat (karena setiap syariat pasti membawa kemaslahatan sebagaimana yang dikutip juga oleh Ibnu al-Qayyim dalam karyanya I’lam al-Muwaqqiin) harus didahulukan daripada kemafsadatan berupa kemungkinan tertular Covid-19 lantaran tidak makan dan minum seharian. Apalagi kemungkinan ini hanya sebatas asumsi yang tidak didukung oleh data dan fakta yang memadai.
Pendapat ini juga dipilih oleh Dewan Ulama Senior al-Azhar yang tidak melihat adanya relasi yang pasti antara penyebaran Covid-19 dengan sebab berpuasa. Sehingga mereka tetap menganjurkan umat Islam untuk tetap menjalankan ibadah puasa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Keputusan ini berbeda dengan fatwa pelarangan shalat Jum’at dan berjamaah di masjid di musim wabah seperti saat ini, karena pelaksanaannya yang menghimpun orang banyak serta membuka peluang besar penyebaran virus. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ketika kasus berbeda, maka istidlal (cara penggalian hukum)-nya juga akan berbeda. Proses ilmiah ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh mereka yang ahli di bidangnya.