Seluruh ulama dan umat Islam pada umumnya mengetahui sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Setiap ibadah yang dilakukan mesti merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber tersebut.
Lalu di mana kerancuan kelompok yang seringkali menyeru umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan hadis? Sekilas memang tidak yang salah dengan jargon tersebut. Yang masalah adalah pemahaman mereka terhadap konsep kembali kepada al-Qur’an dan hadis.
Mereka mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur’an dan hadis dengan cara meninggalkan metode dan pendapat ulama terdahulu. Khazanah keislaman yang begitu kaya dan komplek tidak ada harga dan nilainya di mata mereka, karena bagi mereka tidak perlu mengikuti pendapat dan metode pemahaman al-Qur’an dan hadis yang dirumuskan ulama terdahulu.
Dengan bermodalkan terjemahan al-Qur’an dan hadis sebagian kelompok merasa mampu berijtihad dan berfatwa, tanpa harus merujuk pendapat ulama. Di sinilah kerancuan jargon kembali kepada al-Qur’an dan hadis yang diusung sebagian orang.
Kalau anda sakit kritis misalnya dan harus dioperasi, tidak mungkin mau dioperasi kalau dokternya tidak ahli. Apakah anda mau dioperasi kalau dokternya tidak pernah belajar ilmu bedah, tidak punya pengalaman, dan hanya bermodal membaca buku tentang operasi? Bisa dipastikan tidak ada yang mau berobat dengan dokter seperti itu.
Kalau dalam masalah berobat saja kita tidak selektif dalam memilih dokter, apalagi dalam masalah agama. Bila kita tidak mau berobat dengan dokter yang hanya baca buku kedokteran saja, tanpa pernah sekolah dokter dan tidak berpengalaman, tentu dalam masalah agama kita mestinya tidak mencukupkan diri dengan terjemahan al-Qur’an dan hadis yang kita baca.
Kita perlu belajar kepada ulama yang menguasai ilmu untuk memahami al-Qur’an dan hadis secara benar. Untuk mampu memahami kedua sumber tersebut dibutuhkan ilmu ushul fikih, ilmu tafsir, ilmu gramatikal Arab, ilmu hadis, dan ilmu pendukung lainnya agar ijtihadnya tepat dan benar.
Sebab itu, Ibnu ‘Uyainah mengatakan, “Hadis menyesatkan kecuali bagi fuqaha”. Pernyataan ini tentu bukan menafikan hadis sebagai petunjuk umat manusia. Tetapi dalam memahami hadis, terutama yang berkaitan dengan hukum, dibutuhkan ilmu ushul fikih dan fikih agar tidak keliru.