Terjadi penyerangan Ahmadiyah (lagi) di NTB. Tiba-tiba, saya teringat almarhum Bapak. Dulu, beliau selalu bilang; kita berpuasa untuk merasakan susahnya sodara-sodara yang kesulitan memenuhi makanan sehari-hari. Berpuasa kata bapak, biar kami bersyukur atas nikmat rejeki makanan, walaupun tidak melulu makanan mewah. Kira-kira logikanya sama dengan nikmat sehat bisa dirasakan ketika sakit.
Era dewasa ini, saya menyadari cara bapak menjelaskan maksud puasa agar saya berpuasa hanya untuk urusan agama (hablumminallah), tetapi juga untuk berempati dengan perasaan orang lain (hablumminannas). Merasakan apa yang orang lain rasakan hingga bersyukur kepada Allah atas segala kondisi kami (alhamdulillah ‘ala kulli hal).
Bapak tidak pernah bilang, berpuasalah engkau untuk menghormati bulan ramadhan, karena tanpa dimuliakan tetap saja Ramadan mulia. Memuliakan Ramadhan itu untuk kebaikan / kebutuhan diri kita, bukan untuk Ramadan. Ibaratnya nih, Tuhan tetap Tuhan, meski saya Atheis, kamu tidak salat dan lain-lain.
Makanya, saya heran kalau ada orang melarang warung buka siang hari selama bulan Ramadan atas embel-embel memuliakan bulan suci Ramadan. Lah, seakan-akan sucinya Ramadan akan luntur dengan persoalan buka-tutup warung di siang hari. Sereceh itukah kemuliaan Ramadan? Kalau kita tidak kuat berpuasa dan takut orang lain puasanya bolong, yah intropeksilah diri kita.
Coba deh cermati, Al Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al Baqoroh: 183)
Allah menyapa orang beriman untuk berpuasa dan menurut Prof. Quraish Shihab, Allah mewajibkan puasa sebagai upaya pembersihan jiwa, pengekangan hawa nafsu dan sebagai perwujudan kehendak Allah melebihkan derajat manusia dari binatang yang tunduk hanya pada instink dan hawa nafsu.
Jika kita masih tidak terlalu kuat menahan godaan warung buka saat berpuasa, baiknya kita intropeksi keimanan kita. Bukan dengan menyalahkan orang lain, apalagi menjual nama Ramadan untuk ego beragama kita. Gitukan simpel. Gak emosi, gak pake urat.
Jika berpuasa membuat kita semena-mena dengan orang lain, apakah kita telah layak disebut berpuasa (menahan)? Puasa bukan hanya perkara makan dan minum, tetapi juga perkara menahan diri atas hawa nafsu. Salah satu nafsu itu adalah egoisme, merasa paling benar, paling berhak, paling layak mewakili Tuhan untuk menghukumi manusia lainnya.
Padahal sejatinya, dengan berpuasa kita bisa sedikit peka terhadap kondisi orang lain. Seperti yang Bapak ajarkan kepada saya. Saat berpuasa, sudahkah kita turut mengontrol egoisme, hingga menyadari ada orang lain yang tidak diwajibkan berpuasa saat bulan Ramadan, yakni pemeluk agama lain, musafir, orang sakit, ibu hamil/menyusui dan lainnya.
Jika bagimu, ibadah puasa adalah caramu mendekatkan diri kepada Allah, lantas mengapa sampai harus kehilangan kepekaan terhadap sesama makhluk Allah? Saya teringat perkataan KH. Abdurrahman Wahid; memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.
Penutup, jika ingin masuk surga silahkan, tetapi jangan berperilaku seperti teroris yang mengorbankan orang lain. Seorang kawan pernah bilang, sebelum belajar agama kita harus belajar menjadi manusia terlebih dahulu. Kalau tidak belajar menjadi manusia artinya kita tidak layak beragama, karena agama diturunkan kepada manusia untuk memanusiakan manusia. Wallahu’alam bishawab.