Tentu saja pada awalnya tidak ada masalah, seperti juga alasan memilih pemimpin karena kegantengannya. Lagi pula, jika urusannya adalah pemilu 2019, bukankah semua capres dan cawapres beragama Islam? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?
Sekilas pertanyaan dan jawaban tersebut mengandung kebenaran. Tetapi dengan sedikit pengamatan saja suatu kenyataan akan terbuka. Memilih pemimpin hanya karena alasan agama ternyata tidak cukup, bahkan bisa berakibat fatal, jika kita melihat konsekuensinya. Penggunaan kata “hanya” di sini perlu ditekankan.
Di Indonesia, tetapi juga di tempat lain, agama sering dijadikan tabir untuk menutupi kebobrokan. Pemimpin yang tidak becus bekerja biasanya akan memupuri wajahnya dengan bedak kesalehan. Masyarakat akan terlena. Mereka akan lupa tugas pemimpin yang sesungguhnya.
Yang seharusnya disiarkan adalah paham bahwa bekerja adalah ibadah. Membangun jalan dan jembatan adalah bukti kesalehan. Menghindari korupsi adalah wujud agama yang sejati.
Namun hal-hal yang substansial tersebut kurang menarik perhatian. Masyarakat lebih suka dengan seremonial. Agama dipahami sebagai abring-abringan di jalanan.
Oleh karena itulah saya berpendapat bahwa memilih pemimpin hanya karena alasan agama adalah tindakan yang bermasalah. Konsekuensi yang ditimbulkannya sangat besar. Agama yang seharusnya berfungsi sebagai tuntunan berubah menjadi sekadar tontonan.