Ammar bin Yasir dan Roda Kehidupan yang Nggembel

Ammar bin Yasir dan Roda Kehidupan yang Nggembel

Kisah sufi ini akan membuatmu banyak berpikir

Ammar bin Yasir dan Roda Kehidupan yang Nggembel

 Akhir-akhir ini pikiran saya berkecamuk tentang sejarah Islam yang belakangan terlupakan. Dulu, selain mendapatkan cerita, ketika mengaji di langgar sewaktu kecil, sejarah-sejarah mengenai penyebaran islam adalah salah satu pelajaran yang saya sukai. Pun demikian, doktrin kepercayaan berlandaskan data historis selama itu tidak lantas menjadikan saya semangat mengobarkan Perang Uhud kepada tetangga sebelah saya yang punya warung—yang oleh para keponakan saya dijuluki warung kresten. Selain karena tahu bahwa mana mungkin sebuah warung bisa dibabtis untuk memeluk agama kristen, saya juga pasti kalah kalau menamainya perang Uhud, bukan?

Sepemahaman saya, sejarah Islam yang diajarkan dan saya terima sampai saat ini adalah tentang bagaimana Rasulullah, Sang Manusia Agung bersama dengan para sahabatnya menghadapi siksaan sebagai ujian seberapa kuat iman mereka kepada Tauhid. Mari kita data lagi, mulai dari pelemparan kotoran, batu, sampai dengan pengucilan selama 3 tahun di pinggiran kota Mekah, dialamai oleh Sang Nabi. Sampai sedemikian ‘marah’nya Malaikat Jibril hingga hendak menimpakan gunung-gunung kepada penduduk Thaif yang telah melempari Jidat Rasulullah hingga berdarah, namun bantuan Jibril tidak di-ACC oleh beliau. Rasulullah justru memberikan permaafannya. Pun tidak perlu diragukan lagi dengan kesabaran dan ketabahan sahabat-sahabat beliau, sebut saja: Bilal Bin Rabah, Abu Bakar Ash Shiddiq, dll.

Namun pada tulisan ini saya hendak bercerita singkat mengenai seorang sahabat Rosul yang kurang dikenal, bernama Ammar Bin Yasir. Ya, seorang sahabat yang tergolong Assabiqun Al Awwalun, atau orang-orang yang pertama masuk Islam.

Singkat cerita, Ammar bersama dengan Bapaknya, Yasir, dan Ibunya, Sumaiyah, disiksa oleh Abu Jahal and Friends karena mengikuti Agama Rasulullah. Bahkan Ibunya merupakan syahidah yang
pertama.

Ammar yang dijemur di terik matahari dan ditindih batu, awalnya masih kuat bertahan. Namun demikian, lama kelamaan akhirnya dia tidak mampu menghadapi siksaan-siksaan  itu sehingga “murtad secara lisan” dan kembali “mengakui” Tuhannya orang-orang kafir.

Setelah mendengan pengakuan dan penyesalan Ammar atas apa yang dilakukannya, Rasulullah memaklumi dan bahkan memperbolehkan mengaku tidak beriman jika memang terpaksa. Firman Allah langsung turun sehubungan dengan kondisi Ammar tersebut, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman …..” (An Nahl : 106).

Saya dengan bantuan google langsung menafsirkan ayat tersebut mengajarkan bahwa dasar keimanan adalah di dalam hati (Qalbu) masing-masing orang. Bukan hanya pada ucapan atau perbuatannya saja. Ayat tersebut sebelas-duabelas dengan hadits, Innamal A’malu Binniyat, dan tidak ada niat kecuali di dalam hati setiap individu. Niat adalah akar dari amal, letaknya berada di kedalaman dan tertutupi oleh tanah, sehingga tidak bisa (tidak perlu) diketahui oleh orang lain.

Seburuk apapun hasil tindakanmu, kalau niatmu adalah melakukan kebaikan, maka Allah pasti akan mencatatnya. Dan sebaliknya, sebaik apapun hasil tindakanmu (yang tidak sengaja terjadi) sedangkan niat awalmu adalah keburukan, maka silahkan lihat sendiri pasal pertama tadi.

Selang 1400 tahun-an sejak peristiwa yang dialami putranya Pak Yasir itu, Islam semakin berkembang pesat. Apalagi di Nusantara, yang konon merupakan jamaah Islam terbesar di dunia. Menjadi seorang muslim adalah suatu berkah tersendiri di negeri ini.

Puji Tuhan, pepatah hidup laksana roda yang terus berputar adalah benar. Kadang di bawah, kadang di atas, tapi sayang kadang ada juga yang nggembes.

Pohon Islam tumbuh subur dan menjulang tinggi di negeri ini. Namun tidak disertai dengan akar yang menghujam ke bumi. Bahkan lebih parah, akar pohonnya semakin lama semakin pendek. Tanpa perlu dihantam ajian “Rog-rog Asem” milik Joko Tingkir, pohon besar ini niscaya dapat tumbang dengan sendirinya.

Bagaimana tidak, praktik keagamaan di abad ke-kini-an ini justru terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Ammar Bin Yasir. Kealiman seorang muslim ramai-ramai diperlombakan dengan ukuran perilaku (kebanyakan sih ibadah mahdhoh) yang kasat mata. Sedangkan menempatkan niat sebagai dasar amal justru tidak pernah tersentuh.

Yang penting mah kelihatanny alim, “kelihatannya”. Sebagaimana beberapa contoh ini:

  • Di suatu kampung sholat Jamaah ramai-ramai dilakukan di Masjid, karena warganya takut dicap kafir oleh tetangganya jika sholat sendiri di rumah.
  • Di kota metropolitan, warung-warung makan tutup saat siang untuk menghormati orang yang menjalankan puasa Ramadhan. Sekaligus karena takut di-sweeping pendekar bersurban dan bertongkat jika tetap bersikeras untuk buka.
  • Berama-ramai mengajak sanak saudara berangkat haji, lumayan sebagai sarana bersih diri dari dosa korupsi. Apalagi jika dilakukan oleh menteri agama suatu negara.
  • Sebuah perusahaan tetap fasih mengucapkan Assalamualaikum (selamat sejahtera untukmu gundhulmu) sebagai pengganti sapaan hallo di telp, meskipun tidak mau membayar hutangnya yang ratusan milyar.

Selain contoh-contoh di atas, roda Islam di-gembes-i sendiri oleh orang-orang yang berpengetahuan tinggi dalam hal agama. Ada dua kategori yang paling populer yang biasa digunakan untuk jualan dakwah para da’I tersebut, yaitu tema tentang sedekah dan tentang syariah (yang berkaitan dengan halal dan haram).

Sebut saja Ustadz Ucup, yang ternyata adalah investor kelas akhirat yang sudah mempunyai beberapa hektar kavling di surga. Selain sukses sebagai konglomerat, Sang Ustadz dikabarkan pernah memperoleh Nobel dalam bidang Matematika (bersebelahan dengan John Nash) untuk formula dalam menghitung imbal balik rejeki dan aplikasinya dalam bertansaksi dengan Allah SWT, dan ajaibnya adalah dengan deviasi nol.

Ada juga Majelis Ulama yang lebih menonjol dalam perannya sebagai co founder Alam Semesta, bersama dengan Tuhan. Yang “selalu benar” dalam menentukan fatwa salah atau tidak tingkah laku manusia. Tidak lebih berbeda jika kita mau membandingkan dengan praktik surat penebusan dosa yang populer di gereja-gereja Eropa pada abad pertengahan. Ya, karena sama-sama mbayar untuk mendapatkan “kelegaan rohani”.

Untuk yang kedua ini, saya bersyukur kalau anggota organisasi ini hanya Ulama Fiqh Islam. Coba bayangkan kalau sampai Ulama Fisika (ulama adalah jamak dari kata ‘alim – yang artinya adalah ahli) menjadi anggota, niscaya juga akan ada fatwa mengenai hukum rotasi elektron terhadap proton jika berputar lebih dari 7 putaran tanpa mengucapkan labbaik allahuma labbaik.  Apalagi kalau muternya searah dengan jarum jam.

Maka dari itu, masih bersyukurlah kita semua, kalau yang diatur hanyalah sebatas jilbab sempak halal atau haram. Nek gak kuat tuku sing halal, gawe dewe wae nganggo godhong pring!

Bukan bermaksud berburuk sangka atas apa yang terjadi di tubuh umat islam, tulisan ini hanya berusaha mengungkapkan fakta dari sudut pandang penulis. Unsur subjektif pasti ada dan itu yang menjadi salah satu kelemahan dalam tulisan ini. Salam sejahtera untuk kita semua. []