Yudi Latif mundur dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) hari ini, Jumat (6/8). Tentu saja hal ini cukup mengangetkan mengingat posisnya cukup strategis, sebagai sosok yang mengawal pembinaan pancasila di lembaga yang sebelumnya bernama Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) tersebut. Hal itu ditambah dengan amanah yang ia emban ini baru berumur satu tahun.
“Selama setahun itu, terlalu sedikit yang telah kami kerjakan untuk persoalan yang teramat besar,” tulisnya secara terbuka di akun facebooknya Yudi Latif Dua.
Lalu, apa yang menyebabkan penulis buku ‘Negara Paripurna’ tersebut mundur dari lembaga yang diharapkan bisa menjadi kawah candradimuka penggodokan pancasila sebagai ideologi dan ilmu tersebut?
Dalam catatannya, Yudi Latif menjelaskan bahwa kemampuanmnya mengoptimalkan kreasi tenaga di lembaga itu terbatas. Apalagi, paparnya, Setelah setahun bekerja, seluruh personil di jajaran Dewan Pengarah dan Pelaksana belum mendapatkan hak keuangan. Mengapa? Karena menunggu Perpres tentang hak keuangan ditandatangani Presiden.
“Perpres tentang hal ini tak kunjung keluar, barangkali karena adanya pikiran yang berkembang di rapat-rapat Dewan Pengarah, untuk mengubah bentuk kelembagaan dari Unit Kerja Presiden menjadi Badan tersendiri. Mengingat keterbatasan kewenangan lembaga yang telah disebutkan. Dan ternyata, perubahan dari UKP-PIP menjadi BPIP memakan waktu yang lama, karena berbagai prosedur yang harus dilalui,” tambahnya.
Apa karena faktor ribetnya birokrasi dan kurang sigapnya pemerintah Jokowi yang menyebabkan Yudi Latif merasa tidak bisa mengembangkan apa yang ia bayangkan tentang pancasila melalui tersebut? Lalu, apakah lembaga tersebut merupakan kegagalan?
Yudil Latif tidak menjelaskan hal tersebut. Satu hal yang kongkrit, menurutnya, bisa dilihat dari banyaknya partisipasi dan inisiatif publik terhadap lembaga ini dan apa yang mereka kerjakan terkait upaya menjadikan Pancasila sebagai bagian hidup masyarakat Indonesia.
Setiap hari ada saja kegiatan kami di seluruh pelosok tanan air; bahkan seringkali kami tak mengenal waktu libur. Kepadatan kegiatan ini dikerjakan dengan menjalin kerjasama dengan inisiatif komunitas masyarakat dan Kementerian/Lembaga,” tambah Yudi.
Ia pun menambahkan, suasana seperti itulah yang meyakinkan kami bahwa rasa tanggung jawab untuk secara gotong-royong menghidupkan Pancasila merupakan kekuatan positif yang membangkitkan optimisme.
“Pada titik ini, dari kesadaran penuh harus saya akui bahwa segala kekurangan dan kesalahan lembaga ini selama setahun lamanya merupakan tanggung jawab saya selaku Kepala Pelaksana. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati saya ingin menghaturkan permohonan maaf pada seluruh rakyat Indonesia,” tutupnnya,
Yudi Latif pun menutup catatan itu dengan mengutip penyair inggris Alex Pope: “Segala yang lenyap adalah kebutuhan bagi yang lain, (itu sebabnya kita bergiliran lahir dan mati). seperti gelembung-gelembung di laut berasal, mereka muncul, kemudian pecah, dan kepada laut mereka kembali” (Alexander Pope, An Essay on Man).
Lalu, siapa yang bakal menjadi penggganti Yudi Latif di BPIP mengingat begitu pentingnya membukan pancasila di tengah pelbagai maraknya isu intoleransi dan radikalisme belakangan ini? Kita tunggu saja.