Alissa Wahid: Ultra Konservatisme Beragama Berdampak Buruk, Khususnya Bagi Perempuan

Alissa Wahid: Ultra Konservatisme Beragama Berdampak Buruk, Khususnya Bagi Perempuan

Bagi Alissa Wahid, ultrakonservatisme beragama begitu buruk khususnya bagi perempuan di Indonesia

Alissa Wahid: Ultra Konservatisme Beragama Berdampak Buruk, Khususnya Bagi Perempuan

Isu Perempuan dan anak akhir- akhir ini semakin kelihatan sebagai isu yang besar. Isu ini, menurut koordinator Gusdurian, Alissa Wahid, masih punya PR tentang keadilan gender yang masih belum terwujud keadilan hakiki.

“Jadi ini PR yang sangat besar. Kita tahu penempatan perempuan semakin lama subordinasi semakin menguat seiiring dengan peningkatan ultra-konservatif,” tutur Alissa Wahid dalam pembukaan diskusi online isu perempuan dan anak dalam Temu Nasional Penggerak  Gusdurian 2020, Kamis (10/12) Siang.

Penguatan konservatisme ini, menurut beliau, sangat rigid dan bias karena semakin kuat risiko buruknya tinggi bagi perempuan di Indonesia.

“Misalnya, contoh perkawinan anak, kita tahu perkawinan anak di Indonesia maju mundur, naik 0,2 persen turun lagi menjadi 0,3 persen naik lalu turun lagi itu semua salah satunya karena kampanye ultra-konservatif.  Di mana perempuan ditempatkan kembali sebagai pihak yang tidak berhak atas dirinya, tidak punya potensi yang perlu dikembangkan karena hanya akan jadi Ibu,” ungkap  Alissa.

Saya paling marah kalau kalimatnya tidak usah sekolah karena hanya akan menjadi ibu, dianggap  pendidikan itu tidak ada pengaruhnya terhadap kualitas ke- ibu- an seseorang.

“Apakah seseorang yang  mau melanjutkan pendidikan  sampai S3 kemudian mengambil pilihan untuk full time mother, tetap saja ilmunya dia akan membantu untuk membangun keluarga berkualitas, mencetak anak- anak muda yang berkualitas,” tegas Putri sulung Gus Dur itu.

Lanjut Alissa, kita punya PR yang sangat besar kalau bicara isu perempuan dan anak. Isu ini tidak hanya bicara sesuatu yang sifatnya personal saja, tetapi bicara sistem yang lebih besar yang ada di Indonesia.

“Saya berharap teman- teman Gusdurian punya cara pandang ini secara kuat di komunitasnya sehingga ini tidak dianggap sebagai isu ecek- ecek atau kecil. Kita tahu perempuan terutama di kota kecil akses terhadap pendidikan masih sangat rendah, akses perempuan dalam mengambil keputusan juga masih sangat rendah,” tambahnya.

Sementara itu, menurutnya, di saat yang sama semua tahu dunia ini membutuhkan kehadiran perempuan. Apalagi, jika belajar dari pengalaman pandemic Covid-19 saja, Negara – negara yang justru lolos dengan cepat dari perangkap  pandemic ini dipimpin oleh perempuan seperti Jacinda Ardern di New Zealand.

“Jadi intinya ultra-konservatisme itu berdampak langsung kepada status perempuan dan keluarga,” papar beliau.

Secara data, Indeks pembangunan keluarga memang mengalami penurunan, di tahun 2018 baru 53 persen. Tahun 2014 perceraian 344.000, tahun 2016 kasus perceraian 365.000, kemarin pak Hadi Mahrus menyampaikan bahwa  perceraian tahun 2019  itu 460. 000 kasus.

Jadi kalau dalam setahun ada 2,6 juta orang menikah lalu ada 460.0000  orang bercerai, perbandinganya 1 : 4 itu tinggi sekali. Kalau yang bercerai saja segitu berarti keluarga yang broken seberapa besar? karena  tidak semua keluarga yang dengan kdrt dan lain- lain akan bercerai. Berarti ada sekitar 600.000 keluarga yang kualitasnya kurang ideal. Keluarga miskin juga masih banyak sekali.

Dalam konteks anak,  perlindungan anak juga terutama dalam hal ini pada perkawinan anak. Karena perkawinan anak itu pintu gerbang terhadap problem lainya. Peningkatan usia anak menjadi 19 tahun itu justru banyak sekali tahan dengan perma yang baru, hakim tidak bisa sembarangan memberi dispensasi nikah.

“Tetapi karena ultra- konservatisme menempati agama lebih tinggi daripada negara, maka banyak juga pejabat Kementrian Agama KUA kemudian juga di Hakim Agama mengatakan menikahkan sirih aja yang penting sah secara agama,” tutup kata Alissa.

Alissa Wahid juga mengingatka, Isu perempuan dan keluarga bukanlah isu yang sifatnya sangat personal. Kita bicara dengan sistem kehidupan kita bersama, selama keadilan hakiki belum terjadi selama itu juga kualitas kehidupan kita sebagai masyarakat belum benar- benar adil, makmur dan sentosa.

TUNAS 2020 berlangsung selama sepuluh hari, mulai tanggal 7 Desember 2020 hingga 16 Desember 2020. Kegiatan dibagi menjadi kegiatan khusus penggerak pada tanggal 8 sampai 10 Desember 2020 Dan kegiatan untuk umum bertajuk Festival GUSDURian mulai tanggal 12- 15 Desember 2020. Berbagai kegiatan public yang seluruhnya diselenggarakan secara daring bisa diikuti oleh public luas, baik melalui zoom atau pun live streaming di halaman Fanpage KH. Abdurrahman Wahid.