Bagaimana Sufi Memahami Ilmu dan Makrifat?

Bagaimana Sufi Memahami Ilmu dan Makrifat?

Bagaimana Sufi Memahami Ilmu dan Makrifat?

Bagaimana memahami nilai-nilai tasawuf, pengetahuan dan makrifat dari renungan Al-Hujwiri? Kitab-kitab tasawuf menjadi oase untuk mencari keheningan di tengah riuhnya kehidupan. Karya Al-Hujwiri, Kasy al-Mahjub dapat menjadi referensi untuk memahami nilai dan pedoman mendasar dalam tasawuf.

Bagaimana kandungan Kasy al-Mahjub? Kitab ini ditulis sebagai jawaban terhadap persoalan tertentu, yang diajukan oleh temannya, Abu Sa’id Al-Hujwiri. Melalui kitab ini, Al-Hujwiri berupaya mengemukakan sebuah sistem tasawuf yang komprehensif, bukan hanya mengungkap sejumlah besar ujaran para Syaikh. Kitab ini, ditulis saat Al-Hujwiri menetap di Lahore.

Tentang ilmu, Al-Hujwiri membahasnya dalam bab pembuka, sebagai sesuatu yang sangat penting. “Ilmu menjadi wajib hanya sejauh diperlukan untuk berbuat benar. Tuhan mengutuk mereka yang tak berguna (QS 2:96). Banyak yang dapat dikerjakan dari pengetahuan yang sedikit, dan pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari tindakan,” ungkap al-Hujwiri (hal. 23). Mengenai makrifat, Al-Hujwiri mengungkap bahwa, mengenal Tuhan merupakan kehidupan hati lewat Tuhan dan berpalingnya pikiran-pikiran manusia dari semua yang bukan Tuhan.

Para ulama sufi, menyatakan bahwa makrifat lebih utama dari pengetahuan (‘ilm), sedangkan perasaan yang benar (hal) adalah hasil dari pengetahuan yang benar. Al-Hujwiri, menegaskan bahwa pengetahuan yang benar tidak sama dengan perasaan yang benar. Ia menyatakan, orang yang tidak punya pengetahuan tentang Tuhan bukanlah ahli makrifat (‘arif), hal. 257.

Petualangan Ilmu Al-Hujwiri

Abul Hasan ‘Ali bin ‘Utsman bin ‘Ali Al-Ghaznawi Al-Jullabi Al-Hujwiri. Lahir di Ghazna, Afghanistan. Ia belajar tasawuf di bawah asuhan Abul Fadhl Muhammad bin Al-Hasan Al-Khuttali, yang merupakan murid Abul Hasan Al-Hushri (lahir, 371 H). Serta, di bawah bimbingan Abul Abbas Ahmad bin Muhammad al-Asyqani atau al-Asyqani.

Al-Hujwiri juga menerima bimbingan dari Abul Qasim Gurgani dan Khwaja Muzhaffar. Ia pernah berkeliling ke sebagian besar wilayah kerajaan Islam dari Syiria hingga Turkistan, serta dari Hindustan hingga kawasan Laut Kaspia. Kunjungannya menjelajahi Azerbeijan, kuburan Bayazid di Bistham, Damaskus, Ramla, dan Bayt al-Jinn di Syiria, Thus dan Uzkand. Selain itu, ia menziarahi kuburan Abu Said bin Abul Khayr di Mihna, Merv dan Jamal Al-Buttam di timur Samarkand. Dalam perjalanan hidupnya, Al-Hujwiri pernah tinggal sementara di Irak, yang tersiksa karena kemiskinan dan utang yang menumpuk. Ia juga sempat menikah, namun hanya sebentar, karena melalui proses yang sulit dan tidak bahagia. Al-Hujwiri, di akhir hidupnya, menghabiskan waktu untuk menetap di Lahore.

Al-Hujwiri merupakan sufi, penganut sunni dan pengikut madzhab Hanafi. Ia menyelaraskan teologinya dengan corak teologi yang mengungkap mistikisme tinggi. Ia mengajukan teori pelenyapan (fana), menduduki tempat yang utama. Namun, ia tidak sampai bersifat ekstrem. Al-Hujwiri secara tegas menyatakan zindiq, sebagai doktrin yang mengungkap bahwa pribadi manusia dapat bercampur dan sirna di dalam wujud Allah (hal. 10).

Selanjutnya, Al-Hujwiri sepakat dengan Imam al-Khuttali, guru spiritualnya, dalam konsep pengambilan teori bahwa ‘ketenangan’ dalam istilah mistik, lebih disukai dari ‘kemabukan’. Al-Hujwiri sering menyeru, bahwa dalam dimensi tasawuf, para sufi agung tetap terkena kewajiban menaati hukum agama (syariah). Al-Hujwiri, dalam pandangan simboliknya, menegaskan bahwa ia membela al-Hallaj dari tuduhan tukang sihir. Menurut Al-Hujwiri, Al-Hallaj bukan seorang yang sesat, seperti yang dituduhkan sebagian kelompok. Dalam pandangan al-Hujwiri, ujaran-ujaran al-Hallaj hanya berbau wahdah al-wujud dalam kulitnya semata.

Al-Hujwiri ingin melukiskan tasawuf sebagai tafsir yang benar tentang Islam. “Kita tidak dapat memisahkan Al-Hujwiri, dengan tokoh-tokoh sezamannya, semisal Abu Sa’id bin Abil Khair dan ‘Abdallah Anshari. Tiga tokoh sufi ini, mengembangkan teosofi Persia yang diilhami Faridh Al-Din ‘Aththar dan Jalal ad-Din Rumi,” ungkap Reynold A Nicholson dalam pengantar buku ini (hal. 11). Syaikh-syaikh Sufi mengatakan, Al-tawfiq huwa al-qudrah ‘ala al-ta’at ‘inda al-isti’mal (Bilamana seseorang taat kepada Tuhan, dia akan menerima dari Tuhan, kekuatan yang semakin bertambah). Dalam konsep ini, Al-Hujwiri menegaskan bahwa Al-Qur’an dan hadist membenarkan kesejatian al-tawfiq (keberhasilan pemberian Tuhan).

Dalam kitab ini, Al-Hujwiri juga menjelaskan konsep-konsep sufi, semisal makrifat Allah, tauhid, iman, dosa, shalat, zakat, puasa, haji, persahabatan, definisi dan beberapa istilah yang sering digunakan istilah para sufi. Mengkaji buku ini, kita seperti berenang di samudra luas untuk mengarungi nilai-nilai tasawuf [].

 

INFO BUKU

Al-Hujwiri | Kasyful Mahjub, Buku Daras Tasawuf Tertua

Terjemahan “The Kasyf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism”

Mizan, 2015

ISBN: 978-979-433-876-6 | 415 hal.

 

*Munawir Aziz, peneliti dan editor, bergiat di Jaringan Media Aswaja dan Gerakan Islam Cinta (Twitter: @munawiraziz)