Partai Demokrat di Amerika punya wajah baru. Tidak saja partai ini dipenuhi oleh politisi-politisi perempuan, namun juga yang muda dan lebih radikal daripada generasi sebelumnya. Yang lebih penting lagi, Demokrat melipatgandakan jumlah politisi Muslim di Congress dari dua menjadi empat. Dua wajah baru itu adalah perempuan!
Anak-anak muda ini memberikan nafas segar pada politik Amerika. Mereka tidak pernah menyembunyikan program politiknya yang radikal, Sosialisme-Demokratik! Mereka terus terang dan tanpa tedeng aling-aling (unapologetic).
Dalam spektrum ideologi politik Amerika, partai Demokrat yang modern didudukan di sebelah kiri. Namun jangan bayangkan kiri dalam pengertian seperti Marxis. Disini kiri dalam pengertian progresif. Demorkat berusaha mengakomodasi elektorat yang minoritas, perempuan, imigran, pro-aborsi, pro-buruh, pro-LGBT, dan sebagainya.
Demokrat, karena program-program sosialnya, lebih cenderung pada pemerintahan yang besar, pajak progresif, dan tunjangan sosial kepada yang lemah. Makanya pemerintahan partai ini terkenal dengan pajaknya yang tinggi.
Republikan adalah kebalikannya. Mereka adalah partai pengusaha, anti-pajak, elektoratnya cenderung kulit putih, dan Kristen. Mereka anti-aborsi. Anti-LGBT. Mereka pun cenderung lebih ramah kepada agama, termasuk Islam. Yang terakhir ini terjadi karena pemisahan urusan agama dan negara.
Sejak Presiden Franklin Delano Roosevelt berkuasa, partai Demokrat berubah menjadi partai yang progressif. Platform ini sebelumnya dipegang oleh partai Republik.
Sebelumnya Demokrat adalah partai konservatif. Dalam perang saudara menghapus perbudakan, partai Demokrat berpihak pada pemilik budak. Sementara, partai Republik dibawah kepemimpinan presiden Abraham Lincoln hendak menghapuskan perbudakan.
Pergerakan ke kiri ini dilengkapi pada tahun 1950 ketika Demokrat berpihak pada perjuangan hak-hak sipil (civil rights) yang menuntut persamaan warga Amerika kulit hitam dengan kulit putih. Elektorat partai ini pun bergeser dari selatan ke wilayah-wilayah utara Amerika.
Pada tahun 2016, partai Demokrat mengalami kekalahan besar. Setelah kehilangan Congress (DPR dan Senat), Demokrat kehilangan kursi kepresidenan. Tanpa diduga, bahkan oleh Republikan sekalipun, Donald J. Trump menang atas Hillary Clinton.
Sebelumnya, dalam pertarungan merebut kursi kandidat Demokrat, Hillary Clinton harus berhadapan dengan Senator Bernie Sanders, yang mengaku dirinya Sosialis. Elit mapan partai Demokrat memihak Hillary. Mereka tidak percaya bahwa ide-ide yang ditawarkan oleh Sanders (ide yang menurut saya lebih populis-kiri) akan menang. Mereka salah.
Kekalahan Clinton menyebabkan Demokrat harus berefleksi. Mereka mencari jiwanya yang hilang. Pemilihan Trump dengan segala keantikannya ternyata telah membangkitkan sisi progresif dari partai Demokrat. Mereka didominasi oleh perempuan, usai muda, dan dari kalangan keturunan imigran.
Pemilihan sela (mid-term election) tahun ini juga memberi banyak kejutan. Sementara, Trump berkuasa dengan mengipasi rasisme sertai nasionalisme kulit putih, partai Demokrat mengakomodasi banyak sekali politisi perempuan dan minoritas.
Di tengah teriakan Amerika untuk kembali kepada kekristenan, yang umumnya diteriakkan oleh golongan Kristen Evangelis, kaum Muslim bukannya makin terpinggirkan. Sebaliknya, kekuasaan Trump melahirkan anak-anak muda Muslim yang ingin menyalurkan aktivismenya ke dalam politik.
Saat ini, Congress hanya memiliki dua anggota yang Muslim. Keduanya laki-laki. Mereka adalah Keith Ellison mewakili Minnesota dan Andre Carson dari Indiana. Pemilihan terakhir ini menaikkan dua perempuan Muslim ke dalam Congress yakni Rashida Tlaib dari Michigan dan Ilhan Omar juga dari Minnesota.
Rashida Tlaib adalah orang Palestina. Dia masuk ke Amerika sebagai pengungsi. Platform politiknya adalah progresif Demokrat. Sementara Ihan Omar adalah keturunan Somalia. Dia tidak pernah menyembunyikan ideologinya, yang dia sebut sebagai “Sosialis-Demokratik.” Platform ideologi yang sama juga dmiliki oleh bintang yang sedang mengorbid di partai Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez, yang baru saja terpilih mewakili New York di Conggres.
Politisi-politisi Muslim juga bertebaran di tingkat negara bagian dan pemerintahan lokal. Banyak dari mereka yang terpilih jsutru setelah Trump. Bahkan di negara bagian seperti Iowa, ada politisi perempuan Muslim, Mazahir Salih, yang terpilih menjadi Dewan Kota).
Di luar politisi, ada juga tokoh-tokoh pemikir dan pengorganisasi masyarakat. Salah satunya adalah Waleed Shahid. Dia tamatan Haverford College, sebuah universitas kecil namun sangat elit di kota Philadelpia.
Dulu dia bergabung dengan kampanyenya Bernie Sanders. Pada pemilihan gubernur New York kemarin dia menjadi penasehat Cynthia Nixon, mantan artis pemain ‘Sex and the City” yang menantang petahana Andrew Cuomo. Waleed Shahid pernah mengikuti program pertukaran pelajar di Indonesia. Dia juga tidak malu-malu mengaku bahwa platform politiknya adalah Demokratik-Sosialis.
Apa yang bisa dipelajari dari naiknya politisi, aktivis, dan intelektual progresif Muslim di Amerika ini?
Jika diamati, para politisi, aktivis, dan intelektual progresif Muslim hidup dalam lingkungan yang sama sekali tidak ramah untuk mereka. Mereka justru berkembang dalam Amerika-nya Trump yang rasialis dan anti-Muslim. Dari luar, mereka seperti biji yang ditabur diatas kerakap batu. Panas sedikit akan menghancurkan mereka.
Kedua, mereka yang berhasil di dalam lingkungan yang tidak bersahabat ini adalah justru kaum perempuan. Ingat, keberhasilan mereka terjadi ditengah-tengah presiden yang sangat tidak menghormati perempuan.
Ketiga, mereka mengusung isu-isu yang sangat progresif: jaminan kesehatan untuk semua orang, kesetaraan gender, pro-kelas pekerja, upah minimum, pro-LGBT, perlindungan pada migran, anti-tembok yang ingin dibangun Trump, dll.
Secara keseluruhan, para politisi Muslim ini berhasil karena berkampanye lewat isu yang menyentuh jantung masyarakat Amerika. Isu-isu persamaan hak, keadilan untuk semua ras, gender, agama, orientasi seksual, juga keadilan dalam penghidupan (upa minimum $15 per jam, misalnya).
Yang paling penting adalah mereka melawan politik identitas yang dieksploitasi habis-habisan oleh kaum Republikan kanan dengan politik yang bersandar pada isu dan kebutuhan riil masyarakat. Mereka berhasil naik karena mampu menembus batas-batas elektoral mereka sebagai Muslim. Dengan kata lain, mereka berhasil mengatasi kelemahan (liability) mereka sebagai Muslim yang minoritas dan menawarkan hal-hal yang kongkrit yang dibutuhkan oleh elektorat mereka.
Apakah ini ada bunyinya untuk politik Indonesia? Saya kira sangat besar. Kita lihat dalam politik kita, politisi merespons politik identitas dengan menambah identitas. Yang ada adalah perlombaan untuk menunjukkan siapa yang lebih Islami. Versi Islam mana yang lebih benar. Sementara, kebutuhan elektorat yang riil ditinggalkan.
Politisi kita menjawab politik kanan dengan menjadi lebih kanan.