“Tiada yang memberi syafaat di sisi Allah tanpa idzin-Nya” (QS. Al-Baqoroh [2]: 255).
Pesuluk di jalan Allah, adalah orang yang selalu mengaharap kawelasan dan ampunan Allah. Bergiat dengan amal-amal selalu dikerjakan, tetapi harapan memperoleh rahmat Allah tidak digantungkan kepada aml-amal, tetapi kepada Allah. Beramal dengan tekun berarti dia mengerti perlu ada upaya tertentu untuk memperoleh sesuatu; dan tidak menggantungkan pada amal-amal berarti dia mengerti, ada Irodah Allah dalam semua hal.
Yang tumbuh kemudian adalah harapan kepada Allah, dan rasa takut sekaligus, kepada Allah. Keadaan rasa takut itu mendorong pesuluk untuk mengerti tentang Kemurahan Allah; dan Keperkasaan Allah, dalam setiap perjalanan dan keadaan.
Kalau pesuluk sudah memiliki rasa kecil di hadapan Allah, dia akan merasa bahwa hidup yang berarti itu bila memperoleh khusnul khatimah di akhir hidup, diselamatkan dunia dan akhirat, dan bermanfaat bagi orang lain. Maka dia merasa butuh dengan Allah. Ketika merasa butuh itu, dia menyadari ajal itu hanya milik Allah, maka sikap berhati-hati, muhasabah dan selalu waspada terhadap bujuk hawa nafsu dan setan, menjadi hal penting. Lebih-lebih, mengharapkan syafaatnya Kanjeng Nabi Muhammad, dan berharap bisa dekat dengan beliau, merupakan dambaan setiap pejalan di jalan Allah.
Oleh karena itu, harapan mendapat syafaat Nabi Muhammad, dengan idzin Allah, di hari qiymat, menjadi sangat penting; bahkan juga pertolongan dalam perjalanan suluknya dengan idzin Allah. Bahkan pada akhirnya, seorang pesuluk hajat mengerti, semua jenis wasilah pun berakhir pada ujung wasilah, yaitu Kanjeng Nabi Muhammad.
Untuk hal inilah, pesuluk di jalan Allah, pada akhirnya hajat mengerti metode-metode, memperoleh syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Berdasarkan khabar-khabar dari beliau sendiri, beberapa metode yang dapat dilakukan, sebagai berikut:
Menghafal dan Mengajarkan 40 Hadits Nabi
Ada satu riwayat, Abu Darda’ berkata: “Nabi Muhamamd sholalallohu alaihi wasallam ditanya: “Apa batasan ilmu yang menjadikan seseorang dapat sampai menjadi seorang Faqihan?” Maka Nabi bersabda: “Barangsiapa di antara umatku yang menghafal (menghayati dan mengajarkannya) 40 hadits di dalam perkara agamanya, Allah mengutusnya sebagai seorang Faqih, dan aku pada hari kiamat menjadi penolong (syafi`an) dan saksi” (HR. Al-Baihaqi, Syu’bul Iman, No. 1726).
Hadits ini, dimuat juga dalam Misykatul Mashobih (No. 258) susunan at-Tabrizi. Dalam syarah Mulla Ali Al-Qari berjudul Mirqotul Mafatih (I: 470), dikomentari: “40 hadits itu, dan di dalam maknnya 40 masalah di dalam agamanya (agama Islam), sebagai pengistimewaan hadits-hadits khabar yang berhubungan dengan agama, i’tiqad, ilmu, dan amal-amal dari satu jenis; atau dari berbagai jenis. Nabi Muhamamd menyebutnya sebagai syafi`an, dimaknai: “Dengan satu macam dari berbagai macam syafaat yang khusus.”
“Imam an-Nawawi berkomentar: “Yang dimaksud dengan al-hifzhu di sini adalah, seseorang (mampu) menuqil 40 hadits untuk kaum muslimin, dan apabila dia tidak menghafalkannya, di tidak akan mengerti maknanya. Ini adalah hakikat maknanya. Dan dengan begitu orang itu berhasil memberi manfaat kepada kaum muslimin, bukan (bermakna) menghafalnya dan tidak menuqilkannya untuk kaum muslimin. Telah menyebutkan hal itu IbnuHajar” (dalam Mirqotul Mafatih `ala Syarhi Misykatil Mashobih, I: 470).
“Ath-Thaibi berkata: “Bagaimana bisa cocok jawaban dengan soal? Saya menjawab, sesungguhnya itu dari sudut makna, seakan-akan dikatakan: “Mengerti 40 hadits dengan sanadnya beserta pengajarannya kepada manusia. Selesai. Secara zhahir, sesungguhnya mengetahui sanadnya bukanlah syarat…” (Ibid.).
Dengan dasar ini, banyak para ulama mengarang dan menyusun 40 hadits, yang dikenal dengan Arba`in/Arba`un. Di antara para ulama yang menyusun ini adalah Imam an-Nawawi, Ibnu Asyakir, Abu Abdurrahman as-Sulami, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu Rojab al-Hanbali, Hahdratusy Syaikh Hasyim Asy`ari, Syaikh Yasin al-Fadani, dan lain-lain.
Mendawamkam Dzikir “La Ilaha Illalloh”
Ada satu riwayat, Abu Hurairah bertanya: “Ya Rosulalloh, siapakah orang yang paling bahagia memperoleh syafaat Anda pada hari kiamat?” Rosulullah menjawab: “Sungguh aku menyangka wahai Abu Hurairah, tidak ada seseorang yang bertanya kepadaku tentang hadits ini yang lebih awal dari engkau, karena aku melihat penjagaanmu atas hadits. As`adun nnas bisyafa`ati yaumal qiyamah, man qola: “La Ilaha Illalloh dengan ikhlas di hatinya atau nafsnya” (HR. Bukhari No. 99).
Hadits ini dimuat dalam ash-Shahih al-Bukhari pada bab “Al-Khirtsu `alal hadits”. Ibnu Mulaqqon, menyebutkan hadits ini, tidak diriwayatkan Imam Muslim (Ibnu Mulaqqon, At-Taudhih ila Syarhil Jami`ish Shohih, III: 486). Ibnu Mulaqqon menjelaskan begini: “Sesungguhnya syafaat diberikan kepada Ahli tauhid. Dan ini cocok dengan sabda Nabi: “Bagi setiap Nabi ada da’wah, dan sesungguhnya aku akhtabtu da’wati sebagai syafa`at bagi umatku pada hari kiamat. Maka dia memeproleh, insya Allah, man mata min ummati la yusyrik billah syai’an.”
Pada umumnya, kaum muslimin, yang mendawamkan dzikir-dzikir setelah sholat maktubah, Kalimat Tahlil itu tercakup di dalamnya. Sementara kaum tarekat, berikhtiar mendawamkan Kalimat Tahlil ini, melalui baiat dan ijazah dari seorang guru. Jumlah yang dikhatamkan pun, bervariasi tergantung guru dan sanad tarekatnya. Begitu pula tempat waktunya, bisa setelah sholat maktubah, atau setelah shubuh dan isya.
Bahkan kekhususan mereka yang mendawamkan Kalimat Tahlil, disebut dalam riwayat begini:
1. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan La Ilaha Illalloh, dan mengingkari terhadap apa yang disembah selain Allah, dia haram darahnya, hartanya (tidak boleh dibunuh), dan hisabnya di sisi Allah (HR. Muslim, I: 53/No. 23; Ahmad, VI: 395).
2. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan “La Ilaha Illalloh”, hatinya membenarkan lisannya, ia masuk dari mana saja di antara 8 pintu surga yang dikehendakinya” (Jam’ul Jawami’, No. 3977, IX: 31, riwayat Ibnu Najjar melalui jalan sahabat Abu Bakar).
3. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan “La Ilaha Illalloh”, wajib atasnya surga (Jam’ul Jawami’, No. 4090, IX: 687; dari Abu Thalhah, dari ayahnya dari kakeknya).
4. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan “La Ilaha Illalloh”, sho`adat dan hijab tidak akan menolaknya sampai dia sampai kepada Alloh, dan apabila ia telah sampai, nazharallah kepada orang itu, dan haq atas Allah untuk tidak melihat kepada Muwahhid kecuali dengan rahmat (Jam’ul Jawami’, No. 4091, IX: 687; Ibnu Shorshori di dalam kitab Amaliyah dari Said bin Said).
Dalam kitab Khozinatul Asror, Syaikh Muhammad Haqqi Nazili menyebutkan Kalimat Tahlil ini pada pasal “Babul Ahaditsish Shohihah al-Waridah wa Aqwalil A’immah fi Bayanit Tauhid al-Haqiqi”. Beliau menuqil bahwa:
“Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan La Ilaha Illalloh 70.000 kali akan dipermudah baginya surga, sebelum dia meninggal”; dan Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan La Ilaha Illalloh 71.000 kali maka dia telah mebela dirinya sendiri dari Alloh, diriwayatkan Abu Said dan Aisyah rodhiyallohu `anhuma” (Sayyid Muhammad Haqqi Nazili, Khazinatul Asror, versi Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beriut, 1993/1414, hlm. 221).
Memperbanyak Sholawat
Banyak riwayat tentang sholawat dan keutamaan mereka yang mendawamkan membaca sholawat disebut mmperoleh syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Di antara riwayat-riwayat soal ini menyebutkan begini:
1. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bersholawat atasku tatkala pagi hari 10 kali dan sore hari 10 kali, dia memperoleh syafa`atku di hari kiamat” (Jamu’l Jamawi’, No. 3264, dari jalan Abu Darda).
2. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bersholawat kepada Muhammad, dan kemudian berdoa: “Allohumma anzilhu al-maq`adal muqorrob `indaka yaumal qiyamah, wajib atasnya memperoleh syafa`atku” (Jamu’l Jamawi’, No. 3629, dari jalan Ibnu Ruwaifi’ bin Tsabit).
3. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bersholawat kepadaku pada hari Jum’at, maka baginya syafa`atku pada hari kiamat” (Jamu’l Jamawi’, No. 3635, riwayat Dailami dari jalan Sayyidah Aisyah).
Sedangkan mereka yang mengkhususkan bersholawat pada hari Jum’ah dengan jumlah bilangan 100, 200 dan 1000, disebutkan oleh beberapa riwayat begini:
1. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bersholawat kepadaku pada hari Jumat 200 sholawat, diampuni dosanya 2 tahun (Jamu’l Jamawi’, No. 3636; riwayat Dailami dari jalan sahabat Abu Dzar).
2. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bersholawat kepadaku setiap hari 1000 x, dia tidak akan mati sebelum diberi mubasyarat dengan surga (Jamu’l Jamawi’, No. 3637; riwayat Abu Syaikh dari jalan sahabat Anas).
3. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bersholawat atasku pada hari Jumat dan malam Jumat 100 kali sholawat, maka Alloh memenuhi hajatnya 100 hajat, 70 dari kebutuhan-kebutuhan akhirat, dan 30 kebutuhan dunia….” (Jamu’l Jamawi’, No. 3637; riwayat Dailami dari jalan sahabat Anas bin Malik).
Nabi Muhammad juga bersabda dalam riwayat Tirmidzi begini: “Seutama manusia di sisiku pada hari kiamat, adalah mereka yang memperbanyak sholawat atasku.” Imam Tirmidzi menyebutkan: “Ini hadits hasan gharib” (HR. Tirmidzi, No. 484).
Berziarah ke Makam Rosulullah di Madinah
Ada beberapa riwayat yang menyebutkan, mereka yang berziarah ke makam Nabi, dengan niat bertaqarrub kepada Allah dan mencari ridhanya (ihtisab), berhak memperoleh syafaatnya di hari kiamat. Beberapa riwayat yang menyebutkan ini di antranya:
1. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menzirahiku di Madinah dengan ihtisab (muhtsiban) maka saya menjadi saksi, atau memberi syafa`at kepadanya pada hari kiamat” (Jamu’l Jawami’, No. 3136; dari jalan sahabat Anas).
2. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengunjungi (berziarah) ke kuburku maka kepadanya aku memberi syafaat atau menjadi saksi, dan barangsiapa yang mati di al-Haramain maka Allah akan mengutusnya di hari kiamat termasuk Aminin” (Jamu’l Jawami’, No. 3137; dari jalan sahabat Umar).
3. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berziarah ke kuburku, maka wajib atasnya syafa`atku (Jamu’l Jawami’, No. 3139; riwayat al-Hakim dari Ibnu Umar).
Dan orang yang berziarah ke makam Nabi Muhammad, dianggap sama dengan berziarah ketika beliau masih hidup, karena ada hadits begini:
“Barangsiapa menziarahiku setelah wafatku, maka seakan-akan dia menziarahiku di dalam hidupku, dan barangsiapa mati di al-Haramain, maka dia diutus minal Aminin pada hari kiamat” (Jamu’l Jawami’, No. 3138, riwayat Ibnu Qani dari jalan Hatib bin al-Harits).
Wafatnya Penyabar yang Menahan Kesusuhan Tinggal di Madinah
Tentang hal ini ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (tinggal di Madinah) kemudian dia mati, kecuali aku akan memberi syafaat kepadanya, atau menjadi saksi kepadanya pada hari kiamat, jika dia seorang muslim” (HR. Muslim. No. 1374/477, dari jalan sahabat Abu Said al-Khudhri; hadits senada diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar, No. 1377/481, juga dari sahabat Abu Hurairah, No. 1378/484).
Imam Muslim memasukkan hadits tersebut pada “Babut Targhib fi Suknal Madinah wash Shobar `ala La’wa’iha” (versi, Daru Ihya’i Kutubil Arabiyah-Darul Kutub al-Arabiyah Beirut, 1991/1412, hlm. 1001-1004).
Mereka yang berdoa “Allohuma A’ti Muhammadan…” dan Doa Setelah Adzan
Ada dua jenis riwayat, yang menyebutkan bahwa mereka yang berdoa dengan doa Allohuma a’ti Muhammadan…; dan berdoa setelah adzan dia akan memperoleh syafaat Nabi Muhammad. Riwayat ini menyebutkan begini:
1. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan dalam setiap akhir sholat maktubah doa: “Allohumma a’ti Muhammadan ad-darajatal wasilata, allohumma fil mushthofaini shuhbatahu, wa fil `alamina darajatahu, wafil muqorrabina dzikrohu”. Barangsiapa yang membaca itu setiap selesai sholat, maka sungguh wajib atasnya memperoleh syafaatku dan masuk surga” (Jam’ul Jawami’, No. 3951, riwayat Ibnu Sinni dari jalan sahabat Abu Umamah).
2. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang (senantiasa) membaca ketika (selesai) adzan, “Allohumma Robbahadihi da’ watit tammah washsholatil qo’imah ati Muhammadanil wasilata wal fadhilah wab`atshu maqomam mahmudanil lati wa`adtahu,” maka dia berhak mendapat syafaatku pada hari kiamat” (HR. Bukhari, No. 164, riwayat dari sahabat Jabir bin Abdullah).
Selain itu, ada beberapa cara mendapat syafaat, tetapi syafaat itu, dihubungkan dengan amal itu sendiri dan syafaat Allah, tidak eksplisit disebut syafaatnya Nabi, begini:
1. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang mayyit muslim dishalatkan oleh sekelompok orang yang jumlah mereka mencapai 100, semuanya memintakan syafaat untuknya, itu akan diberikan untuknya” (HR. Muslim, No. 947/58); dan atau sejumlah 40 orang berdasarkan hadits: “Tidaklah seorang muslim yang meninggal dunia, lalu jenazahnya dishalatkan 40 orang yang tidak menyekutukan Allah dengan siapapun, melainkan Allah akan memberikan syafaat kepadanya” (HR, Muslim, No. 948/59).
2. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Puasa dan Al-Qur’an akan memberi syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata: “Wahai Rabbku, aku telah menahannya dari makan dan minum pada siang hari dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan aku untuk memberi syafaat kepadanya.” Al-Qur’an berkata: “Aku telah melarangnya dari tidur pada malam hari. Maka perkenankan aku untuk member syafaat kepadanya” (Jam’ul Jawa’mi, No. 11260, riwayat dari Ibnu Umar, dikeluarkan Ahmad, Thabrani, dan al-Hakim).
3. Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat dengan memberi syafaat kepada ahlinya” (HR. Muslim. No. 804/252, hadits dari jalan Abu Umamah). Pada hadits berikutnya, disebut dengan redaksi: “Dia akan diberi melalui Al-Qur’an pada hari kiamat dan ahli Al-Qur’an itu yang mengamalkan ilmunya…” (HR. Muslim, No. 805/253, melalui jalan Nawwas bin al-Kilabi). Dari hadits ini, dapat dimengerti bahwa Ahli Al-Qur’an tersebut, yang dimaksud adalah yang mengamalkan ilmunya, artinya ilmunya bermanfaat.
Selain mengerjakan amal-amal yang dikhabarkan bisa menjadi wasilah memperoleh syafaat Kanjeng Nabi, orang-orang shalih-sholihat, bahkan menambahkan dalam doa-doa mereka, untuk memperoleh syafaat Nabi Muhammad itu. Dalam doa-doa maulid, manaqib, dan wirid-wirid jama`i, doa itu selalu dipanjatkan, dengan tetap menyandarkan doa itu kepada Allah, dan memohonnya pun kepada Allah. Wallohu a’lam.