Di tahun 2011, Manneke Budiman menulis, “politik moral telah menjadi praktik yang telah berlangsung sejak periode Reformasi hingga kini, namun adalah keliru bila menganggap bahwa ajaran Islam adalah motif di balik praktik politik moral, khususnya ketika banyak intelektual muslim dan pemimpin agama memilih untuk berdiri di barisan kelompok pro-demokratik yang menolak penggunaan agama sebagai alat represif untuk membatasi kebebasan berekspresi.”
Akan tetapi, situasi saat ini telah berubah. Intelektual muslim dan pemimpin agama semakin ditinggalkan oleh umat Islam itu sendiri karena adanya perubahan pola dan cara mendapatkan kepemimpinan. Dalam konteks satu atau dua dekade pasca-reformasi, bobot intelektual dan otoritas keagamaan masih memiliki nilai tukar kepemimpinan yang tinggi. Sementara dalam konteks tiga dekade setelahnya, kepemimpinin mulai ditentukan oleh viralitas. Intelektual muslim dan pemimpin agama mulai tergantikan oleh selebriti-mikro dan figur kharismatik yang berbendera agama.
Konsekuensinya, ‘moral’ yang sejak dulu menjadi wilayah rebutan berbagai pihak (negara, agama, intelektual, ataupun kombinasinya), kini direbut oleh selebriti-mikro dan figur kharismatik. Aktor-aktor lama masih ikut bermain hingga saat ini, namun pengaruhnya jauh lebih kecil dibanding selebriti-mikro dan figur kharismatik yang berbendera agama. Meski membawa bendera agama, namun mereka jauh dari layak untuk disebut sebagai representasi dari agama karena keterbatasan intelektual dan religiusitas yang dimiliki. Sehingga, kualitas moral yang ditawarkan pun perlu untuk dipertanyakan.
Moral tentu tidak bisa diseragamkan karena setiap komunitas ataupun individu punya konfigurasinya masing-masing. Namun belakangan ini deras mengalir format moral islami, baik itu yang diartikulasikan oleh selebriti-mikro melalui jargon hijrah, ataupun desas-desus dari figur kharismatik tentang revolusi akhlak. Promosi moral islami ini disambut positif oleh sebagian umat (khususnya mereka yang berusia dewasa muda), baik karena faktor strategi komunikasinya, ilusi keluhurannya ataupun karena halusinasinya tentang masa depan yang lebih diridhoi Allah.
Moral islami yang belakangan gencar dipromosikan cenderung menempatkan agama sebagai kacamata untuk semua fenomena dan solusi untuk semua masalah. Penempatan yang demikian dapat mendorong pemeluknya sempit dalam hubungan sosial. Semakin sempit suatu hubungan sosial, maka semakin sempit kesempatan perubahan yang dapat dilakukan. Dengan kata lain, moral islami yang demikian justru menegasi rahmatan lil ‘alamin itu sendiri.
Pemeluknya akhirnya akan sulit atau bahkan tidak mampu untuk menjelajahi spektrum kemanusiaan (humanities) yang luas, baik itu sisi terang ataupun sisi tergelap manusia. Untuk itu, dibutuhkan instrumen atau ilmu lain selain agama. Dunia dan perilaku manusia bergerak secara chaos. Tidak mungkin seseorang bisa memahaminya bila hanya mengandalkan agama.
Sastra misalnya. Fungsi sastra, salah satunya, adalah untuk memfasilitasi agar manusia bisa menyelami relung-relung terdalam kehidupan manusia lain yang berbeda. Dengan membaca sastra, orang akan menyaksikan landesekap moral, cara pandang, cara hidup, dan lain sebagainya, yang nanti dapat dipetik sebagai pelajaran dalam melihat ataupun menyikapi sesuatu.
Alfu Layla wal Layla misalnya. Jangan dikira bahwa salah satu karya sastra termasyhur era keemasan Islam ini akan menampilkan moralitas ‘putih’ yang sebagaimana dibayangkan oleh pemeluk moralitas islami era informasi dalam memandang kegemilangan Islam di masa lalu.
Di Alfu Layla wal Layla, pembaca akan menemukan: bagaimana sebuah kisah Orgy seorang permaisuri diawali dengan bismillah dan sholawat; bagaimana kutipan-kutipan sufi terselip dalam kisah-kisah gelap tentang zoophilia, sadisme, tipu muslihat berkedok agama, masokisme, dendam kesumat, dan sejenisnya. Di samping itu, pembaca juga akan diajak menyelami keberagaman cara pandang makhluk hidup dalam melihat kehidupan, mulai dari selir, kuli panggul, tukang sayur, pelaut, raja, pengeran, putri, permaisuri, selir, pedagang, pelacur, anak muda miskin, menteri, hewan dan bahkan jin.
Kunci untuk memahami itu semua ada di bagian kata pengantar Alfu Layla wal Layla, bahwa selalu ada pelajaran bagi mereka yang mau melihat ke masa lalu.
Artinya, pertama, selain meninggalkan kegemilangan dalam ranah ilmu pengetahuan, era keemasan Islam juga meninggalkan ‘ensiklopedi’ moral yang relevansinya bisa dikembangkan untuk zaman-zaman setelahnya. Sayangnya, islamisme lebih suka mengutip kegemilangan ilmu pengetahuan era keemasan islam sebagai reward atas moral Islam yang dipeluk erat-erat, dibanding mengembangkan dan merenungi spektrum moral yang terbentang dalam Alfu Layla wal Layla.
Sehingga, salah satu ketertinggalan lain dari umat Islam adalah: sering kali formulasi moral yang ditawarkan hanya mencapai dimensi syariat yang hitam-putih, dan belum mencapai dimensi antropologis. Demikian sebabnya, pemeluk moral islami mudah menghakimi saat bertemu dengan simpatisan komunisme ataupun sosialisme, Anarko, peminum minuman alkohol, pengguna/pengedar narkoba, pemeluk agama lokal, ataupun kelompok lain yang dianggap berbeda.
Akhirnya, yang terjadi justru arogansi tiranik. Bukan transformasi konstruktif. Kesejukkan akhlak seperti apa yang lahir dari format moral yang tak antropologis?
Hikmah yang hilang berhak dipungut oleh setiap umat Islam di mana pun hikmah itu ditemukan. Bisa jadi, seorang pengedar narkoba terlihat tidak bermoral. Namun tebalnya arogansi tiranik sering kali menghalangi seseorang dalam melihat sisi kemanusiaan yang bersembunyi di dalam diri si pengedar. Dan bisa jadi, orang terliat tidak bermoral jauh lebih punya rasa kemanusiaan dibanding merek ayng selalu bersembunyi dibalik payung moral.