Jejak kekerasan FPI begitu panjang. “FPI berniat amar ma’ruf nahi mungkar tetapi memunculkan kemungkaran baru,” tutur Prof.Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub.
Lembaran tahun 2020 akhirnya ditutup dan pemerintah melalui Prof. Mahfud MD (Menko Polhukam) membuat keputusan yang saya kira tepat. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena disahkannya FPI sebagai organisasi terlarang. Ini berarti segala bentuk aktivitas, kegiatan dan simbol FPI dilarang muncul lagi di negeri ini.
Dalam breaking news yang disiarkan langsung beberapa stasiun televisi hari ini (30/12/2020), Prof. Mahfud menyatakan, “FPI sejak tanggal 21 Juni 2019 secara de jure telah bubar sebagai ormas, tetapi sebagai organisasi, FPI tetap melakukan aktifitas yang melanggar ketertiban dan keamanan dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping, provokasi dan sebagainya.”
Ia melanjutkan, “Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan putusan MK nomor 82 PUU 11 2013 per tanggal 23 Desember 2014, pemerintah melarang aktifitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan FPI karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing baik sebagai ormas maupun sebagai organisasi biasa.”
Sebelum mengakhiri pernyataanya, prof. Mahfud dengan santai meminta operator untuk menyalakan TV yang berisi kumpulan video kegiatan FPI yang provokatif dan berbahaya bagi persatuan dan keamanan Indonesia. Video berdurasi sekitar tiga menit itu berisi:
Pertama, Dukungan FPI terhadap ISIS. Video ini dilontarkan langsung oleh Habib Riziq. Di dalamnya Riziq menyebut bahwa ISIS adalah kelompok yang baik dan memiliki cita-cita mulia, yakni menegakkan syariat Islam dan khilafah Islamiyah.
Kedua, anggota FPI yang mendukung bai’at massal di Makassar pada 25 Januari 2015.
Ketiga, provokasi Riziq pada konflik Ambon dan Poso.
Keempat, anggota FPI-LPI pada acara Milad DPC FPI-LPI Macan Proppo Pamekasan yang ke-3 disertai pertunjukan gorok leher para simpatisan.
Sebagai tambahan, setidaknya rekam jejak kekerasan FPI—yang mungkin mereka anggap sebagai prestasi—sulit terlupakan di benak kita. Saya sebutkan saja beberapa di antaranya (sebagaimana dilansir dari tempo.co):
- 1 Juni 2008, 27 aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mengalami luka-luka karena dianiaya massa FPI saat sedang berunjuk rasa demo untuk memprotes surat keputusan bersama Ahmadiyah, di Monas, Jakarta Pusat.
- 8 Agustus 2011, sekitar 30 orang FPI mengobrak-abrik warung Coto Makassar di Jalan A.P. Pettarani, Makassar, Sulawesi Selatan, karena tetap buka siang hari saat bulan puasa.
- 12 Agustus 2013, FPI terlibat adu bacok dengan warga Desa Kandang Semangkon, Lamongan, Jawa Timur, yang diawali aksi penganiayaan anggota FPI kepada tiga orang warga di sebuah rental Playstation.
- 3 Oktober 2014, belasan anggota kepolisian terluka akibat bentrok dengan FPI saat menolak pengangkatan Ahok menjadi Gubernur Jakarta.
Pembubaran FPI merupakan kabar bahagia yang, kalo boleh jujur, sudah ditunggu-tunggu oleh berbagai kalangan masyarakat, baik muslim maupun non-muslim, yang merasakan betapa FPI selama ini menjadi “biang keladi” atas berbagai macam aksi yang berujung pada perusakan, intimidasi dan provokasi.
baca juga: Punya Jejak Kekerasan, FPI Sebagai Ormas Masih Dibutuhkan?
Pembubaran ini juga menjadi sinyalemen bahwa negara, sekali lagi, berani mengambil keputusan tegas dan dalam momentum yang tepat—yakni disaat pimpinan tertinggi FPI sedang dalam tahanan karena kasus pidana yang sedang dialami.
Namun, di sisi lain, tentu saja ada sebagian kalangan—baik dari anggota FPI sendiri (sudah pasti) dan sebagian masyarakat muslim—yang tidak setuju dengan pembubaran ormas bercirikan keras tanpa tedeng aling-aling ini.
Mungkin di antara mereka ada yang protes, “Siapa yang selama ini membantu rakyat ketika terjadi bencana di negeri ini?” atau mungkin, “Siapa yang sering mengajak umat Islam untuk bersolawat Nabi ketika begitu banyak kemaksiatan merajalela di negeri ini?”
Iya-iya, saya juga tidak akan tutup mata kok. Namun persoalannya adalah, madharat dan efek negatif yang dilakukan oleh FPI selama ini juah lebih besar dibanding dengan manfaat yang ada di dalamnya.
Baca: Raport merah jejak FPI
Sebagai permisalan, FPI semakin berbahaya karena keberadannya sudah mengajak dan memprovokasi masyarakat untuk melawan negara, menghina dan mendoakan presiden agar cepat meninggal (padahal presiden adalah lambang negara), bahkan menentang ideologi yang sudah menyatukan kebinnekaan kita, Pancasila.
Provokasi-provokasi ini ketika dibiarkan tentu akan semakin membuat mereka semena-mena dalam melakukan aksinya. Maka tidak heran bila mereka sering berperilaku anarki dan diperparah dengan bukti baru-baru ini bahwa beberapa anggotanya terlibat dalam jaringan teroris sebagaimana dirilis Polri.
Meski demikian, layaknya pesan dari para ustadz, kita yang bukan bagian dari FPI, jangan merasa jumawa dan merasa paling suci. Kita tetap harus merangkul sahabat-sahabat kita ini. Karena kata al-Qur’an,
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰى
Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.
Jadi, kita boleh tidak sepakat atau benci dengan perilaku anarki alumni FPI selama ini, tetapi kita tetap harus sadar bahwa di antara mereka juga ada yang sekedar ikut-ikutan aksi dan tidak tahu menahu kecuali hanya semangat dalam memekikkan takbir. Ini yang perlu didekati.
Pertanyaannya kemudian, apakah Indonesia akan aman dan tentram tanpa FPI? Harapannya demikian, setidaknya di tengah situasi sulit karena Covid, negara bisa lebih fokus untuk mengurusi aspek-aspek yang lebih penting untuk memajukan Indonesia. Apakah aspek ekonomi, pendidikan dan tentu politik—yang mana masih dikerumuni banyak tikus berdasi.