Cinta (mahabbah, hubb) kepada Allah SWT melampaui segala macam bentuk kategorisasi atau metode peribadatan yang bersifat ritual semata. Cinta adalah manifestasi kekal yang timbul akibat dari penghayatan ruhani (juga indera) manusia. Dengan mahabbah, manusia memiliki kesadaran transendensi bahwa “awal segala awal adalah cinta”, sebagaimana puisi Abdul Wachid B.S. (Achid) dan berakhirnya hanya kepada Yang Maha Cinta.
Ibn ‘Arabi (via Izutsu, 2016), mendasarkan pandangan tentang cinta (mahabbah) dan kemenyatuan mistik kepada hadis masyhur yang berbunyi: “orang yang mengenal dirinya (berarti) mengenal Tuhannya.” Artinya, menurut Ibn ‘Arabi, manusia harus meninggalkan upaya sia-sia untuk mengetahui Sang Mutlak per se dalam non-manifestasi mutlak-Nya, dan manusia harus kembali kepada kedalamannya sendiri, dan mempersepsi Sang Mutlak sebagaimana Dia memanifestasikan diri-Nya.
Manusia memiliki keterbatasan untuk dapat mengidentifikasi cintanya kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, Allah SWT menyuruh manusia bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai ekspresi cinta kepada-Nya, selain cinta kepada Kanjeng Nabi tentunya. Dengan kedua representasi cinta yang mutlak inilah, misteri Cinta yang ada di dalam relung jiwa manusia dapat disingkap.
Kekaguman atau rasa cinta kepada sosok Nabi Muhammad SAW muncul pada diri Goethe, misalnya, penyair Jerman yang hidup di antara abad ke-18 hingga awal abad ke-19, yang dekat dengan kajian Islam. Goethe (via Hadi W.M., 2016), dengan menggunakan tamsil indah mengatakan demikian:
“Kemunculan Nabi Muhammad SAW di panggung sejarah kemanusiaan, oleh Goethe dilukiskan di dalam puisinya itu sebagai munculnya sungai besar yang mengalir deras tidak terhalang oleh batu-batu karang besar dan sanggup menyuburkan tanah-tanah yang tandus dan gersang. Arus dan aliran sungai kenabian ini dapat mengalahkan batu-batu karang oleh karena berasal dari langit. Ia bagaikan hujan yang diturunkan ke bumi untuk menyuburkan kembali tanah-tanah yang hampir mati.”
Penggambaran secara metaforik dari Goethe atas figur indah dan penuh cinta, Nabi Muhammad SAW, secara tidak langsung mengabarkan makna sufistik bahwa kepribadian dan akhlaknya telah menjadi “puisi”, bahkan “memuisi” di kalangan keluarga, sahabat dan para pengikutnya serta filosof dan sufi-penyair di seluruh dunia.
Senarai cinta kepada Kanjeng Nabi juga diungkap Achid (2017) melalui puisinya: … allah mengasihi sifatnya/ sifatnya mengasihi namanamanya/ namanamanya mengasihi ciptaannya/ ciptaannya mengasihi cahaya/ cahaya mengasihi cahaya yang perta ma/ cahaya yang pertama mengasihi kanjeng nabi/ kanjeng nabi muhammad mengasihi umatnya/.
Achid mengungkapkan secara simbolik bahwa seluruh ciptaan, peristiwa maupun benda-benda di alam semesta, dihadirkan tersebab Nabi Muhammad SAW (nur muhammad).
Allah SWT menjadi sumber tenaga (tasawuf) dari para pecinta. Dalam keadaan jiwa demikian, tidak ada lagi hijab antara manusia dengan Allah SWT, juga dengan Kanjeng Nabi. Annemarie Schimmel (2003) menceritakan kisah Abu Manshur al-Hallaj pada saat akan dieksekusi (hukuman mati). Kata-kata al-Hallaj terakhir adalah: “hasb al-wajid ifrad al-wahid lahu” (cukuplah bagi pencinta yang menjadikan Yang Esa Tunggal. Itulah tauhid sejati, sepenuhnya batiniah, dan dibayar dengan darah si pencinta.”
Cinta bersemayam pada jiwa seorang manusia yang penuh dengan pengakuan. Pengakuan bahwa tanpa ada Cinta yang menggejala, kehidupan cumalah kesepian belaka. Sufi-penyair Jalaluddin Rumi (dalam Masnawi, 2017) mengatakan bahwa “ … cinta adalah sarana penyingkap rahasia ketuhanan. Dari delapan penjuru bumi atau pun langit asalnya, cinta sajalah yang dapat membawa kita mencapai rahasia Tuhan.”
Rumi memersepsi dan memosisikan cinta sebagai aras utama untuk menyingkap tabir-tabir yang menjadi batu sandungan manusia untuk “manunggal” dengan Allah SWT. Cintalah yang mengisi kesepian manusia sebab dalam hal melukai/ kesepian lebih tajam dari belati, kata M. Faizi (2005). Maka, tidak heran, bila keyakinan akan Cinta -disertai dengan kerendahan hati untuk menerima segala yang akan tiba- muncul, manusia mampu mengontrol kesepian jiwanya sendiri.
Sebagai penutup, saya sarikan ungkapan hikmah dari penyair Kuswaidi Syafi’ie (2015) tentang Nabi Muhammad SAW berikut:
“Bumi Muhammad adalah derma dan kesabaran yang sedemikian tak terhingga sehingga di pangkuannya tertampung segala ihwal yang terpuji dan tercela, segala ihwal yang suci dan najis, segal ihwal yang baik dan buruk, segala ihwal yang harum dan busuk. Semua itu beliau hadapi dengan belas kasih yang tertumpah melalui aneka tindakan yang dipandu langsung oleh hadirat-Nya.”
Oleh karena itu, dalam pandangan para penyair, cinta yang tertuju kepada Allah SWT dan Kanjeng Nabi SAW muncul sebab kerinduan yang paling intim. Tuhan dan Nabi menjadi “imajinasi kreatif” mereka untuk merepresentasikan bahasa cinta yang subtil melalui simbol atau tamsil. Bukankah alam semesta juga merupakan simbol dari manifestasi hadirat-Nya? Dengan demikian, manusia dan bahasa adalah simbol keagungan-Nya. Selain Dia, tidak ada rupa dan berkah hidup kita.