Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, mengatakan bahwa Cak Nur (Nurcholish Madjid), Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), dan Buya Syafi’i (Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif) dalam memberikan sumbangsih kepada Indonesia tidak hanya melalui berpikir, tapi juga bergerak dan menggerakkan.
“Tiga guru bangsa ini tidak hanya berpikir, tapi juga bergerak dan menggerakkan. Itu bagi saya yang berbeda (membedakan) beliau bertiga ini (dari yang lain),” ujar Alissa Wahid dalam acara puncak Sumbu Kebangsaan yang bertajuk ‘Refleksi Kebangsaan: Spirit Guru Bangsa (Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i) dalam Aspek Bernegara Masa Kini’ yang diselenggarakan di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, pada Sabtu (18/3).
Mencari sosok pemikir dengan gagasan yang luar biasa tidak sulit. Lain halnya ketika mencari sosok pemikir yang sekaligus mau bergerak dan menggerakkan masyarakat luas. Menurut putri pertama Gus Dur ini, untuk bisa menggerakkan masyarakat luas, seseorang terlebih dahulu harus memiliki kredibilitas.
“Pemikir banyak, tapi kalau yang menggerakkan, sekarang ini kita kekurangan yang menggerakkan. Karena untuk menggerakkan, dibutuhkan kredibilitas,” lanjutnya.
Kredibilitas itulah yang dimiliki oleh Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i. Kredibilitas itu juga yang akhirnya membuat ketiga guru bangsa itu disegani banyak orang. Tak heran jika kini banyak yang berusaha merawat dan melanjutkan pemikiran mereka, di antaranya melalui lembaga Nurcholish Madjid Society untuk Cak Nur, Jaringan Gusdurian untuk Gus Dur, dan Ma’arif Institute untuk Buya Syafi’i.
“Mengapa ada Nurcolish Madjid Society, Ma’arif Institute, dan Jaringan Gusdurian? Karena ada (banyak) murid-murid mereka,” beber Alissa.
Ketiga lembaga itu didirikan sebagai bentuk apresiasi para murid mereka serta sebagai wadah untuk merawat gagasan dan pemikiran mereka dan mengimplementasikannya dalam konteks kekinian.
Alissa melanjutkan, “Kenapa mereka mempunyai murid segitu banyak? Karena mereka dipercaya, sehingga diikuti.”
Meski pemikiran Cak Nur, Gus Dur, maupun Buya Syafi’i tak lepas dari kritik, pada faktanya pemikiran mereka justru lebih banyak didengar. Semua itu tidak hanya karena pemikiran mereka menawarkan nilai-nilai Islam yang toleran dan inklusif, melainkan juga karena integritas yang mereka miliki.
“Kenapa pemikiran mereka didengar? karena integritasnya betul-betul tampak,” tutur Alissa.
Menurut Alissa, intergritas itulah yang mulai berkurang saat ini. Misalnya, untuk mencari akademisi dengan gelar tinggi tidaklah sulit. Namun, ternyata gelar tinggi itu diperoleh dengan mengorbankan integritasnya.
“Kalau bahasanya Buya Syafi’i, ‘Indonesia surplus politisi, minus negarawan’,” terang Alissa.
Dalam kesempatan itu, Alissa Wahid juga menyinggung bahwa, sekalipun Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i kerap berbeda pendapat, pada dasarnya tujuan dan prinsip perjuangan ketiganya selaras.
“Kecintaan kepada Indonesia selaras, (juga) kecintaan kepada Islam. Sehingga ada ketidak-ikhlasan ketika Islam digambarkan dengan wajah yang marah,” ulasnya.
Turut hadir dalam acara acara puncak Sumbu Kebangsaan ini antara lain: Prof. Amin Abdullah (Dewan Pengarah BPIP), dan Yudi Latif, Ph. D. (Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society) sebagai pembicara utama. Alissa Wahid sendiri bersama Gus Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam PBNU), Prof. Musdah Mulia (Direktur Mulia Raya Foundation), Dr. Phil. Syafiq Hasyim (Direktur Perpustakaan dan Kebudayaan UIII), dan Moh. Shofan (Perwakilan Ma’arif Institute) sebagai penanggap.