Apa Hukum Mengajak Anak Kecil Mengaji di Masjid?

Apa Hukum Mengajak Anak Kecil Mengaji di Masjid?

Apa Hukum Mengajak Anak Kecil Mengaji di Masjid?

Anak-anak merupakan aset bagi bangsa dan negara. Keberhasilan pendidikan yang diberikan kepada anak saat ini, adalah merupakan cermin bagi generasi 10 atau 15 tahun yang akan datang. Itulah sebabnya, maka segala upaya memang perlu dilakukan demi memajukan generasi mendatang melalui penyediaan berbagai fasilitas baginya saat ini. Termasuk mengajarinya mengaji di masjid. Nah, kita kali ini fokus pada pendidikan bagi anak dengan sentra ada di masjid ini

Namun, tahukah anda, bahwa bagaimanapun juga, masjid menurut definisi para ulama diartikan sebagai tempat untuk ibadah, rumahnya orang-orang yang bertaqwa, dan baitullah. Tiga definisi ini sudah masyhur dan diterima oleh semua kalangan. Melihat akan definisi ini, maka kita dihadapkan pada satu masalah hukum, tentang bagaimana bila mengajari anak mengaji di masjid? Kita perlu mengetahui diskusi para fuqaha’ terkait dengan hal ini, agar kelak ketika berhadapan dengan kasus yang sama, kita tidak lagi bingung untuk mengetahui dasarnya.

Pertama, saat membawa anak untuk mengaji di masjid, sudah pasti pertanyaan yang diajukan dalam dialektika fikih adalah: apakah hal itu dibolehkan? Apa dasar dalil yang membolehkannnya? Bagaimana kita membaca pengertian akan sebuah hadits yang secara sharih menyatakan demikian:

جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ مَجَانِينَكُمْ وَصِبْيَانَكُمْ

Artinya:

“Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari orang gila kalian, dan dari anak-anak kalian!” (HR. Ibnu Majah)

Terlepas dari apakah status hadis itu dhaif atau memiliki sanad yang diingkari keshahihannya, namun ada pernyataan Imam Al-Qaffal, sebagaimana dinukil al-Zarkasy dalam kitabnya I’lam al-Sajid bi Ahkmi al-Masajid, halaman 327, suatu ketika ia ditanya mengenai persoalan mengajar anak di masjid. Ia kemudian menjawab:

الأَْغْلَبُ مِنَ الصِّبْيَانِ الضَّرَرُ بِالْمَسْجِدِ فَيَجُوزُ مَنْعُهُمْ

Artinya:

“Hukum yang paling umum dari anak adalah merugikan bagi masjid. Oleh karena itu boleh mencegahnya.” (I’lam al-Sajid bi Ahkmi al-Masajid, halaman 327)

Memang dengan mencermati diksi pernyataan al-Qaffal ini, kita bisa memahami bahwa istilah ‘’al-aghlab’ sifatnya adalah umum dan tidak berlaku muthlaq. Ada kondisi yang sifatnya khusus dan menyatakan bahwa anak tidak menimbulkan dharar (merugikan) bagi masjid. Oleh karena itu tidak perlu tindakan untuk melarang orang tua dari membawanya masuk ke dalam masjid.

Kedua, di dalam Kitab al-Adabu al-Syar’iyyah, Juz III, halaman 375, al-Imam Al-Faqih al-Muhaddits Muhammad Abdillah ibn Muflih Al-Maqdisy (w. 762 H) menyatakan bahwa:

يُسَنُّ أَنْ يُصَانَ الْمَسْجِدُ عَنْ عَمَل صَنْعَةٍ

Artinya:

“Sunnah menjaga masjid dari amal shan’ah.” (al-Adabu al-Syar’iyyah, Juz III, halaman 375)

Pernyataan dari Ibn Muflih al-Maqdisy (w. 762 H) ini juga mendapat dukungan dari Al-Jira’i al-Hanbaly, keduanya sama-sama menegaskan kesunnahan menjaga masjid dari ‘amal shan’ah. Shan’ah asalnya dari lafadh sha-na-’a, yang berarti mencetak. jadi , ‘amal shan’ah sebagaimana dimaksud dalam pernyataan di atas adalah semua bentuk pekerjaan yang ada kaitannya dengan proses produksi. Ciri khas dari amal shan’ah adalah adanya ujrah (upah) dan produk. Produk dari mengajar mengaji adalah kemahiran peserta didik. Guru yang mengajar disamakan dengan ‘amil (pekerja) yang berhak mendapatkan upah. Itulah sebabnya kemudian pendidikan di masjid, menurut kategori ulama terakhir ini juga disetarakan dengan ‘amal shan’ah (amal produktif) yang diputus sebagai sunnah untuk dihindari.

Bukankah pengajaran ini untuk niat pendidikan? Anak-anak bisa dikondisikan untuk menjaga kehormatan masjid dan kebersihannya. Al-Samiri dalam hal ini menjawab:

سَوَاءٌ كَانَ الصَّانِعُ يُرَاعِي الْمَسْجِدَ أَوْ لَمْ يَكُنْ

Artinya:

“Baik shani’ mampu menjaga kehormatan masjid atau tidak, (hukumnya adalah sunnah untuk dihindari melakukan amal produktif di masjid).” (Kasyafu al-Qina’ ‘an Matni al-Iqna’, halaman 870).

Amal produktif dalam hal ini diidentikkan dengan menggunakan masjid untuk bekerja (takassub). Itulah sebabnya mengajar mengaji di masjid dengan menarik upah diputuskan sebagai sama dengan bekerja yang menghasilkan upah bagi guru pengajarnya. Imam Ahmad ibn Hanbal dalam hal ini juga menyatakan:

وَإِنَّمَا هَذِهِ بُيُوتُ اللَّهِ لَا يُبَاعُ فِيهَا وَلَا يُشْتَرَى وَجَوَّزَ أَبُو حَنِيفَةَ الْبَيْعَ وَأَجَازَهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ مَعَ الْكَرَاهَةِ، وَقَطَعَ بِالْكَرَاهَةِ فِي الْفُصُولِ وَالْمُسْتَوْعِبِ

Artinya:

“Sesungguhnya masjid ini adalah baitullah. Tidak patut dijadikan sebagai tempat transaksi jual beli di dalamnya. Meski Imam Abu Hanifah dan Imam Malik membolehkan jual beli di dalamnya, Sementara Imam Syafii menyatakan hukumnya makruh. Pernyataan ini dimuat dalam kitab al-Fushul dan al-Mustau’ab.” (Kasyafu al-Qina’ ‘an Matni al-Iqna’, halaman 870).

Imam Ahmad, sebagaimana kutipan di atas, menjelaskan sisi masjid sebagai Baitullah yang tidak layak dijadikan sebagai tempat transaksi. Pendapat ini kiranya sama dengan pendapat Imam Syafii, sehingga status hukumnya disebutkan sebagai makruh. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang menyatakan status kebolehannya dijadikan tempat transaksi, karena dzahir nash yang menyatakan larangannya adalah ketika adzan jum’at dikumandangkan. Selain karena alasan itu, maka hukumnya dikembalikan pada status kebolehannya.

Berbekal ijtihad yang sama, al Qadli Sa’duddin menyatakan:

خَصَّ الْكِتَابَةَ لأَِنَّهَا نَوْعُ تَحْصِيلٍ لِلْعِلْمِ فَهِيَ فِي مَعْنَى الدِّرَاسَةِ، وَهَذَا يُوجِبُ التَّقَيُّدَ مِمَّا لاَ يَكُونُ تَكَسُّبًا

Artinya:

“Khusus untuk aktifitas belajar tulis menulis (diperbolehkan) karena ia merupakan sarana untuk mendapatka ilmu. Aktifitas tulis menulis adalah semakna dengan belajar, oleh karenanya wajib berlaku batasan yang mengecualikannya dari makna bekerja.” (Tuhfatu al-Raki’ wa al-Sajid, halaman 209)

Ibnu Muflih dalam hal ini sepakat dengan al-Qadli Sa’duddin. Akan tetapi, agar terhindar dari jebakan unsur transaksional yang umumnya ada dalam dunia pendidikan, ia mengatakan:

وَيَنْبَغِي أَنْ يُخَرَّجَ عَلَى هَذَا تَعْلِيمُ الصِّبْيَانِ لِلْكِتَابَةِ فِي الْمَسْجِدِ بِالأُْجْرَةِ، وَتَعْلِيمُهُمْ تَبَرُّعًا جَائِزٌ كَتَلْقِينِ الْقُرْآنِ، وَتَعْلِيمِ الْعِلْمِ، وَهَذَا كُلُّهُ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يَحْصُل ضَرَرٌ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ

Artinya:

“Seyogyanya, penggunaan masjid untuk aktifitas pendidikan bagi anak, dibebaskan dari ujrah (upah). Pendidikan pada anak di masjid yang dilakukan secara sukarela (tabarru’) hukumnya adalah boleh. Seperti aktifitas mengajar mengaji al-Qur’an, mengajarkan ilmu. Semua kebolehan ini dengan satu syarat, yaitu jika tidak ada hal yang bersifat merugikan bagi jama’ah lainnya, atau yang serupa dengannya.” (Tuhfatu al-Raki’ wa al-Sajid, halaman 209)