“Saya sedang menjadi sasaran kritik orang-orang keblinger karena saya membangun Monumen Nasional (Monas).”
Demikian keluhan Presiden Sukarno kepada Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri. Sukarno mengatakan itu beberapa saat sebelum peringatan Isra Mikraj, dimulai, di Istana Merdeka, tahun 1965.
“Biaya tentu besar sekali, Pak?” Saifuddin Zuhri menanggapi Sukarno dengan pertanyaan, seperti yang tercatat dalam buku berjudul Berangkat dari Pesantren.
Bung Karno lalu menjawab pertanyaan tersebut dengan menggambarkan pengorbanan yang harus diikhlaskan demi berdirinya tugu Monas itu. Dia mengatakan harus merobohkan bangunan, memindahkan pendudukan dan membangun ulang perumahan dan perkantoran.
“Mengapa Bapak tidak menyelesaikan membangun Masjid Istiqlal?”
Saifuddin melontarkan pertanyaan kepada bosnya dengan nada mendesak. Sebagai menteri agama saat itu, ia merasa berkepentingan atas selesainya masjid yang direncanakan oleh seniornya Menteri Agama KH. A. Wahid Hasyim dan mulai dibangun oleh Menteri Agama KH. M. Ilyas.
Wajarlah Saifuddin Zuhri menanyakan penyelesaian Istiqlal, karena sudah dahulu dibangun. Istiqlal mulai ditandai pembangunannya oleh Sukarno pada tanggal 24 Agustus 1951. Sementara Monas, baru dimulai tanda pembangunannya tanggal 17 Agustus 1961, atau 10 tahun setelah Istiqlal. Istiqlal dan Monas sama-sama diarsiteki oleh anak bangsa: Frederich Silaban.
“Karena saya tidak cukup duit,” kata Presiden Sukarno. “Kalau ada ini…(ibu jari dan telunjuknya saling digesekkan, maksudnya: uang), saya akan selesaikan dua-duanya sekaligus,” jawabnya serius.
Saifuddin mendesakkan pertanyaan yang sama, “Yaaa, tetapi mengapa dahulukan Monas?”
Dalam bukunya, Saifuddin mencatat jawaban Sukarno:
“Begini. Saya sudah tua. Kalau Allah Swt. menakdirkan saya saya mati padahal Monas belum selesai, orang sepeninggalkanku belum tentu menyelesaikannya. Tetapi kalau Masjid Istiqlal yang belum selesai, mereka akan menyelesaikannya. Insya Allah Subhanahu wa Ta’ala…!”
*selengkapnya, bisa klik di sini