Pada Election Day, 14 Desember 2019 lalu, partai konservatif memenangi pertarungan di tengah suhu panas politik Inggris Raya. Di tengah kompetisi politik itu, Partai Buruh (Labour Party) mengalami kekalahan telak, terburuk dalam tiga dekade terakhir. Sementara, Tory Party unggul atas pertarungan politik yang menentukan nasib Inggris Raya pada masa mendatang.
Pertarungan isu-isu yang mencul menjelang pemilihan umum sangat menarik. Di antara beberapa partai, isu penting dan paling menyita perhatian tentulah terkait Brexit. Apalagi, masyarakat Inggris dan Eropa sudah sangat menanti keputusan akhir dari Brexit ini. Ini sangat kontras dengan Indonesia ketika menjelang pemilu yang muncul ejekan, fitnah dan serangan personal. Di Inggris, kompetisi politik dimainkan dengan isu-isu yang cerdas. Problem mendasar semisal asuransi kesehatan (NHS), biaya pendidikan, hingga peraturan perumahan/pemukiman menjadi perdebatan sangat menarik, di samping isu besar terkait Brexit.
Di pusaran politik Inggris, Brexit merupakan isu krusial dan rumit, yang diwariskan dari pimpinan politik era lampau. Theresa May memegang kendali sebagai Perdana Menteri (Prime Minister) Inggris pada periode sebelummya, yang ternyata menemukan jalan buntu dalam negosiasi-negosiasi politik. Beberapa bulan sebelum mengundurkan diri,
Theresa May terlihat sangat kerepotan menghalau kritik tajam baik dari oposisi, Shadow Cabibet, hingga di internal partai konservatif, Tory Party. Ia terlihat sangat hati-hati dalam kebijakan politiknya, namun terasa mengambang dan tidak ada keputusan. Di beberapa media mainstream Inggris, kebijakan-kebijakan Theresa May dikupas habis dengan kritik tajam.
Kemudian, Boris Johson mengambil alih kemudi sebagai Perdana Menteri. Johnson tipikal pemimpin yang slengekan, ngawur dan agak ceroboh. Meski demikian, ia sebenarnya sangat cerdas dan punya insting politik tajam. Sebelum menjadi Perdana Menteri, Boris Johnson pernah menjadi Walikota London, serta analis politik di beberapa media. Citra slengekan memang melekat di figur Boris, yang berayun di antara meningkatnya gelombang sayap kanan politik Inggris.
Boris Johnson dengan berani melontarkan beberapa kebijakan ekstrem, terutama terkait Brexit, imigran dan perbatasan (borders) antara UK dengan kawasan Uni Eropa. Johson bersikap keras. Deal or no deal, Brexit tetap lanjut. Ia seakan menggebrak, berlawanan dengan sikap Theresa May yang cenderung bersikap ekstra hati-hati.
Simon Barnaby, kawan saya dari Bournemouth kawasan selatan United Kingdom punya sikap tersendiri terkait kepemimpinan Theresa May dan Borish Johson. Simon orang asli Inggris, istrinya orang keturunan Sunda. Saya kenal Simon karena sering hadir pada agenda-agenda pertemuan orang Indonesia di United Kingdom. Simon tipikal pendukung Tory, ia dibesarkan dari keluarga kelas menengah, terdidik dan punya aset, khas keluarga besar Inggris Raya. Tentu saja, ia mempunyai akses informasi yang memadai untuk merasakan sekaligus menganalisa denyut jantung politik di Inggris.
Menurut Simon, perbedaan inti antara Theresa May dan Borish Johnson adalah ketegasan sikap, keputusan. Theresa May, karena cenderubg hati-hati, terkesan tidak punya keputusan. Sementara, Boris Johnson meski terlihat slengekan, ia punya ketegasan. “The important thing is decision,” demikian ungkap Simon Barbany, ketika kami bercakap.
Kita bisa meraba alam pikir orang Inggris dalam konteks ini. Keputusan, decision, sebrutal apapun kritik atasnya, menjadi faktor penting yang dipertimbangkan. Ingat, sudah lebih dari dua tahun, sejak keputusan Brexit muncul dari aspirasi mayoritas orang Inggris, pemerintah masih menunggu untuk membuat keputusan.
Saya merasakan betul, bagaimana orang-orang Inggris muak dan capek dengan isu Brexit. Mereka sudah dibayangi isu ini selama lebih dua tahun. Media-media Inggris, terutama televisi, radio, koran dan laman internet, telah bertubi-tubi menginformasikan hal-hal terkait Brexit. Sekaligus, efek dari keputusan ini dan spekulasi-spekulasi atasnya. Kawan-kawan saya yang lahir dan besar di Inggris juga malas berkomentar tentang Brexit. Mereka ingin ada secepat mungkin keputusan atas isu lawas ini.
Nah, selain isu Brexit, hal krusial yang menjadi perdebatan di seputar pemilihan umum di Inggris pada Desember 2019 lalu, yakni gelombang antisemitisme. Kekalahan Labour Party di antaranya karena isu antisemitisme yang berhembus kencang menerpa partai pimpinan Jeremy Corbin.
Orang-orang Yahudi di Inggris menuduh Jeremy Corbin sebagai seorang antisemit, karena kebijakan-kebijakan internal selama mengomando Partai Buruh. Corbin memang beberapa kali menyatakan dukungan terhadap perjuangan Palestina, seraya mengutuk kebijakan Israel yang brutal. Di Inggris, pernyataan Corbyn langsung menjadi perdebatan di lintas media dan kampus.
Komunitas-komunitas Yahudi mengutuk Corbin atas pernyataan-nya terkait Israel. Meski sejak awal Corbin berkelit karena menganggap hal itu bukan tindakan antisemitik, namun serangan bertubi dari media-media Inggris menjadikan citra Partai Buruh seolah sebagai partai yang mengusung semangat antisemitik. Tentu saja, dalam skala yang lebih luas, definisi antisemitik di ruang politik dan akademik diperdebatkan. Bahkan, antar akademisi saling berpendapat dengan menjelaskan kerangka analisa masing-masing.
Jeremy Corbin terjebak pada ‘frame’ antisemitik itu. Ia terlanjur tercitrakan sebagai pemimpin politik yang antisemit, yang bahkan tidak bisa menjaga pendukung-pendukungnya dari komunitas Yahudi. Isu ini menjadi semakin sensitif, seiring meningkatnya tren kekerasan atas nama antisemitisme di Inggris, baik kekerasan fisik maupun teror mental.
Meski demikian, Jeremy Corbin akhirnya meminta maaf secara terbuka. “Can I just make it clear.. our party and me, do not accept antisemitism in any form. Obviously, I’m very sorry for everything that’s happened but I want to make this clear, I’m dealing with it. I have dealt with it,” jelas Corbin, sebagaimana dilansir theGuardian (3 Desember 2019).
Corbin menjelaskan bahwa Partai Buruh juga terkena dampak signifikan atas isu antisemitisme. Di antaranya citra negatif, serta mundurnya beberapa anggota dewan Partai Buruh dari komunitas Yahudi. Beberapa komunitas Yahudi juga menarik dukungan terhadap Corbyn, seraya mengungkapkan kejengkelan serta mosi tidak percaya atas strategi kepemimpinan Partai Buruh.
Sebelumnya, Ketua Rabbi Yahudi Inggris Raya Ephraim Mirvis mengecam Jeremy Corbin terkait antisemitisme. Rabbi Mirvis menganggap Jeremy Corbin tidak layak menjadi Perdana Menteri karena cara berpikirnya atas isu-isu antisemitik.
Meski pemilihan umum telah berakhir, namun isu antisemitisme di Partai Buruh dan politik Inggris tidak akan berakhir singkat. Frank Vogl, memprediksi isu antisemitisme akan menjadi perdebatan panjang, meski Partai Buruh telah terjatuh dan Jeremy Corbin telah terjerembab. Vogl, dalam esainya di theGlobalist (23 Desember 2019) menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi Inggris tidak dapat disalahkan pada kekalahan telak Partai Buruh.
Bagaimana kelanjutan isu antisemitisme pada kompetisi politik Inggris Raya? Gelanggang sudah terbuka, peta politik sudah terbelah. Saat ini, pembahasan Brexit masih mendominasi kepala orang-orang Inggris, khususnya mereka yang berkecimpung di medan politik.
Lalu, bagaimana orang-orang Inggris di kampung-kampung? Mereka sudah bosan dengan isu Brexit, seraya berharap badai politik segera berlalu (*).