Dalam kitab Tadzkirah al-Awliya’ karya Fariduddin al-Attar ada kisah menarik tentang Junaid dengan Harits al-Muhasibi. Suatu ketika, Harits al-Muhasibi berpapasan dengan Junaid. Dalam pandangan Junaid, Harits al-Muhasibi terlihat lesu dan sangat lapar. Akhirnya, Junaid pun menawarkan bantuan kepada Harits al-Muhasibi.
“Maukah kamu singgah ke rumahku dan menyantap makanan?,” kata Junaid menawarkan.
“Iya,” jawab Harits al-Muhasibi setuju.
Harits al-Muhasibi pun akhirnya diajak Junaid pergi ke rumahnya. Kebetulan saat itu, Junaid memiliki simpanan makanan yang ia dapat dari tetangganya yang sedang mengadakan acara resepsi pernikahan.
Junaid mengambilkan dan menyerahkan beberapa makanan kepada Harits al-Muhasibi. Ia mengambil satu suapan. Namun ternyata makanan itu tak dikunyahnya. Hanya ia putar-putar saja di dalam mulutnya. Beberapa saat kemudian, makanan itu ia muntahkan dan ia pamit undur diri.
Beberapa hari kemudian, Junaid bertemu lagi dengan Harits al-Muhasibi. Ia memberanikan diri untuk menanyakan apa sebab ia tidak berkenan memakan makanan di rumahnya beberapa hari yang lalu.
Harits al-Muhasibi berkata, “Sebenarnya saat itu aku sangat lapar. Aku juga ingin membahagiakan hatimu dengan aku memakan makan di rumahmu. Namun aku tak kuasa. Aku dan Tuhan memiliki kesepakatan, Dia tak memperbolehkanku untuk memakan makanan syubhat. Ia tak mengizinkanku untuk menelannya.”
“Ngomong-ngomong, memangnya darimana kamu mendapat makanan itu?” tanya Harits al-Muhasibi menambahkan.
“Makanan itu aku peroleh dari tetanggaku yang sedang melaksanakan acara resepsi pernikahan,” jawab Junaid.
Tak hanya di situ, Junaid pun juga menawarkan bantuan untuk kedua kalinya, “Kali ini, apakah kamu bersedia lagi mampir ke rumahku dan menyantap makanan?”. Tawaran itu diiyakan oleh Harits al-Muhasibi.
Di dalam rumah Junaid, Harits al-Muhasibi diberi makanan. Dan ternyata Harits al-Muhasibi mau dan bisa menelannya. Ia lantas menasihati Junaid, “Kelak, kalau kamu memberi orang lain lagi, nah, berilah mereka dengan makanan yang seperti ini (halal, pen.)”.
Bagi para orang-orang yang dekat atau sedang mendekatkan diri kepada Allah SWT, berinteraksi dengan hal yang yang syubhat adalah merupakan perbuatan tercela. Terlebih jika itu adalah makanan. FYI, syubhat adalah sesuatu yang tidak diketahui secara pasti keharaman atau kehalalannya. Begitu kurang lebih penjelasan al-Jurjani dalam kitab Mu’jam al-Ta’rifat.
Tidak disebutkan dalam kisah di atas mengapa makanan yang berasal dari resepsi pernikahan (pada kejadian saat itu) itu dianggap sebagai hal yang syubhat. Penulis memprediksi, hal ini karena makanan yang didapat tidak diketahui asal usulnya. Sehingga, makanan yang jelas sumber asalnya tidak termasuk dalam makanan syubhat. Juga, tidak bisa dipahami bahwa makanan dari setiap resepsi pernikahan itu dihukumi syubhat.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari)
Dalam kitab Syarh al-Arba’in Haditsan al-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiq al-‘Id dijelaskan bahwa kalimat “Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram” memiliki dua penafsiran.
Pertama, seseorang yang tidak taat dan berani berinteraksi (memakan, memakai, dan menggunakan) dengan hal yang syubhat, maka akan membuatnya mudah terjerumus kepada hal yang haram.
Kedua, orang yang terlalu banyak berinteraksi dengan hal yang syubhat, maka akan gelap hatinya. Hal ini karena tidak adanya cahaya ilmu dan wira’i. Orang demikian rawan terjerumus ke dalam hal haram tanpa ia sadari. Na’udzubillah.
Lantas bagaimana sikap kita? Syubhat memang belum tentu haram. Namun harus diingat, ia juga belum tentu halal. Sebagai orang yang taat beragama hendaknya sebisa mungkin menghindarinya, apalagi jika itu terkait makanan. Wallahua’lam