Entah berapa kali hujatan dan cacian ditujukan kepada para ahli agama di media sosial. Sejak awal memiliki facebook dan twitter, saya seringkali menjumpai akun-akun yang mempropagandakan kebencian melalui media sosial ini. Beberapa tokoh yang pernah dihujat antara lain KH Abdurrahman Wahid, Profesor Habib Quraisy Syihab, hingga KH Mustofa Biri. Yang terbaru adalah hujatan dan fitnah yang ditujukan kepada Kiai Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU.
Propaganda itu semakin menguat belakangan. Banyak akun-akun palsu prematur yang baru dibuat beberapa bulan (bahkan banyak yang tidak berfoto profil) turut menjadi senjata penyebaran kebencian ini. Polanya pun sama: perbedaan pandangan dalam memahami suatu teks agama.
Mirisnya, para penghujat dan penebar kebencian biasanya tidak memahami ilmu agama secara mendalam. Tak jarang, mereka baru mengenal agama Islam dalam beberapa waktu singkat, lalu mengklaim dirinya lebih Islam dibanding tokoh-tokoh yang sudah hafal Al-Quran dan memahami berbagai tafsirnya, ribuan hadis, hingga kitab-kitab klasik.
Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Rasulullah pun mengajarkan kepada umatnya bahwa perbedaan adalah rahmat. Tetapi mengapa saat ini banyak yang tidak siap dengan segala bentuk perbedaan? Apakah mereka sudah melupakan sabda Rasulullah tersebut?
Pasca Rasulullah SAW wafat, perbedaan pandangan dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Di era sahabat, saat hendak memushafkan (membukukan) Al-Qur’an, ide ini awalnya ditentang oleh sebagian sahabat karena dianggap bid’ah, tidak ada perintahnya dari Rasulullah SAW. Tapi sahabat Umar ibn Khattab kemudian memberi alasan betapa memushafkan Al-Quran adalah sebuah desakan karena banyaknya para penghafal Al-Quran yang syahid di medan perang. Maka tersusunlah mushaf Al-Quran yang bisa kita baca hingga hari ini di era Usman ibn Affan.
Di era imam mazhab pun, perbedaan pandangan bukan hal yang aneh. Misalnya ketika menyikapi apakah anjing itu najis atau tidak, pendapat antara imam Syafii dan Maliki berbeda. Imam Syafii (Bagdad dan Mesir) menyatakan secara tegas bahwa anjing itu najis, sedangkan imam Maliki (Madinah, Hijaz) berpendapat sebaliknya. Di Mesir, banyak ulama yang memelihara anjing karena menganut mazhab ini.
Bayangkan apabila para imam mazhab hidup di masa ini dan memiliki media sosial. Banyak awam dengan kebodohannya berani menghujat fatwa mereka karena berbeda pendapat. Bukan hanya fatwa, kelompok ini seringkali menyerang pribadinya tanpa mengenal takut berdosa. Menjelek-jelekkan seseorang apabila terbukti benar maka disebut ghibah (menggunjing), sedang jika salah disebut fitnah.
Fatwa bukanlah sesuatu yang mudah dikeluarkan karena harus dipertangungjawabkan di dunia mau pun akhirat. Ada mekanisme untuk berfatwa seperti menguasai tata bahasa Arab, memahami ilmu ushul fikih, hafal Al-Quran beserta sebab turunnya, hafal ribuan hadis serta asbabul wurudnya, dan syarat lainnya. Jika mereka benar, maka dapat dua pahala. Jika salah, masih mendapat satu.
Jika pendapat sudah dikemukakan oleh beberapa ulama, maka awam boleh memilih salah satunya tanpa harus menghujat pendapat yang lain. Inilah ajaran Islam yang sebenarnya; saling menghargai tanpa harus menghakimi. Pilihlah ajaran yang sesuai dengan apa yang diyakini. Wallahua’lam bi as-shawab.
Sarjoko, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.