Tidak diragukan lagi bahwa pesantren—maksudnya pergerakan kiai dan santri—memiliki kans dalam kekuatan politik. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa kita, kaum pesantren tidak bisa dipisahkan dari politik. Tetapi patut kita garis bawahi di sini, bahwa pergerakan kaum pesantren pada dasarnya tidak otomatis menjadi kekuatan politik, melainkan kekuatan moral.
Sepak terjang mereka sehari-hari tidak bersinggungan secara langsung dengan dunia politik, dan tidak dimaksudkan pula menjadi semacam kekuatan yang mengubah arah kebijakan politik. Kekuatan dan makna apapun yang mereka kelola terletak dan berkonsentrasi dalam dunia moral.
Seperti peristiwa heroik melawan penjajah yang diawali fatwa Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama 22 Oktober 1945 telah diakui negara sebagai peristiwa historis penting bagi Indonesia. Lebih jauh lagi, melalui Keppres No22/2015 pemerintah memperingatinya sebagai Hari Santri untuk mengapresiasi peran dan sumbangsih pesantren dalam merebut dan mempertahankan NKRI.
Meskipun demikian, pembacaan sejarah yang holistis dan dialektis mengenai Resolusi Jihad jarang ditemukan di literatur-literatur mainstream, kecuali karya Ben Anderson yang berjudul Revolusi Pemuda (1988). Dari pembacaan sejarah itu, dapat diketahui bahwa seruan Resolusi Jihad juga merupakan kekuatan moral. Saat itu, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari (Rois Akbar NU pertama) adalah tokoh Islam yang sangat dihormati. Tidak saja oleh kaum Nahdliyin, tetapi juga oleh kalangan non-Nahdliyin, bahkan tokoh sekuler.
Karena itu, ketika beliau menyerukan jihad melawan NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) umat Islam, terutama para santri dari belahan daerah beradius 94 km menyambut dengan sukarela. Seruan ini sekaligus mempertegas posisi kemerdekaan Republik Indonesia yang lebih dulu dideklarasikan. Bahwa pada frasa “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa” mengilhami warga negara untuk memahami hak-hak dan kewajiban konstitusional mereka. Resolusi Jihad kemudian memuat acuan dalam civic education yang dikapsulkan dari fatwa keagamaan tentang mempertahankan wilayah (ribath).
Meskipun Hari Santri sudah diafirmasi oleh pemerintah, masih ada beberapa hal yang harus diluruskan terkait historiografi Resolusi Jihad. Salah satunya persepsi normatif yang menafikan keterkaitan antara Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 dengan peristiwa 10 November 1945. Sunyoto (2016) menegaskan bahwa pertempuran 10 November 1945 yang dipimpin oleh Bung Tomo diawali dari serentetan pertempuran yang berlangsung pasca diterbitkannya Resolusi Jihad. Inilah fakta yang mempertegas kehadiran Nahdliyin secara politik terhadap keberlangsungan bangsa Indonesia.
Menghormati Tradisi
Sejauh ini, serangkaian komitmen sosial yang kaum pesantren tawarkan terhadap bangsa, tidak selalu kabur secara verbal, melainkan berpijak di bumi. Dengan cara ‘blusukan’ berbagi keluh-kesah misal kepada para korban penggusuran seperti petani Kendeng, Urut Sewu, dan perjuangan agraria lainnya.
Penguatan unsur kewargaan (civil society) yang digerakkan oleh kaum Nahdliyin melalui prinsip kemaslahatan umatnya memberikan pesona baru dalam keruhnya solidaritas kewarganegaraan. Greg Fealy menyebut gerakan kultural ini sebagai ‘wacana yang lebih menghormati tradisi’.
Amaliah kerja-kerja pemberdayaan seperti itu misalnya, sudah pernah diinisiaisi oleh al Maghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bentuk oposisi sipil di bawah rezim otoriter Orde Baru. Ahmad Zainul Hamdi (2019) menyebutkan bahwa di masa itu, Gus Dur dan NU-nya menjadi simbol perlawanan rakyat.
Gus Dur menumbuhkan keyakinan kepada nahdliyin untuk menerima ketidak-hadiran NU dalam politik praktis bukan akan berujung petaka. Di era itu, bermunculan NGO yang melakukan kerja-kerja advokasi dan pemberdayaan sosial.
Amaliah lain yang tidak kalah pentingnya diutarakan oleh Ben Anderson (1988) dalam Revolusi Pemuda bahwa dari sekian jenis pendidikan masyarakat, pesantren menggambarkan konsepsi tradisional akan lembaga yang pas dan tepat untuk mempersiapkan kehadiran dan kemunculan pemuda kelak di masyarakat.
Terutama dengan empat nilai utama sebagai pondasi moral yang konsisten diajarkan di pesantren; kesederhanaan, semangat kerjasama, solidaritas dan ketulusan, para pemuda santri yang ditempa di pesantren akan menjadi pemimpin dan komunitas masyarakat yang sulit dicari tandingannya, terutama dalam kondisi krisis.
Pandangan Ben ini mungkin terkesan mendramatisir dan meromantisir, namun belakangan lewat kemunculan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai pengkritik Orde Baru yang mengusung slogan demonstration without violence yang lebih menekankan pada perlawanan moral. Puncaknya ketika cucu KH Hasyim Asy’ari itu diangkat sebagai Presiden tahun 1999, menjadi bayang-bayang pengulangan belaka atas apa yang disebutkan oleh Ben Anderson sebagai sosok pemuda dan peran pesantren di masa krisis.
Harapannya, kaum pesantren—sebagai penggerak di ranah sosial-keagamaan—memaksimalkan potensi-potensi yang terpusat dalam koridor amaliah-amaliah kebangsaan. Tentu dengan cara meracik amaliah kebangsaan dari kekuatan moral sebagai political will. Apalagi pada 24 September 2019 kemarin, UU Pesantren yang telah disahkan dinilai menjadi salah satu kemenangan politis kaum pesantren.
Karena itu, besar harapan dari para penggerak pesantren untuk melahirkan gagasan-gagasan baru ihwal politik kebangsaan yang berpijak pada ‘moral politik’ di masa kini untuk mengurangi segregasi konflik agama dan penguatan ekonomi demi tercapainya bangsa dalam prinsip kemaslahatan umat seperti yang sudah diawali pada periode Gus Dur.