Sahabat Amr bin Tsabit belum pernah malaksanakan shalat seumur hidupnya. Tetapi ia dijamin masuk surga. Apa amalan yang membuatnya dapat jaminan surga itu?
Nabi Muhammad SAW ibarat telaga Kautsar, ungkap Gus Mus dalam salah satu tulisannya. Seberapa pun banyaknya orang menciduk limpahan hikmah kehidupannya, menimba atau mereguk berkah dari keluhuran pribadinya, ia tak pernah kunjung kering.
Kemuliaan pribadinya itu digambarkan oleh Allah sebagai: tidak tahan melihat penderitaan umatnya, penuh perhatian terhadap mereka, dan sangat mengasihi & menyayangi orang-orang yang beriman. (QS at-Taubah:128)
“Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan yang sedemikian rupa hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia. Menurutku, keyakinan yang dibawanya akan diterima Eropa di masa datang dan memang ia telah mulai diterima Eropa saat ini.”
Begitulah salah satu kesan George Bernard Shaw, seorang Orientalis asal Inggris setelah mempelajari kehidupan Nabi. Sebaliknya, kita juga bisa menemukan narasi yang tidak menyedapkan dari kajian Orientalis lainnya. Mulai dari dituduh gila, mengidap penyakit epilepsi dan lainnya.
Ya, membaca sirah Nabi tidak hanya membawa kita berwisata menelusuri lorong sejarah, tetapi juga perjalanan mencari hikmah bagi kehidupan kita. Dari kisah perjuangan yang berdarah-darah sampai detail-detail perjalanan Sahabat memperoleh hidayah. Salah satunya tentang Amr bin Tsabit (Al-Ushairim) yang dijamin masuk surga meski belum sempat menunaikan shalat dan rukun Islam lainnya.
Dikisahkan bahwa Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah merupakan duta Islam yang menyebarkan pertama kali risalah kenabian di Yatsrib atau Madinah. Di antara kisah sukses dakwahnya, keduanya berhasil mengislamkan Bani Abdil Asyhal, salah satu kabilah Aus yang dipimpin oleh Sa’d bin Mu’adz. Seluruh penduduk kabilah itu, perempuan dan laki-laki, semuanya masuk Islam kecuali satu: Amr bin Tsabit.
Pada tahun 3 Hijriah (625), Amr bin Tsabit (Al-Ushairim) mencari saudara-saudaranya yang telah pergi menuju Uhud. Pada saat itu pula, dia mendapatkan hidayah: mengakui kerasulan Nabi & keEsaan Allah, lalu membawa peralatan perang menuju Uhud.
Dalam perang itu, Al-Ushairim terluka parah. Sebilah tombak kecil bersarang di tubuhnya. Sejumlah pasukan Muslim pun kaget menyaksikan Al-Ushairim yang tergeletak di Medan perang itu. Sebab, sebelumnya dia menjadi salah satu orang yang enggan menerima risalah kenabian.
“Apa yang telah engkau lakukan? Apakah engkau berperang karena merasa kasihan kepada kaummu atau karena kecintaanmu kepada Islam?” Tanya mereka.
“Karena kecintaanku kepada Islam. Aku telah beriman kemudian berperang bersama Rasulullah sampai mendapatkan musibah ini!”
Dalam redaksi yang lain Amr bin Tsabit mengatakan, “Jika aku mati, maka hartaku kuserahkan kepada Nabi Muhammad yang dapat digunakan sesuai kehendaknya,”
Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia. Abu Hurairah berkata, Padahal sekalipun dia belum pernah shalat kepada Allah. Mendengar hal itu Rasulullah bersabda,
“Dia mengerjakan yang sedikit namun mendapatkan pahala yang melimpah”
“Sesungguhnya ia termasuk penghuni surga.”
Lalu, pertanyaannya, apakah amal perbuatan kita selama ini, termasuk tulisan ini, sudah diniatkan untuk meneladani kepribadian Nabi atau semata-mata mengharapkan keridhaan Allah? Mari jangan lelah & lengah mengoreksi diri. Minimal menumbuhkan niat yang benar dalam segala perbuatan.