Instruksi pemerintah melakukan social distancing yang direspon oleh beberapa pemerintah daerah guna melakukan pembatasan aktifitas-aktifitas berkumpul yang melibatkan massa dalam jumlah banyak, merupakan perintah yang wajib diikuti. Karena bagaimanapun, perintah melakukan social distancing ini memiliki dasar keberangkatan dari warta ahli khubrah, yang terdiri dari anjuran dokter dan para pakar. Tidak memberi perintah menjalankan social distancing bagi pemerintah, di saat situasi masyarakat yang dipimpinnya dalam kondisi terancam, justru dapat menyeret pemerintah pada berlaku khianat terhadap hak ri’ayah menjaga kemaslahatan.
Karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, maka perintah ini menjadi masuk dan berpengaruh terhadap sebagian rutinitas kegiatan ibadahnya. Untuk kondisi saat ini, pengaruh itu nampak pada praktik shalat Jum’at dan shalat berjamaah di masjid.
Karena kondisi darurat wabah covid-19 ditetapkan kurang lebih berlangsung selama 90 hari sejak bulan maret, maka diprediksi, perintah itu berlaku hingga bulan Juni. Oleh karenanya, beberapa aktifitas lain yang akan terjadi, seperti pelaksanaan ibadah shalat tarawih, dan ibadah shalat id, atau aktifitas jam’iyah yang lain, juga diprediksi akan terkena imbasnya.
Lantas bagaimana kaidah ushuliyah menyikapinya? Ini yang menjadi fokus kajian kita. Intinya, harus terjadi social distancing. Ini adalah tujuan dasar utama, karena penanggulangan wabah itu menghendaki hal ini.
Hukum asal memberlakukan social distancing oleh pemerintah, bilamana tanpa adanya pertimbangan kondisi kemaslahatan, adalah tidak diperbolehkan. Namun seiring kondisi menghendaki berlaku hal itu, sebab adanya wabah, maka perintah pemberlakuan social distancing hukumnya bisa berubah menjadi wajib. Nah, wajib ini merupakan hukum ashal. Sebagaimana kaidah:
القاعدة الثالثة والعشرون “الواجب لا يترك إلا لواجب” وعبر عنها قوم بقولهم : “الواجب لا يترك لسنة” وقوم بقولهم “ما لا بد منه لا يترك إلا لما لا بد منه” وقوم بقولهم “جواز ما لو لم يشرع لم يجز دليل على وجوبه” ، وقوم بقولهم “ما كان ممنوعا إذا جاز وجب “
“Qaidah ke 23, “Perkara wajib tidak bisa ditinggal melainkan karena perkara wajib pula.” Para ulama lain juga menyampaikan kalimat senada dengan kaidah ini: Perkara wajib tidak bisa digantikan oleh perkara sunnah. Juga ada ibarat lain yang identik, yaitu: “sesuatu yang wajib karenanya adalah tidak bisa ditinggal kecuali wajib pula yang menjadi pengantinya”. Ibarat lain disampaikan: “Kebolehan sesuatu yang belum ditetapkan sebagai dilarang adalah dalil wajibnya sesuatu itu.” Juga ada shighat lain kaidah yang senada: “Sesuatu yang dicegah pelaksanakannya, namun ketika berubah dibolehkan, maka hukumnya menjadi wajib.” (al-Asybah wa al-Nadzair li al-Suyuthy, Juz 1, halaman 148).
Sementara itu, kita lihat pada hukum asal dari shalat Jum’at. Hukum asal dari shalat Jum’at adalah wajib, tanpa khilaf. Dasar hukum kewajiban ditetapkan berdasar dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’. Artinya, mengingkari kewajiban shalat Jum’at, hukumnya adalah masuk kategori kafir sebab landasan nashnya. Karena status wajibnya, sholat Jum’at diputus sebagai penggugur kewajiban melaksanakan shalat dhuhur dengan dasar kaidah bahwa perkara wajib hanya bisa ditinggal oleh sebab perkara wajib pula.
Saat kewajiban melaksanakan shalat Jum’at bertemu dengan kewajiban mematuhi perintah Imam, maka di sini terjadi permasalahan. Jika landasan awal pemerintah menerbitkan perintah social distancing itu adalah karena alasan wabah/penyakit (tamridl), maka yang perlu dicari adalah landasan hukum (illat) bagi seseorang yang boleh tidak menghadiri shalat Jum’at.
Ada beberapa illat, terkait dengan seseorang boleh untuk tidak menghadiri shalat Jum’at. Illat yang mu’tabar udzur Jum’at adalah karena non muslim (mawani’ jum’at), belum baligh, tidak berakal , perempuan, sakit (maridl), sedang safar, budak. Dari ketuju illat dasar ini, selanjutnya karena shalat Jum’at adalah wajib berjamaah, maka muncul illat lainnya, yaitu tidak ada teman jamaah. Di sisi lain, ada illat mu’tabar mengenai diperbolehkannya orang melakukan shalat dzuhur di rumah dan tidak menghadiri shalat Jamaah disebabkan karena hujan. Alhasil, hujan merupakan illat disebabkan dasar nash.
Karena wabah adalah berkaitan dengan penyebab kondisi sakitnya seseorang, maka selanjutnya memerlukan perincian terhadap illat sakit ini. Berdasarkan hasil perincian ini, apakah kondisi takut sakit itu bisa dijadikan sebagai illat udzur dari melakukan jum’at? Dilihat secara makna literal teks syariat, disebutkan bahwa sakit yang dimaksud oleh seseorang sehingga membuatnya terhalang dari udzur jum’ah adalah sakit yang bersifat muhaqqaq (nyata). Namun, di sisi lain, ada yang diserupakan dengan illat sakit.
Di dalam Kitab Kifayatu al-Akhyar, Syeikh Taqiyuddin al-Hushny, menjelaskan mengenai rincian illat sakit ini sebagai berikut:
وَاحْترز الشَّيْخ بِالصِّحَّةِ عَن الْمَرَض فَلَا تجب الْجُمُعَة على مَرِيض وَمن فِي مَعْنَاهُ كالجوع والعطش والعري وَالْخَوْف من الظلمَة وأتباعهم قَاتلهم الله مَا أفسدهم للشريعة وَحجَّة عدم الْوُجُوب على الْمَرِيض الحَدِيث السَّابِق وَالْبَاقِي بِالْقِيَاسِ عَلَيْهِ وَفِي معنى الْمَرِيض من بِهِ إسهال وَلَا يقدر على ضبط نَفسه ويخشى تلويث الْمَسْجِد ودخوله الْمَسْجِد وَالْحَالة هَذِه حرَام صرح بِهِ الرَّافِعِيّ فِي كتاب الشَّهَادَة وَقد صرح الْمُتَوَلِي بِسُقُوط الْجُمُعَة عَنهُ وَلَو خشِي على الْمَيِّت الانفجار أَو تغيره كَانَ عذرا فِي ترك الْجُمُعَة فليبادر إِلَى تَجْهِيزه وَدَفنه وَقد صرح بذلك الشَّيْخ عز الدّين بن عبد السَّلَام وَهِي مَسْأَلَة حَسَنَة
“Syeikh Abi Syuja’ mengeluarkan sakit dari pengertian sehat, karena bagi orang yang sakit, maka tidak wajib melaksanakan jum’ah. Termasuk bagian dari illat sakit adalah pihak yang ada dalam kondisi semakna dengan sakit, seperti akibat lapar, haus, tidak punya baju, takut dari perbuatan orang yang aniaya dan pengikutnya, semoga Allah memerangi orang yang berkehendak merusak syariat. Hujah ketiadaan wajib bagi orang yang sakit adalah hadits yang telah lalu. Sisanya merupakan qiyas terhadapnya. Termasuk hal yang memiliki satu pengertian dengan maridl adalah orang yang memiliki penyakit ishal (beser) sehingga ia tidak mampu menguasai batas normal dirinya, dan takut mengotori masjid atau masuk ke dalam masjid.
Orang yang mengalami kondisi semacam ini adalah haram menghadiri jum’ah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Rafii dalam Kitab Al-Syahadah. Syeikh al-Mutawalli juga telah menjelaskan mengenai gugurnya jum’ah bagi pihak di atas. Bahkan beliau menambahkan bahwa andaikata ada mayit yang dikhawatirkan membusuk jasadnya atau berubah sebab ditinggalkan jum’atan, maka segera mengurus mayit tersebut, dan memendamnya adalah bagian dari udzur di dalam meninggalkan shalat jum’ah. Semua keterangan ini pernah disampaikan juga oleh Syeikh Izzu al-Din ibn Abdi al-Salam, dan merupakan masalah hasanah.” (Kifayatu al-Akhyar fi Hilli Alfadh al-Ghayat al-Ikhtishar, Juz 1, halaman 142).
Sakit yang dinyatakan oleh dokter atau yang orang umum ketahui, dan meliputi semua penyakit, seperti sakit panas, ishal (beser) sehingga menyebabkan kekhawatiran pada diri penderita (khauf fi nafsihi) dan orang lain yang berada disekitarnya atau sebab bisa mengotori masjid, adalah bagian dari alasan ma’dzur jum’at. Bagi penderita penyakit lepra (judzam), kusta (barash) atau terinfeksi virus corona, ebola dan bahaya penyakit menular lainnya, meskipun hakikatnya ia sakit, namun masih bisa shalat Jum’at. Ia termasuk ma’dzur jum’at disebabkan adanya hikmah berupa larangan berlaku idhrar (merugikan) terhadap orang lain. Itulah sebabnya, bagi orang yang sudah terdeteksi mengidap penyakit semacam ini, atau dikhawatkairkan dapat menulari pihak lain, maka hukumnya termasuk ma’dzur jum’at. Illat larangannya adalah berangt dari idhrar namun dengan tetap berasal dari illat cabang, yaitu sakit.
Bagaimana dengan pihak lain yang baru datang dari wilayah yang terdeteksi corona, atau zona terlarang disebabkan corona? Maka dalam kondisi seperti ini, dapat dipergunakan illat lain, dengan tetap berangkat dari furu’ berupa sakit, yaitu perintah isolasi selama 7 hari karena kekhawatiran menjadi penular bagi jamaah lain yang sehat. Nah, inilah dasar utama perincian ma’dzur Jum’at itu.
Beberapa pihak menyamakan ma’dzur Jum’at dengan takut lenyapnya harta. Dalam hemat penulis, menyamakan udzur Jum’at dengan takut rusaknya harta adalah bagian dari qiyas ma’a al-fariq sehingga tidak diperbolehkan dijadikan dasar pijakan. Madzinnah (indikator) yang menjadi pendukung kekhawatiran berbeda. Jika wabah, maka indikatornya adalah membahayakan orang lain. Sementara dalam lenyapnya harta, madhinnahnya adalah kekhawatiran yang berlaku atas diri sendiri.
Lho bukankah, hal itu sama-sama berangkat dari khasyah (unsur kekhawatiran)? Memang benar sama-sama berangkat dari kekhawatiran. Namun, jika hal itu berkaitan dengan penyakit, maka qiyas al-adna bagi wabah adalah berhubungan dengan sumber sakit yang muhaqqaq, dan tidak dengan harta yang secara nyata dalil furu’nya saja sudah berbeda, yaitu berangkat dari hifdz al-mal (penjagaan harta). Meninggalkan khasyah (kekhawatiran) sebagai illat hukum secara rigid tanpa penyandaran ke furu’ yang sederajat, menghendaki untuk dilakukan, agar khasyah tidak berujung menjadi bola liar dan dijadikan dasar pijakan meninggalkan jum’at karena unsur tahawunan (menyepelekan). Entar, karena takut hitam kulitnya karena kepanasan sedikit, sudah dijadikan dasar meninggalkan jum’atan. Berabe kan jadinya?