Konsep kafir merupakan salah satu konsep penting yang perlu dikaji karena selama ini ia kerap dijadikan alasan permusuhan. Dengan bersandar kepada konsep itu, sebagian umat Islam mengganggap non-Muslim sebagai orang-orang kafir yang halal dibunuh.
Bukan hanya kepada non-Muslim, kata kafir pun kadang oleh satu kelompok Islam disematkan kepada satu kelompok Islam lain yang dianggap menyimpang, sehingga darahnya pun halal ditumpahkan. Padahal Rasulullah bersabda untuk tidak menyakiti seorang Muslim dengan menyebutnya sebagai kafir. Siapakah orang kafir itu, menjadi penting dijelaskan dari sudut bagaimana al-Qur’an mewacanakan kafir itu.
Secara etimologis kufr berarti tabir, tutup, tirai, dan pengingkaran. Sesuatu yang menutupi sesuatu yang lain dapat disebut kafir. Dengan demikian, malam juga dapat disebut kafir karena malam menutupi segala sesuatu.
Kafir juga berarti petani, karena ia menutupi benih dengan tanah. Orang Arab menyebut seorang petani dengan sebutan “kafir”. Dalam al-Qur’an (al-Hadid [57]: 20) disebut, ka matsali ghaits a’jaba al-kuffar nabatuhu (seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani). Kata kuffar di dalam ayat ini berarti para petani, karena petani biasanya menutupi benihnya dengan tanah.
Awan yang gelap juga bisa disebut kafir. Debu yang menutupi sesuatu juga disebut kafir. Ibn al-Sikkit menyatakan bahwa seseorang yang memakai baju yang menutupi lengannya disebut sebagai kâfir. Sarung pedang juga disebut kâfir karena berfungsi menutupi pedang
Menurut al-Laitsi, seseorang disebut kafir karena hatinya sudah tertutupi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda pada saat Haji Wada’: Ingat, janganlah kalian kembali setelahku (sepeninggalku) menjadi orang-orang kafir (kuffar), yaitu kalian saling memenggal leher.
Menurut Abu Manshur, kata kuffar dalam hadits ini memiliki dua makna. Pertama, “kuffar” yang dimaksud adalah saling membawa sarung pedang (kafir) untuk saling membunuh. Kedua, mengkafirkan orang lain yang menyebabkan yang bersangkutan sendiri terjatuh ke dalam kekafiran, seperti yang dilakukan kaum Khawarij (Baca Ibn Manzhur, Lisan al-’Arab, Jilid VII, hlm. 689-690). Aliran Khawarij berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir.
Term kufr dalam al-Qur’an dengan segala derivasinya disebut sebanyak 525 kali yang tersebar di 73 surat dari 114 surat-surat al-Qur’an. Ini berarti, kata-kata itu merata di sebagian besar surat-surat al-Qur’an.
Dari 73 surat itu, lima peringkat pertama kata kufr plus kata jadiannya paling banyak berada dalam surat-surat Madaniyah. Masing-masing adalah 39 kali dalam surat al-Baqarah, 38 kali dalam surat al-Nisa’, 37 kali dalam surat Ali Imran, dan 30 kali dalam surat al-Ma’idah.
Dalam al-Qur’an, kufr memiliki beragam arti, di antaranya adalah: Pertama, kufr sebagai lawan dari syukur. Dengan demikian, orang yang tidak mensyukuri nikmat atau karunia Allah juga disebut sebagai kafir.
Allah juga berfirman (QS, al-Baqarah [2]: 152), “karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. Kata kufir dalam ayat ini, menurut al-Qurthubi, berarti menutup karunia atau nikmat yang diberikan Allah.
Allah juga berfirman (QS, Ibrahim [14]: 7), “(Ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat)ku, maka sesungguhnya azabku sangat pedih”.
Ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari peringatan Nabi Musa kepada kaumnya untuk selalu bersyukur atas karunia Allah yang telah membebaskan Nabi Musa dan para pengikutnya dari kelaliman Fir’aun. Lalu ia mengingatkan kaumnya juga bahwa sekiranya mereka terus bersyukur, maka Allah akan menambahkan karunia-Nya. Sebaliknya, jika mereka mengingkari Allah, maka Allah memberikan sanksi kepadanya.
Di ayat lain, Allah berfirman (QS, al-Nahl [16]: 112-115), “Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat..”
Dengan demikian, kafir adalah orang yang menerima kebaikan Allah (berupa nikmat yang tak terhingga), tapi mereka tidak menunjukkan tanda-tanda berterima kasih dalam perbuatannya, bahkan mengingkari kebaikan-Nya.
Sikap tidak bersyukur ini diwujudkan bisa dalam bentuk takdzib (mendustakan Allah, Rasul-Nya dan wahyu yang disampaikan Allah kepada para utusan-Nya). Mengacu pada makna pertama ini, kafir bukan orang yang tak beriman kepada Allah, melainkan orang yang tak bersyukur atas karunia-Nya.
Kedua, kufr sebagai lawan dari iman. Misalnya, Allah berfirman di dalam al-Qur’an: [1] “Barangsiapa yang menukar keimanan dengan kekafiran, maka sungguh orang itu tersesat di jalan yang lurus” (QS, al-Baqarah [2]: 108) [2].
Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang menjual iman dengan kekafiran, mereka sama sekali tidak akan membahayakan (merugikan) Allah sedikitpun” (QS, Ali `Imrân [3]: 177) [3] Firman Allah, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpin kamu, jika mereka lebih menyukai kekafiran daripada keimanan” (QS, al-Tawbah [9]: 23)
Ketiga, al-Qur’an juga menegaskan, orang-orang yang tak memiliki kepedulian sosial adalah orang-orang kafir. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang suatu hari yang pada hari itu tidak ada lagi lagi jual beli, persahabatan yang akrab, dan syafaat. Orang-orang yang kafir itulah orang-orang zalim” (QS, al-Baqarah [2]: 254).
Al-Hasan menyatakan, kata infaq dalam ayat ini berarti zakat. Sementara Ibn Juraih dan Sa’id ibn Jubair berkata, kata infaq dalam ayat ini mencakup zakat yang wajib dan sedekah yang sunat. Menurut Ibn al-’Athiyah, pendapat kedua inilah yang benar.
Lepas dari itu, ayat ini sesungguhnya menghendaki agar setiap orang selalu memperhatikan orang-orang fakir dan miskin dengan cara memberikan bantuan kepada mereka. Orang yang tak berinfak termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir.
Keempat, kafir diidentikkan dengan orang yang melakukan kezaliman. Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2]: 254), “Orang-orang kafir itu adalah orang-orang zalim”. Allah juga berfirman (QS, al-Nisa’ [4]: 168), “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kelaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka”.
Ayat lain menyebutkan, “Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-Rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang lalim itu” (QS, Ibrahim [14]: 13)
Allah juga berfirman, “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang berbuat dusta kepada Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahanam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir” (QS, al-Zumar [39]: 32).
Kelima, al-Qur’an menghubungkan kafir dengan seseorang yang menghalangi orang lain dalam mencari kebenaran. Ada beberapa ayat yang menunjukkan makna ini. [a] firman Allah, “Mereka melarang (orang lain) mendengarkan al-Qur’an dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari” (QS, al-An`âm [6]: 26).
[b]. firman Allah, “(yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat” (QS, al-A’raf [7]: 45)
[c]. firman Allah, “sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanam-lah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan…” (QS, al-Anfal [8]: 36)
Keenam, orang yang putus asa juga disebut kafir. Dalam al-Qur’an (Yusuf [12]: 87) disebutkan, “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.
Ayat ini sebenarnya sedang menjelaskan perintah Nabi Ya’kub kepada anak-anaknya untuk mencari anaknya yang hilang, Yusuf. Dalam proses pencarian itu, Nabi Ya`kub menegaskan agar anak-anaknya itu tak berputus asa, karena putus asa merupakan ciri atau watak orang-orang kafir.
Sekalipun turun dalam kisah yang spesifik, pengertian ayat ini bisa ditarik ke dalam pengertian umum bahwa mudah berputus asa merupakan perilaku orang kafir yang harus dihindari.
Ketujuh, orang yang melakukan tindakan kriminal seperti membunuh juga disebut sebagai kafir, seperti yang dilakukan Bani Israel terhadap para nabinya. Al-Qur’an menggambarkan keganasan orang-orang Bani Isarel itu sebagai berikut:
“Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israel, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh” (QS, al-Mâ’idah [5]: 70).
Di ayat lain juga disebutkan, “Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa (alasan) yang benar dan mengatakan: “Hati kami tertutup.” Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka” (QS, al-Nisa’ [4]: 155)
Mengacu pada keterangan di atas jelas bahwa makna kafir sangat beragam. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa tidak berterima kasih atau tidak bersyukur merupakan makna awal dari kata kafir. Inti dari struktur semantik kata kufr bukanlah “tak percaya”, melainkan “tak bersyukur” atau “tak tahu berterima kasih”.
Meski al-Qur’an kerap mengidentifikasikan kufr dengan “tidak percaya”, makna awal kata itu tak boleh ditinggalkan, karena unsur semantiknya akan hilang kalau sebuah kata selalu dilihat dalam kerangka doktrinalnya belaka.