Ketika seseorang merasa identitasnya terancam, kemampuan penalaran malah akan lebih dikerahkan untuk mencari cara guna meneguhkan identitasnya sendiri. Alih-alih berpindah ke kubu sebelah atau mencoba memahami posisi kubu yang berbeda, dia akan semakin tenggelam dalam upaya pembenaran posisi kubunya sendiri. Kecenderungan ini tak berkorelasi dengan inteligensi.
Ia juga tak mengenal tingkat pendidikan. Bahkan semakin terdidik orang, semakin lihailah dia membuat justifikasi bagi bias-biasnya (baca: Alasan Psikologi Seseorang Bisa Intoleran.
Lantas bagaimana? Apakah itu berarti tak ada yang bisa diperbuat untuk menahan laju penyebaran intoleransi? Sebenarnya ada, tetapi jangan berharap hasilnya akan terlihat dalam waktu singkat. Mengatasi toleransi seyogyanya juga bukan hanya diupayakan dengan satu macam cara. Seperti halnya upaya menyembuhkan penyakit fisik.
Ada obat atau terapi yang ditujukan untuk mengatasi akar permasalahannya, ada pula obat dan terapi yang ditujukan untuk mengatasi gejala-gejalanya saja, guna meringankan penderitaan sang pasien selama menunggu kesembuhan. Dalam banyak kasus, dua-duanya harus dilakukan. Seperti itu pulalah upaya mengatasi intoleransi.
Upaya-upaya yang kita lakukan selama ini, seperti ketika kita mengajukan salah satu kelompok Islam untuk menjadi alternatif Islam yang lebih damai, belum dapat disebut sebagai mengatasi akar permasalahan dari sudut pandang psikologi kelompok. Bahkan, bisa jadi strategi ini akan semakin memperuncing perbedaan yang membuat semua kubu memiliki kebutuhan untuk kian menegaskan identitas kelompoknya masing-masing.
Pembenturan satu kelompok Islam dengan kelompok Islam lainnya mengaktifkan segala mekanisme psikologi kelompok yang disebut di atas. Yang dihasilkan adalah pikiran outgroup vs ingroup di kedua belah pihak yang menghantarkan pada sikap dan perbuatan yang cenderung menganakemaskan ingroup serta menganaktirikan outgroup. Kita terancam melupakan individualitas, keragaman, bahkan kemanusiaan dalam upaya semacam ini.
Memang, selama dilakukan dengan cara yang tak sediametral membenturkan kelompok satu dengan kelompok lain, mengajukan wacana alternatif cukup berguna untuk mengatasi gejala intoleransi. Secara kognitif, individu diberi pilihan wacana, pilihan interpretasi, pilihan reaksi yang dapat diambil, meski karena akar masalahnya bukan pada aspek kognitif, masalah belum selesai di sini.
Upaya penegakan hukum untuk kasus-kasus intoleransi yang sudah mengarah pada persekusi dan kekerasan juga tetap perlu dilakukan. Karena meski tidak mengurai akar permasalahan, bila upaya-upaya ini tak dilakukan, penyakit intoleransi bisa semakin parah dan tak tertanggungkan.
Sementara itu, kita harus mulai mengalokasikan energi dan perhatian pada upaya untuk mengatasi akar permasalahan sikap intoleransi juga harus dilakukan. Bila akarnya memang adalah kecenderungan psikologis yang diakibatkan bias berpikir alamiah manusia, maka sikap kritis, kemandirian berpikir, dan kebiasaan berefleksi merupakan hal-hal yang penting dikembangkan sejak dini untuk dapat keluar dari jebakan berpikir kelompok.
Bagaimana cara mencapainya adalah pertanyaan yang musti dijawab dengan deretan artikel dan tulisan yang berbeda dari berbagai sudut pandang keilmuan. [Habis]