Pada artikel sebelumnya (baca di sini) telah dijelaskan mengenai pendapat yang menyebut bahwa asma Allah SWT tidak terbatas. Pada kesempatan ini kami akan menampilkan uraian Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab Lawami‘ al-Bayyinat mengenai kalangan yang berpendapat bahwa al-ism al-a‘ẓam dapat ditentukan.
Beliau menyatakan bahwa mereka yang sepakat akan hal ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah mereka yang beranggapan bahwa al-ism al-a‘ẓam dapat diketahui oleh makhluk sementara yang kedua meyakini bahwa ia tidak diketahui.
Mereka yang menyatakan bahwa al-ism al-a‘ẓam dapat diketahui pun berbeda dalam beberapa pendapat. Pendapat pertama menyebut bahwa al-ism al-a‘ẓam bagi Allah adalah kata ‘Dia’. Mereka yang memegangi pendapat ini akan menyampaikan doanya dengan berkata, “ya huwa ya man la huwa illa huwa”(Duhai Dia, duhai yang tiada Dia kecuali Dia). Argumentasi utamanya yakni kata huwa adalah kinayah dari ketunggalan yang maujud atas jalan kegaiban, keesaan, dan keber‘ada’an yang tersembunyi dari segala yang ‘mungkin’ (baca: makhluk) sebagai bagian dari sifat wajib bagi al-Haqq SWT yang menunjukkan pada kemuliaan, keluhuran, dan kebesaran. Imam al-Razi menjelaskan bahwa yang dimaksud keber‘ada’an yakni bagi-Nya akan Dzat-Nya dan dari Dzat-Nya sementara untuk selain-Nya maka dari selain-Nya. Maksdunya, ‘ada’nya Dia murni dari Dia sementara selain-Nya tidak dapat ber‘ada’ dari dirinya sendiri.
Pendapat kedua menyatakan bahwa al-ism al-a‘ẓam adalah lafaz Allah itu sendiri. Nama ini tidak disandarkan kecuali kepada Allah SWT bahkan orang-orang Arab pagan pun menyebut berhala-berhala sebagai ‘tuhan’ kecuali nama ini yang tetap disebut demikian.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّماواتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Dan sungguh jika engkau menanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Sungguh mereka akan menjawab ‘Allah’.
Selain itu nama ini begitu khusus hingga pun ketika setiap hurufnya dilepas satu persatu dari rangkaian kata tersebut yang ada tetap nama Allah. Jika dihilangkan huruf hamzahnya maka terbentuk kata lillah yang merupakan sifat Allah dalam firman-Nya;
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ
Jika dihilangkan huruf lam yang pertama maka akan terbentuk kata lahu yang juga merupakan sifat Allah, sesuai dengan firman-Nya;
لَهُ مَقالِيدُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ
Jika dihilangkan huruf lam yang kedua maka akan terbentuk kata hu yang secara leksikal dapat ditulis huwa, keduanya sama dalam pengucapan. Kata huwa ini pun adalah asma Allah jua seperti yang telah diterangkan di atas.
Pendapat ketiga menyebutkan bahwa al-ism al-a‘ẓam yakni al-Hayy al-Qayyum. Mereka yang meyakini pendapat ini pada riwayat Ubay bin Ka’ab yang pernah meminta Rasulullah SAW untuk memberitahukannya al-ism al-a‘ẓam kemudian dijawab oleh beliau dengan firman Allah SWT;
اللَّهُ لا إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Pendapat keempat menyebut bahwa al-ism al-a‘ẓam yakni dzu al-Jalal wa al-Ikram. Dalam Musnad Ahmad riwayat dari Rabi’ah bin Amir;
أَلِظُّوا بِيَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Dawamkanlah bagi kalian (lafaz) ya dza al-Jalal wa al-Ikram
Al-Jalal adalah isyarat akan Dia yang Maha Qudus dari jangkauan akal dan ujung angan-angan dan dengan demikian menunjuk pada suatu yang jauh. Sementara al-Ikram adalah isyarat akan sifat rahmat dan ihsan yang menunjuk pada suatu yang dekat. Sehingga dzu al-Jalal wa al-Ikram
adalah isyarat akan Dia yang dekat sekaligus jauh, yang zahir sekaligus batin.
Pendapat kelima menyebutkan bahwa al-ism al-a‘ẓam telah disebutkan dalam awal-awal surat. Diriwayatkan dari sayyidina Ali kw bahwasanya ketika suatu hal menjadikan beliau kesusahan maka beliau berdoa dengan berkata; wahai kaf ha ya ain shad; wahai ha mim ain sin qaf.
Pendapat keenam, diriwayatkan dari Imam Zain al-Abidin beliau berkata, “aku memohon kepada Allah untuk mengajarkan kepadaku al-ism al-a‘ẓam yang ketika aku berdoa dengannya maka akan dikabulkan. Kemudian di dalam mimpi dikatakan kepadaku, “katakanlah Allahumma inni as’aluka Allah Allah Allah alladzi la ilaha illa huwa rabb al-arsy al-aẓim. Beliau katakan tidak pernah beliau lantunkan doa tersebut kecuali beliau melihat keberhasilan mengiringinya.”
Imam al-Razi tidak menegasikan adanya bahasa lain yang juga memiliki al-ism al-a‘ẓam tersendiri. Namun uraian mengenai pendapat yang beranggapan bahwa al-ism al-a‘ẓam dapat diketahui oleh makhluk dicukupkan untuk tidak memperlebar pembahasan.
Senlanjutnya adalah pendapat lain yang menyebut bahwa al-ism al-a‘ẓam tidak dapat diketahui oleh makhluk. Pendapat ini berdasar pada berbagai riwayat yang menyebut bahwa Allah memiliki empat ribu nama. Seribu nama hanya diketahui oleh Allah; seribu yang lain hanya diketahui oleh Allah dan para malaikat; seribu selanjutnya hanya diketahui oleh Allah, para malaikat, dan para nabi; serta seribu terakhir diketahui oleh kaum Mukmin. Rinciannya, tiga ratus nama disebut dalam Taurat, tiga ratus dalam Injil, tiga ratus dalam Zabur, dan seratus dalam Al-Qur’an. Adapun atau nama-nama yang ada dalam Al-Qur’an sembilan puluh sembilan darinya disebutkan secara zahir dan satu nama disembunyikan. Barangsiapa dapat menyebutkannya maka ia akan masuk surga. Al-ism al-a‘ẓam ini disembunyikan agar manusia rajin menyebut seluruh nama-Nya hingga sampai pada lisannya nama tersebut jua.
Seperti halnya Allah menyembunyikan salat al-wustha dalam seluruh waktu salat, pun demikian halnya dengan lailatul qadar yang disembunyikan dalam bulan Ramadhan.