Sekarang saya jadi menemukan pemahaman begini terhadap surat al-An’am ayat 125 ini:
“Maka siapa yang Allah Swt menghendaki untuk memberinya hidayah (petunjuk), maka Allah Swt akan melonggarkan dadanya kepada Islam dan siapa yang Allah Swt menghendaki menyesatkannya, maka Allah Swt akan menjadikan dadanya sempit berat seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah Swt menimpakan keburukan kepada orang-orang yang tak beriman.”
Yakni, adanya atau hadirnya rasa plong, longgar, cenderung, apalagi senang, gembira, dan cinta di dalam hati kepada melakukan amal-amal kebaikan, ‘ubudiyah dan mu’amalah, besar atau kecil, merupakan karuniaNya yang sangat agung. Tentu, tidak layak disia-siakan, wajib disyukuri.
Sebaliknya, manakala dada, pikiran, bahkan ilmu justru menjadikan berat untuk menjalankan amal-amal kebaikan, apa pun itu bentuknya, dan dihambat oleh bagaimanapun itu narasi dan argumentasinya, alias terlalu banyak fafifu, sungguhlah situasi demikian sepatutnya jadi permenungan tersendiri pada hati kita: “Jangan-jangan, terhalangnya diri dari melakukan amal-amal baik itu akibat sempitnya dada ini akibat deraan dan bekapan bahkan apa yang kita sebut ilmu atau keterangan kebaikan, kemuliaan, keluhungan….”
Tegasnya, jelasnya, tidak terlaksananya suatu amal kebaikan dengan dasar dalih dan dalil apa pun seyogianya jadi “rasa takut” (khauf) pada diri kita, rohani kita, bahwa Allah Swt sedang menyempitkan hati kita.
Ya marilah kiita selalu bermohon kepada Allah Swt agar hati kita, dada kita, dilonggarkanNya untuk cenderung, suka, senang, dan gembira, bahkan cinta kepada kebaikan-kebaikan, apa pun itu, dalam situasi apa pun.
Betul, saya paham bahwa lelaku ideal kita sebagai ejawantah penghambaan kepadaNya ialah bersifat mukhlis, ikhlas. Memang kurang masuk akal untuk menjalarkan bagaimana bisa kita yang hanya hamba (‘abdun) kok berani bertendensi, berpamrih, kepadaNya yang notabene mutlak Tuan (Khaliq).
Ikhlas beramal, ya, seyogianya begitu kondisi hati, rohani, kita.
Misal, ya, dalam amal sedekah. Bahwa sedekah berfadhilah begini-begitu, seperti melancarkan rezeki, ya, kita semua paham. Kita semua bisa menukil dalil-dalilnya. Sebab itulah ya idealnya sedekah memang mestinya ikhlas. Anda bisa lihat, misal, al-Baqarah 264.
Tetapi, mari obyektif, kapankah seseorang bisa ikhlas bersedekah, pure, tanpa pamrih apa pun kepadaNya, seperti tidak lagi mengharapkan kucuran rezeki yang ruah bagai bah, dengan semata menghamba kepadaNya dan menjalankan perintahNya, serta ittiba’ Kanjeng Nabi Saw, jika –mari catat: JIKA—kita tak punya tradisi, kebiasaan, panjang bersedekah?
Ilmu kita mungkin akan menegaskan: “Sedekah yang baik adalah dengan ikhlas.” Bisa lebih jauh ditambahkan: “Di antara orang yang dinaungi lindungan oleh Allah Swt di hari hisab kelak ialah orang yang bersedekah dengan tangan kanan dan tangan kirinya tidak tahu.” Alias, ya ikhlas.
Lalu ilmu demikian menghalangi kita untuk action sedekah, atas nama belum ikhlas.
Narasi begitu benar. Ya benar. Tetapi, ada kebenaran lain yang tak pantas dicampakkan begitu saja bahwa secara alamiahnya kita ini sangat memerlukan pelatihan, pembelajaran, tradisi panjang, dalam bersedekah untuk bisa merangkak ke fase ikhlas itu. Tanpa proses perjalanan panjang itu, berat rasanya –untuk tidak dikatakan musykil—ikhlas sedekah terbit begitu saja.
Ini pulalah kiranya jalanan logisnya mengapa ajaran sedekah dalam surat al-Baqarah itu, yang diawali dari ayat 261, tidak serentak bicara ikhlas, tapi justru motivasi. Ya, motivasi dari Allah Swt untuk bersedekah, dengan iming-iming balasan 7 kalinya atau 700 kalinya atau bahkan tak terbatas. Lalu masuk ke teknis cara pemberian sedekah yang harus dilakukan dengan baik. Lalu dilanjutkan kepada ikhlas.
Kita bisa pula menukil ayat 69 dari surat al-Ankabut ini untuk menguatkan adanya “permakluman” Allah Swt kepada sifat alamiah manusia:
“Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Kami maka sungguh akan Kami tunjukkan (karuniakan hidayah) jalan-jalan Kami dan sungguh Allah Swt bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Mungkinkah kita dapat dikatakan “telah berjuang dengan sungguh-sungguh” jika belum menjalani fase action, ngamal, action, ngamal, dan terus begitu, dengan dalih dan dalil belum ikhlas? Bagaimana memahami, tegasnya, ikhlas tidak melalui proses alamiah “telah berjuang dengan sungguh-sungguh” itu? Ini pertama.
Kedua, pernyataan Allah Swt bahwa Dia Swt bersama orang-orang yang berbuat kebaikan, bukankah itu telah cukup untuk kita akui sebagai “permaklumanNya” atas panjangnya proses perjalanan hati manusia bisa ikhlas, sehingga laku-laku kebaikan apa pun, walau (katakanlah) belum sepenuhnya ikhlas, juga didorongkanNya dengan apresiasi “Allah Swt bersama orang-orang yang berbuat kebaikan”?
Saya menjadi semakin yakin bahwa first of all buat kita yang sekadar manusia akhir zaman begini ialah just do it! Lakukan saja, amalkan saja, jangan biarkan argumen-argumen fafifu mencegah sebelum action, lalu biarkan perjalanan panjang ngamal itu terus merangkak ke jenjang lebih menep, mendalam, sebutlah pendar-pendar keikhlasan, seiring dengan “berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Kami” itu.
Ayat 142 dari Ali Imran ini menggugah saya lebih jauh. Nanti saya ceritakan….