Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab Lawami’ al-Bayyinat menerangkan, “Beberapa kalangan meyakini bahwa al-ism al- a‘ẓam (nama Agung) bagi Allah SWT jumlahnya terbatas dan sudah ditentukan”. Namun, beberapa ulama beranggapan bahwa asma Allah SWT tidaklah dapat dibatasi secara spesifik.
Artinya, setiap nama yang disebut oleh seorang hamba ketika ia dalam keadaan tenggelam dalam ma’rifat kepada Allah sehingga terputus akal dan pikirannya dari segala selain-Nya maka nama tersebut adalah al-ism al-a‘ẓam. Mereka yang beranggapan demikian berhujjah dengan beberapa argumen.
Pertama, bahwasanya nama adalah kata yang disusun dari huruf-huruf yang dikhususkan, dalam rangka pengistilahan, menjadikannya sebagai sarana identifikasi bagi yang dinamai. Dengan begini sebuah nama tidaklah dapat mulia dalam wujudnya sebagai nama melainkan ia mulia karena kemuliaan wujud yang dinamai itu sendiri. Sementara wujud yang Maha Mulia dan Maha Sempurna Dialah Allah SWT, sehingga setiap nama yang dengannya seorang hamba menyebut Tuhannya berdasar pada kearifan akan kemahaagungan Tuhan maka nama tersebut adalah al-ism al-a‘ẓam.
Kedua, bahwasanya Allah SWT Maha Esa Suci dari segala tarkib (peninjauan), sehingga menyebut bahwa sebagian nama-Nya menunjuk pada kemuliaan dan sebagian lagi tidak, tentu mustahil adanya. Bahwa seluruh nama-Nya menunjuk pada Dzat-Nya yang Maha Esa sehingga tidak mungkin sebagian nama-Nya lebih agung dari sebagian yang lain.
Ketiga, sebuah riwayat mengisahkan seseorang bertanya kepada Ja‘far al-Shadiq RA mengenai al-ism al-a‘ẓam. Beliau lantas memerintahkan orang tersebut untuk berdiri, segera menuju danau dan mandi. Beliau menjanjikan di sana nanti akan diberitahukan perihal al-ism al-a‘ẓam. Orang tersebut menurut meski air sedang tidak bersahabat karena bertepatan dengan musim dingin.
Ketika ia selesai memandikan diri dan hendak keluar dari air, Ja’far Shadiq RA meminta beberapa sahabatnya untuk mencegah orang terebut. Dingin yang sudah menjalari tubuhnya memaksanya mengerahkan seluruh upaya untuk keluar dari air, namun orang-orang di atasnya terlalu kuat untuk menenggelamkannya lagi. Mereka pun tidak mendengarkan ucapannya yang memelas. Ia menyangka orang-orang memang sengaja hendak membunuh dan melenyapkannya.
Di titik nadirnya orang tersebut menundukkan diri kepada Allah SWT dengan begitu tulusnya. Ketika mendengar doanya orang-orang terebut lantas mengeluarkannya dari air serta memakaikan baju padanya, mengistirahatkannya hingga pulih kembali. Saat mulai pulih ia berkata kepada Ja‘far al-Shadiq, “Sekarang ajari aku asma Allah yang Agung.” Beliau pun menjawab, “Sesungguhnya engkau telah mengetahui al-ism al-a‘ẓam dan engkau menyeru Allah dengannya dan Dia telah menerima doamu.”
“Bagaimana bisa?” Ia bertanya kembali.
Dan Ja’far Shadiq menjawab, “Sesungguhnya setiap nama dari asma Allah SWT adalah Agung, hanya saja ketika manusia menyebutkan nama Allah sementara hatinya masih terpaut dengan selain-Nya menjadikan hilangnya manfaat. Jikalau saja seseorang menyebut-Nya seraya pengharapannya lepas dari selain Allah maka yang demikian adalah al-ism al-a‘ẓam. Adapun engkau ketika menyangka kami akan membunuhmu, tiada lagi kecondongan di hatimu kecuali hanya pada karunia Allah SWT. Di titik tersebut nama yang engkau sebut adalah al-ism al-a‘ẓam.”
Kisah lainnya, seseorang datang kepada Abu Yazid dan menanyakan perihal al-ism al-a‘ẓam. Abu Yazid menjawab bahwa asma Allah yang Agung tiada berbatas. Hendaknya berfokus pada Allah semata, jika sudah bisa begini maka sebutlah setiap nama yang dikehendaki.
Seorang perempuan mengadu kepada Imam al-Junaid agar mendoakan putranya yang hilang. Beliau pun hanya berpesan agar si ibu bersabar seraya mempersilakannya untuk kembali dan ia pun pergi. Kemudian si ibu kembali dan mengadu lagi, pun Imam al-Junaid lagi-lagi menyuruhnya untuk bersabar. Kali ini perempuan itu bilang bahwa habis kesabarannya pun tiada tersisa energi dan meminta didoakan lagi.
“Jika demikian,” kata Imam al-Junaid, “pergilah! Sungguh putramu telah kembali.” Setelah ia berlalu, sejenak kemudia ia kembali lagi dan bersyukur kepada Allah SWT seraya berkata kepada Imam al-Junaid, “Bagaimana anda bisa tahu?”
Imam al-Junaid menjawab, “Allah SWT berfirman:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذا دَعاهُ وَيَكْشِفُ السُّوء
Bukankah Dia yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan ketika ia berdoa kepada-Nya dan menghilangkan kesusahan?
Sampai di sini perlu diketahui bahwa zahir dari pembahasan ini adalah bahwa apabila seorang hamba terputus hatinya dari makhluk, maka sempurnalah al-ism al-a‘ẓam yang dengannya ia menyebut Allah SWT. Dan tidak diragukan lagi hamba tersebut di akhir nafasnya akan terputus bayangannya dari setiap makhluk secara paripurna, tiada pengharapan dan ketakutan yang tersisa di hatinya kecuali kepada Allah SWT. Demikian ini tidak akan tercapai kecuali dengan memurnikan diri merasakan tingkatan azab sehingga menyampaikannya pada derajat al-tsawab (pahala). Dengan pemaknaan ini kita memahami sabda Nabi SAW,”
مَنْ كَانَ آخِرَ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa di akhir kalam mengucapkan tiada Tuhan selain Allah maka ia masuk surga.”