Kekerasan Agama: Kesalahan Memahami Ajaran atau Politik?

Kekerasan Agama: Kesalahan Memahami Ajaran atau Politik?

Kekerasan Agama: Kesalahan Memahami Ajaran atau Politik?

Setahun yang lalu kita dikejutkan oleh pembakaran masjid yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Setelah setahun berlalu, kemarin kita dikejutkan oleh aksi pembakaran klenteng yang juga dilakukan oleh beberapa oknum. Disadari atau tidak, fenomena semacam ini merupakan bentuk insiden yang bertujuan mengadu domba antar umat beragama di Indonesia, di mana secara umum kerukunan antar umat beragama di negara ini cukup efisien. Seyogyanya, umat beragama di Indonesia untuk bisa menahan diri dan tidak terbawa arus yang bersifat provokatif yang memang didesain sedemikian rupa oleh oknum-oknum tertentu.

Dalam konteks akademik, sedikit saya mau berbicara soal anarkisme di dalam agama-agama yang ada di dunia, karena memang konsentrasi keilmuan saya di sosiologi agama, tentu fenomena yang terjadi di Tanjung Balai merupakan bagian dari nomenklatur ilmu-ilmu sosial yang menyangkut keagamaan. Dalam kajian agama-agama, secara de facto sifat ini merupakan anomali yang mau tidak mau harus kita diskusikan secara serius. Ia merupakan realita atas fenomena keberagamaan yang terjadi sepanjang sejarah umat manusia.

Persoalannya adalah, jika agama-agama yang ada di dunia ini mempunyai kesamaan visi dalam konteks sosial, yaitu perdamaian dan kesejahteraan, serta mempunyai komitmen yang sangat kuat terhadap anti kekerasan. Lalu mengapa kekerasan atas nama agama seringkali terjadi?

Saya menyadari pertanyaan semacam ini seakan menuduh agama dalam sejarahnya selalu identik dengan kekerasan. Namun apabila pertanyaan di atas tidak dikemukakan, tentu sangat sulit menemukan benang merah dari persoalan-persoalan klasik yang telah berjalan selama kurun waktu ratusan tahun.

Jose Casanova, di dalam laporan penelitiannya “Public Religion in The Modern World” (2001:23) menyimpulkan bahwa agama-agama yang ada di dunia saat ini telah mengalami ambiguitas yang begitu nyata. Ia menyatakan bahwa agama pada satu sisi memiliki karakteristik yang bersifat “Exclusive, particularist, dan perimordial”, namun pada sisi yang lain agama juga memiliki karakteristik yang bersifat “Inclusive, universalist, dan transcending”.

Dari beberapa karakteristik yang telah dijelaskan oleh Casanova tersebut kemudian dapat diidentifikasi bahwa agama tak ubahnya sebuah pedang yang mempunyai dua mata. Di mana pada satu sisi sebagai perekat umat, namun pada sisi yang lain, ia juga menjadi titik pemicu konflik.

Jika merujuk pada sejarah perjalanan agama-agama besar dunia, seringkali kita dapatkan nuansa kekerasan dengan jumlah korban yang sangat besar. Masih segar di ingatan kita perseteruan antara agama Islam dengan Kristen yang memicu terjadinya Perang Salib. Kekerasan yang menurut sebagian para pemuka kedua agama tersebut dianggap sebagai perang suci telah memakan korban yang tak sedikit, ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan nyawa dalam rentan waktu dua abad. Hal inil yang kemudian disimpulkan oleh Casanova sebagai bentuk anomali yang terjadi di kalangan para pemeluk agama-agama.

Praktik kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum dengan mengatasnamakan agama tertentu, biasanya menggunakan dalil teologis untuk melegitimasi setiap tindakan yang dilakukan. Walaupun di dalam realitanya, pemahaman terhadap dalil teologis yang telah dikemukakan terindikasi absurd, namun dengan semangat yang begitu besar, tetap saja yang bersangkutan bersikukuh bahwa apa yang ditawarkannya itu benar.

Persoalan yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera, menurut sebagian pengamat erat kaitannya dengan suhu perpolitik di negeri ini. Dengan kata lain, pada peristiwa pembakaran Klenteng oleh beberapa oknum yang terjadi kemarin agama hanyalah elemen kecil yang diikutsertakan dalam konflik sosial. Jika persoalan itu yang menjadi titik kulminasinya, maka dalam hal ini Georges Baladier (1984:18) menyatakan bahwa kelompok agama merupakan dimensi dari suasana politik.

Dalam hal ini agama sebagai alat kekuasaan yang dipakai untuk perjuangan politik. Oleh karena itu, ketika agama dijadikan sebagai sumber legitimasi yang jika meminjam istilah Jurgen Hebermas sebagai kelayakan sebuah pemangku politik untuk menjadi eksis, maka akan ada semacam kegiatan tukar menukar yang terjadi antara kekuasaan, pengakuan, dan ketaatan.

Oleh karena itu, dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan, setiap terjadi konflik bernuansa agama, masyarakat harus melihat dengan cerdas setiap fakta dan realita yang mengelilingi konflik tersebut. Atau dalam kata lain, ke depan masyarakat harus lebih mampu untuk melihat kekerasan agama yang sesungguhnya dengan kaca mata yang lebih jeli dengan mengkaji atau mendiskusikannya terlebih dahulu. Apakah penyerangan tersebut murni karena kesalahan dalam memahami ajaran agama ataukah faktor politik?  Saya kira kita sudah tahu jawabannya. Wallahu A’lam bis Shawab.

Mohammad Khoiron, Pemerhati Sosiologi Agama