Ketua PBNU Alissa Wahid menyebut bahwa sosial media menjadi hal yang sangat penting di era digital. Di Indonesia, jumlah pengguna smartphone lebih banyak daripada jumlah penduduk itu sendiri.
Di sisi lain, pada tahun 2020, Indonesia telah mengalami pertumbuhan sebanyak 30 juta generasi muslim baru dengan karakteristik unik. Kelompok baru tersebut lebih melek digital, lebih urban, dan mayoritas lahir dari kelas menengah. Mereka itulah generasi milenial Indonesia dan yang teranyar adalah Gen Z.
“Mereka (milenial dan gen z) menganggap bahwa agama adalah hal yang sangat penting. Karena agama adalah hal yang dianggap penting, terkadang ada narasi ekstrim yang diterima begitu saja,” ujar Alissa (26/01) dalam diskusi bertajuk “Peran Strategis Media Islam dalam Menguatkan Narasi Islam Rahmatan Lil ‘ Alamin di Indonesia, Pakistan, Tunisia, dan Malaysia”.
Diskusi tersebut merupakan salah satu dari rangkaian seminar internasional yang diselenggarakan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) selama tiga hari (25-27 Januari 2022) melalui ruang zoom.
Menurut Alissa, salah satu problem dari pesebaran narasi keagamaan yang ada di kalangan milenial dan gen z adalah dunia ini terbagi menjadi dua bagian.,
“Dunia muslim dan non-muslim,” terang putri sulung Presiden ke-4 RI ini.
“Kelompok yang termakan oleh narasi tersebut menganggap bahwa demokrasi adalah buatan non-muslim untuk menghancurkan Islam. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa ada dua kelompok Islam, yaitu Islam murni dan Islam Indonesia yang tidak murni,” imbuhnya.
Alissa mengajak masyarakat agar memproduksi konten-konten digital yang menawarkan Islam rahmatan lil ‘alamin.
“Kita harus membangun narasi yang efektif di media sosial. Tidak cukup dengan membanjiri pesan-pesan yang moderat, tapi juga harus berdampak pada kehidupan sosial yang lebih harmoni.”
Senada dengan Alissa, Ahli Media Lembaga Pengembangan dan Penelitian Aisyiyah (LPPA) Pengurus Pusat (PP) Aisyiyah Muhammadiyah, Siti Syamsiyatun menyampaikan pentingnya resonansi pesan damai lewat literasi digital untuk perangi paham ekstremisme atas nama agama.
“Kelompok ekstremis itu selain tidak ramah terhadap kerukunan, mereka juga melakukan stereotipe terhadap perempuan,” Siti Syamsiyatun.
“Pada era pandemi ada banyak konten-konten yang menstereotipkan perempuan. Itu meningkat secara signifikan. Membuat pemahaman literasi digital menjadi penting terlebih di masa pandemi ini,” lanjutnya.
Ia mengaku heran, lantaran konten-konten ektremis itu lebih banyak pengunjungnya dibandingkan media atau website yang dioperasikan oleh pegiat muda dari ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
“Padahal kita banyak anggota, tapi justru website konservatif malah mendapat kunjungan lebih banyak daripada yang moderat, seperti NU dan Muhammadiyah,” pungkasnya.