“Eksklusivisme beragama adalah hulu dari segala konflik keberagamaan. Ia melahirkan superioritas, superioritas melahirkan intoleransi, intoleransi melahirkan diskriminasi, diskriminasi melahirkan ekstremisme,” kata Alissa Wahid dalam Dialog Nasional bertajuk “Penguatan Sinergi Kelembagaan Dalam Penanganan, Pencegahan, Deteksi Dini, dan Resolusi Konflik Keagamaan di Indonesia.”
Dalam forum diskusi kebangsaan yang diselenggarakan di Bandung (30/11) tersebut, Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia itu menjelaskan bahwa ada dua arus keberagamaan, yaitu praktik beragama yang substantif-inklusif dan praktik beragama yang eksklusif-legal formalistik.
Arus pertama adalah beragama secara inklusif. Salah satu basis dari sikap beragama yang substantif-inklusif adalah dengan memegang teguh tiga ukhuwah; ukhuwah islamiyah, ukhuwah basyariyah, dan ukhuwah wathoniyah. Sinergi antara tiga ukhuwah itu akan menciptakan pribadi yang tidak hanya sholih secara transendental, tapi juga sholih secara sosial.
Sebaliknya, orang dengan praktik beragama yang eksklusif-legal formalistik akan berupaya untuk membuat aturan dan regulasi tentang kehidupan manusia terkait cara beragamanya serigid mungkin. Tipe beragama simbolik seperti ini berpotensi besar melahirkan sikap eksklusif dalam beragama.
Alissa kemudian membincang soal letak kontribusi perempuan dalam upaya pencegahan konflik dan bina damai. Ia menegaskan bahwa perempuan harusnya terlibat dalam upaya resolusi konflik dan agenda-agenda perdamaian di Indonesia.
“Namun, sebelum ke situ, kita harus memahami bahwa di Indonesia, perempuan sudah bebas mengakses ruang publik,” lanjut Alissa Wahid.
Ia sedang membicarakan kondisi perempuan di Indonesia yang telah memiliki kebebasan dalam berkekspresi di ruang publik. Menurutnya, perempuan selalu punya ruang di tengah masyarakat. Berbeda dengan negara-negara Muslim lainnya, di mana perempuan hanya menjadi makhluk domestik, di Afghanistan misalnya.
“Orang luar merasa takjub di Indonesia karena perempuan bisa secara bebas mengakses ruang publik. Terlepas dari seorang istri atau ibu, perempuan bisa menjadi penggerak dalam masyarakat. Peran perempuan ini misalnya bisa dilihat dari acara KUPI, di mana perempuan bisa menjadi penggerak dan aktor utama untuk menyelesaikan isu-isu modern,” terang Alissa.
Ia membahas soal peran perempuan dalam upaya perdamaian di Poso. Para perempuan itu melakukan upaya perdamaian dengan melakukan jual beli di pasar. Saat itu, pasar menjadi tempat yang berbahaya karena konflik belum sepenuhnya reda. Para perempuan itu menjadikan pasar sebagai ruang perjumpaan antara dua kelompok yang berseteru. Para perempuan itu berjualan sayur, misalya, tanpa memberi label agama pada produk yang dijual, maupun melihat aspek agama calon pembeli.
Dalam konteks mikro, Alissa mengingatkan bahwa perempuan juga bisa berkontribusi dalam ranah terkecil di kehidupannya, yaitu keluarga. Seorang ibu, misalnya, memiliki peran penting dalam menjaga anggota keluarga agar tidak terlibat ekstremisme dengan cara menguatkan akar keindonesiaan melalui keluarga, dan memperkuat wawasan keagamaan yang moderat kepada anak-anaknya sebagai generasi penerus bangsa.
Alissa mengharap, para anggota dialog kebangsaan, terutama para pemuka agama dan pemangku kebijakan, bisa melibatkan perempuan di lingkungannya masing-masing dalam agenda bina damai dan resolusi konflik. Ia ingin para tokoh agama merangkul perempuan yang masih belum percaya diri untuk menjadi agen perdamaian dan penggerak sosial di masyarakat.
“Perempuan itu sangat lentur dalam membangun hubungan. Perempuan memiliki kepekaan terhadap relasi-relasi dalam masyarakat. Perempuan memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan. Itulah mengapa perempuan harus menjadi aktor perdamaian dan terlibat dalam agenda bina damai,” pungkasnya.