Pandemik Covid-19 hadir ditengah riuhnya kondisi politik, ekonomi dan kemasyarakatan di Indonesia. Ketika para pemimpin sibuk mencari akal untuk membangun dinasti kekuasaan, ketika pejabat sibuk mengatur strategi untuk korupsi, serta ketika para wakil rakyat yang terhormat sedang sibuk membuat rancangan undang-undang yang pro kerakusan dan kontra terhadap keterbelakangan.
Pandemik ini hadir memiskinkan semua. Baik dalam ekonomi, nalar, daya kritis, bahkan hingga kemanusiaan kita. Semua sedang diuji. Ini bukan soal siapa kuat bertahan akan menjadi pemenang, namun soal siapa yang senantiasa patuh dan taat terhadap imbauan kesehatan, merekalah pemenangnya.
Hingga pantauan terakhir, statistik kasus pasien Covid-19 di dunia sudah mencapai angka yang fantastis, 15 juta jiwa dengan catatan sebanyak 600 ribu pasien meninggal dunia. Belum lagi di Indonesia, kasusnya mencapai puluhan ribu. Menakutkan? Jelas sangat menakutkan. Bukan virus Covid-19 yang menakutkan, namun respons masyarakat terhadapnya yang cenderung menyepelekan bahkan menganggap Covid-19 hanya buah khayalan belaka.
PP Muhammadiyah menyatakan, virus ini bukanlah konspirasi. “Pandemi ini bukan konspirasi, bukan ilusi, tapi realitas objektif yang harus dihadapi bangsa ini,” tutur Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah. Hal senada juga dibubukan PBNU melalui konferensi pers di Graha BNPB Jakarta Pusat (10/7/2020), secara tegas menyatakan bahwa Covid-19 bukanah konspirasi. Kiai Said Aqil Sirodj sebagai Ketua Umum PBNU menegaskan kewajiban masyarakat –terutama warga Nahdliyyin– untuk senantiasa taat terhadap imbauan kesehatan demi keselamatan banyak orang.
Apakah ini berhasil? Tidak sepenuhnya. Lagi-lagi karena pengaruh kuat informasi di internet kita yang sebegitu banyaknya dan memperngaruhi nalar serta daya kritis sebagian masyarakat terhadap suatu informasi.
Infodemik yang membunuh
Sejak awal berita infeksi pertama Covid-19 di Tiongkok, ribuan informasi sudah tersebar di internet. Media sosial seperti Facebook, Instagram, Twutter, Line, whatsapp, dan lain sebagainya turut meramaikan persebaran informasi-informasi yang tidak logis, bahkan seringkali berisi hoaks dan ujaran kebencian yang diskriminatif terhadap suatu kelompok.
Tabulasi COVID-19 di Indonesia per 28 Juli 2020 dari situs pemerintah daerah.
Total kasus: 102.596 (+1.725)
Kasus aktif: 35.901 (-99)
Sembuh: 61.831 (+1.755)
Meninggal dunia: 5.282 (+87)+/- dibandingkan tabulasi prov kmrn. Data bbrp prov tidak tally.https://t.co/c8OCdRgkWJ pic.twitter.com/pHCKLOfgKt
— KawalCOVID19 (@KawalCOVID19) July 29, 2020
Hingga kini, sebuah komunitas cek fakta independen Indonesia bernama MAFINDO mencatat, ada 500 lebih hoaks yang berhasil mereka tampung dalam databasenya seputar Covid-19. Database itu mencatat hoaks Covid sejak awal kasus di Tiongkok hingga saat ini. Mengerikan? Tentu saja! 500 bukanlah angka yang kecil untuk peredaran hoaks. Angka itu hanya jumlah tema, belum kepada jumlah akun yang turut menyebarkannya, ini lebih mengerikan.
Tumpang-tindih informasi yang beredar amat berpengaruh terhadap daya kritis masyarakat. Belum lagi, seringkali judul yang ditampilkan amat sensitif dan cenderung klikbait. Maka tak salah jika ada sebagian yang menganggap pandemik ini sebagai konspirasi elit global, sebagai rekayasa suatu pihak, atau bahkan menganggap bahwa pandemik ini hanya fiktif belaka dan dokter beserta temaga medis memiliki sindikat penipuan untuk menggiring opini masyarakat bahwa Covid-19 sangat mengerikan.
Bagaimana memanage informasi?
Seperti halnya masalah finansial, kita juga perlu memanage informasi yang masuk ke layar gadget kita. Salah satu cara bijak dalam menghindari bahaya infodemi adalah dengan selalu berupaya meminimalisir respons terhadap segala macam informasi yang beredar di medsos dan internet kita.
Yang perlu kita catat, tidak semua informasi yang ada di internet adalah benar dengan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak. Kita tahu Facebook adalah platform yang menjadi ajang menyebarkan informasi bohong terbesar, meski mungkin justru lebih banyak Whatsapp karena tidak bisa terdeteksi.
Pesan-pesan berantai dengan nada tulisan provokatif yang acapkali mengajak pembacanya untuk turut memviralkan, sejatinya tidak 100% benar. Seringkali isi tak sesuai narasi, bahkan tidak nyambung sama sekali. Kita perku waspada dari hal-hal seperti ini. Biasanya mereka membalut informasi palsu menggunakan narasi yang bombastis.
Jika sempat, sesekali berselancarlah menuju akun-akun pemeriksa fakta independen seperti Indonesian Hoaxes dan MAFINDO. Kehadiran mereka bukan bak monster atau hantu lainnya yang mengerikan. Tetapi, mereka adalah malaikat yang selalu berupaya keras menyajikan data dan fakta yang valid untuk mencerdaskan masyarakat dari narasi-narasi pelintiran dan hoaks beserta sejenisnya di internet dan medos kita.
Bukan tanpa alasan. Tim pemeriksa fakta tahu betul bagaimana rangking dan kulaitas literasi masyarakat Indonesia. Mereka paham betul bagaimana memerangi narasi-narasi tak berperikemanusiaan bernama hoaks beserta kawan-kawan sejenisnya. Ya, untuk saat ini –dan mungkin untuk selamanya– mereka sangat berarti untuk medsos kita.
Di masa pandemik ini, dimana kita terfokus untuk tujuan yang sama yakni menghindari klaster-klaster baru penularan virus Covid-19, penting pula menghindari klaster penyebaran virus hoaks dan infodemik di medsos kita. Bagaimana caranya? Berikut saya merangkum, ada setidaknya 4 cara paling dasar untuk mencegah infodemik di internet kita.
Pertama, selalu membiasakan diri untuk saring sebelum sharing, cek ulang sebelum posting. Apakah info tersebut benar? Cari artikel dari media lain sebagai pembanding. Jika benar, pertimbangkan lagi, apakah informasi itu bermanfaat?
Jika tidak bermanfaat, segera mungkin tinggalkan. Untuk apa menanggapi informasi yang tidak bermanfaat? Buang-buang waktu saja! Namun jika informasi itu salah, cari dan sebarkan artikel pemeriksa fakta yang membuktikan bahwa itu salah.
Kedua, sebisa mungkin tinggalkan sikap emosional kita dalam membaca dan menanggapi suatu informasi. Sebab, seringkali info yang beredar di internet kita menguras cukup banyak energi dan emosional, itu sangat berbahaya. Jika emosional kita terkuras, akan sukar untuk menerima informasi dari sumber lain yang menjadi penyanggah atau pembantah atas informasi yang kita terima.
Ketiga, selalu mengutamakan kesehatan nalar, logika kritis, serta perspektif kemanusiaan dan keadilan dalam menganalisa segala informasi. Infodemik membuat kemampuan berpikir akal kita kurang optimal. Segala informasi tumpang tindih menghampiri, sedangkan mungkin saja beberapa dari kita masih kesulitan dalan memanage informasi, mengecek fakta, dan memisahkan antara hoaks dan fakta. Ini akan sangat berbahaya.
Keempat, senantiasa berkomentar sesuai keahlian. Seperti misalnya, jika anda adalah seorang sarjana teknik, jangan sesekali menggurui dalam dunia medis. Biarkan mereka yang sarjana farmasi atau kedokteran yang berkomentar dan menanggapi. Anda, cukup duduk menyimak saja sambil sesekali melontarkan pertanyaan kritis. Sebab, mereka adalah ahlinya.
Bukankah di dalam Islam, kita tidak boleh memasrahkan suatu urusan kepada pihak yang tidaberkopeten dalam bidangnya? Alih-alih memberikan manfaat, justru memunculkan mudhorot (bahaya) yang bisa-bisa mengancam keselamatan dan nyawa banyak orang!
Empat poin di atas merupakan tips paling dasar dalam menghindari bahaya infodemik yang mengguncang internet kita. Selalu biasakan verifikasi sebelum membagi, cek ulang sebelum posting adalah kunci paling berharga. Selain itu, tidak mudah terpaku kepada judul berita, adalah salah satu sikap bijak paling penting dalam memerangi infodemi di internet dan medsos.
Teruslah berlaku bijak dalam berinternet serta cerdas dalam menggunakan medsos!