Keistimewaan perjalanan Isra’ Mi’raj Baginda Nabi SAW sebagaimana tercermin dalam surat al-Isra’ ayat 1 adalah didahului dengan lafadz subhana. Selanjutnya, perjalanan itu adalah merupakan yang dikehendaki oleh Sang Khaliq sebagaimana tercermin dari lafadz asra. Perjalanan itu untuk menunjukkan derajat Nabi yang mulia di antara hamba-hamba lainnya, sebagaimana tercermin dari ayat bi ‘abdihi. Karena yang dijalankan adalah berupa hamba pilihan, maka Allah SWT menyiapkan fasilitasnya dengan kendaraan yang disebut buraq. Itu adalah empat keistimewaan Isra’ Mi’raj yang pertama dan tercermin dari surat al-Isra’ ayat 1 itu.
Keistimewaan kelima adalah tercermin dari lafadz lailan (malam). Allah SWT berfirman:
سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا
“Maha Suci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya di waktu malam hari.”
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan penafsiran ayat ini karena disertakannya lafadz lailan ke dalam bagian ayat. Perbedaan itu terletak pada persoalan “apakah perjalanan isra’ mi’raj itu dilakukan dalam kondisi terjaga, ataukah sekedar bermimpi? Pertanyaan senada juga muncul, yaitu perjalanan itu dilakukan bersamaan dengan jasadnya ataukah hanya ruhnya? Andaikan saat isra’ dengan jasadnya, maka bolehlah, namun saat mi’raj, apakah dengan jasadnya ataukah hanya ruh Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam saja? Tiga permasalahan ini menjadi bahan perdebatan yang panjang di kalangan ulama. Kali ini kita hanya mengupas salah satunya, yang berarti juga menjadi keistimewaan kelima dari peristiwa Isra’ Mi’raj sebagaimana tercermin dari Q.S. Al-Isra’ [17] ayat pertama.
Apakah Perjalanan Nabi dilakukan dalam Kondisi Terjaga dan dengan Jasadnya?
Ada dua sumber hadis yang bertentangan terkait dengan perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi SAW. Hadis pertama, bersanad dari sahabat Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu. Adapun hadis kedua, bersanad dari Ummu al-Mukminin Aisyah radliyallahu ‘anha.
Ummu al-Mukminin Aisyah radliyallahu ‘anha, mengkhabarkan bahwa Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berisra’ dengan ruhnya saja, dan tidak dengan jasadnya. Akan tetapi, sahabat Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu mengkhabarkan bahwa Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan Isra’ Mi’raj lengkap dengan jasadnya. Sebagaimana dinukil oleh al-Qurthuby (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya:
إِنَّمَا أُسْرِيَ بِنَفْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Muawiyah berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dijalankan pada malam hari (diisra’-kan) lengkap dengan jasadnya.”
Ada dilematika terkait dengan dua atsar yang saling bertentangan ini. Masing-masing punya kelemahan. Siti Aisyah ummu al-mukminin kala terjadinya peristiwa Isra’ itu, usianya masih terlalu kecil. Sementara sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan kala itu masih ada dalam kekafiran. Dilematika ini disampaikan oleh al-Qurthuby sebagai berikut:
بِأَنَّهَا كَانَتْ صَغِيرَةً لَمْ تُشَاهِدْ، وَلَا حَدِّثَتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَكَانَ كَافِرًا في ذلك الوقت غير مستشهد لِلْحَالِ، وَلَمْ يُحَدِّثْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siti Aisyah saat itu masih kecil, sehingga tidak menyaksikan secara langsung. Dan ia tidak mendapat cerita langsung dari Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun Mu’awiyah, saat itu kondisinya masih kafir, yang pasti tidak turut memberi kesaksian dalam peristiwa itu. Ia juga tidak mendapatkan cerita langsung dari Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Selanjutnya al-Qurthuby (w. 671 H) lebih menekankan agar para pengkaji yang ingin mencari kejelasannya lebih lanjut untuk merujuk pada kitab karya Qadhi ‘Iyadh.
وَمَنْ أَرَادَ الزِّيَادَةَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَلْيَقِفْ عَلَى” كِتَابِ الشِّفَاءِ” لِلْقَاضِي عِيَاضٍ يَجِدُ مِنْ ذَلِكَ الشِّفَاءَ. وَقَدِ احْتَجَّ لِعَائِشَةَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى:” وَما جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْناكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ” فَسَمَّاهَا رُؤْيَا
“Siapa yang menginginkan keterangan lebih lanjut dari penjelasanku ini, maka sebaiknya merujuk pada Kitab Al-Syifa’ Imam Qadhi ‘Iyadh. Dari kitab itu, ia bisa mendapati keterangan yang lebih jelas. Imam Qadhi ‘Iyadh berhujjah dengan hadisnya Aisyah radliyallahu ‘anha berbekal firman Allah SWT: “Dan tiada Kami jadikan ru’ya sebagaimana yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan ada manusia yang mengkufurinya.” Secara tegas dalam ayat ini dinyatakan sebagai “al-ru’ya”.”
Secara tegas, Allah SWT menyatakan dalam penggalan Q.S. AL-Isra’ [17] ayat 60 ini sebagai “al-ru’ya”. Lantas apa makna dari al-ru’ya di sini?
Dalam sebuah atsar yang dinukil dari sahabat Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan al-Tirmidzi, Ibnu Abbas menyatakan:
هي رؤيا عين أريها النبي صلى الله عليه وسلم ليلة أسرى به إلى بيت المقدس
“Al-ru’ya di sini maknanya adalah melihat dengan mata telanjang, sebagaimana hal itu disingkapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di malam Isra ke Baitu al-Muqaddas.”
Dengan demikian, sahabat Ibnu Abbas radliyallahu anhuma sependapat dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan. Lantas bagaimana dengan pendapat bahwa ru’ya tersebut adalah ru’ya fi al-naum (mimpi)? Ibnu Abbas menyatakan:
وذلك أن رؤيا المنام لا فتنة فيها، وما كان أحد لينكرها
“Jika al-ru’ya itu dimaknai sebagai mimpi, maka tidak perlu adanya fitnah, karena tiada satupun orang yang akan mengingkarinya.”
Maksudnya adalah, sebagaimana penggalan ayat Q.S. Al-Isra’ [17] ayat 60 di atas, ru’ya yang dimaksud di situ memiliki konsekuensi fitnah. Itulah sebabnya, maka yang dimaksud dengan ru’ya dalam Q.S. Al-Isra [17] ayat 60, adalah ru’ya yang identik dengan melihat menggunakan mata kepala sendiri. Dengan demikian, perjalanan isra’ itu dilakukan lengkap dengan jasad Nabi yang mulia dan tidak sebatas mimpi. Pernyataan dijalankan dengan jasad dan ditempuh dalam waktu semalam adalah lebih dekat pada memberikan nuansa ujian bagi kaum mukmin pada waktu itu serta lebih dekat dengan dijadikan sumber fitnah.