Banyak muslim yang tahu bahwa Allah memiliki asma’ul husna berupa ar-Razzak. Banyak pula yang tahu bahwa makna ar-Razzak adalah dzat pemberi rezeki. Tapi jarang yang tahu apakah makna rizki tersebut? Apakah rizki itu adalah setiap yang kita pinta dalam doa kita? Dan bagaimana bentuk keyakinan kita bahwa Allah dzat pemberi rizki. Kita akan simak uraian al-Ghazali tentang makna tersebut dalam kitab berjudul al-Maqsad al-Atsna fi Syarhi Asmail Husna.
“Allah lah yang menciptakan rizki, menciptakan orang yang menerima rizki, yang memberikan kepada mereka dan menciptakan hal yang membuat mereka menikmati rizki tersebut” begitu ungkap al-Ghazali. Dari sini al-Ghazali secara tidak langsung menyatakan bahwa lafadz tersebut tidaklah melulu pada soal bentuk rizki, tapi juga mengenai penerima, cara menerimakan dan bagaimana si penerima menikmati rizki tersebut. Sehingga secara tidak langsung beliau mengingatkan bahwa perihal nama ar-Rozzak jangan hanya dikaitkan dengan bentuk rizki, tapi juga keberadaan penerima, cara menerimakan dan cara penerima menikmati rizki tersebut.
Hal itu menyadarkan kita bahwa: 1) Kuasa Allah terkait rizki tidak terbatas bentuk rizki, tapi juga semisal bagaimana Allah memunculkan rizki tersebut; 2) Sesuatu yang sering kita remehkan kadang itu adalah sebuah rizki yang diperuntukkan pada sesuatu yang tidak kita sadari. Semisal sebutir nasi yang jatuh; yang tampak tak berguna adalah rizki seekor semut yang sebelunya mondar-mandir mencari makanan; 3) Apakah setiap orang yang diberi apa yang ia pinta akan selalu bisa menikmatinya? Misalnya, orang meminta uang banyak kemudian diberi Allah akan lantas bisa menikmatinya? Bagaimana bila saat menerima uang itu si peminta terkena stroke sehingga tidak bisa bergerak dan tidak bebas memakan makanan yang ia sukai?
Al-Ghazali kemudian meneruskan:
“Rizki ada dua. 1) Rizki dzahir, yaitu rizki berupa bahan pokok dan makanan. Rizki ini diperuntukkan untuk anggota dzahir, yaitu badan manusia. 2) Riski bathin, yaitu berbagai pengetahuan tentang keagungan dan ketersingkapan pada Allah. Rizki ini diperuntukkan pada hati”
Dari sini, al-Ghazali menerangkan bahwa rizki tidaklah selalu berupa materi atau hal yang kembali kepada jasad dan mempertahankannya hingga ajal. Tapi, bisa juga bertambahnya pemahaman, pengetahuan, pengalaman atau keyakinan atas dzat Allah taa’la yang bisa jadi berupa hikmah atas berjalannya satu taqdir Allah. Orang yang berdoa sebelum bepergian agar diberi keselamatan, tapi Allah mentaqdirkannya mengalami kecelakaan, bisa jadi diberi rizki tidak berupa keselamatan pada jasad yang bersifat sementara hingga ajal, tapi berupa kesadaran bahwa Allah yang berkuasa atas segala hal. Hamba bisa meminta, tapi tak bisa menuntut Allah agar mengabulkannya.
Lalu bagaimana cara kita menghayati atau memperkuat pemahaman kita nama tersebut? Al-Ghazali mengarahkan hendaknya ia mendalami sifat ini. Dan menyadari bahwa Allah lah pemilik dirinya. Sehingga ia tidak menanti rizki kecuali darinya dan tidak bertawakkal kecuali padanya. Seorang petani yang gagal panen semisal, tidak akan terlalu dirisaukan sebab kegagalan usahanya. Karena bukan usahanyalah yang memberi rizki, tapi Allah. Dan Allah memiliki banyak jalan dan banyak cara memberi rizki. Saat sadar bahwa Allah lah pemberi rizki, maka ia akan ingat bahwa gagal panen hanyalah kegagalan kecil yang tak sebanding dengan cara Allah memberikan rizki yang terbaik bagi kita.