Mantan Menteri Komunikasi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring, kembali membuat ramai jagad twitter. Hal ini terkait dengan cuitannya tentang AlQuran surat Al Fath: 29 perihal rahmah (kasih sayang) dan irisannya dengan relasi muslim dan non-muslim.
Tifatul Sembiring dianggap gagal memahami tafsir terhadap sebuah ayat, lalu memberikan justifikasi terhadap ayat itu dan akhinya menjadikannya pro-kontra. Apalagi, cuitan itu dilontarkan di waktu tidak tepat: di tengah realitas masyarakat kita belakangan ini yang kian terbelah dan politik identitas yang menguat karena politik. Potongan ayat surat Alfath itu, berbunyi:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
Dalam cuitan selanjutnya, Politisi PKS itu memberi terjemahan ayatnya begini, dengan menisbahkan bahwa Rasul juga, seperti cuitannya, keras atau tegas dengan orang-orang yang dianggapnya kafir.
“Muhammad itu Rasulullah, dan ORANG2 yg BERSAMA beliau saw. tegas/keras atas orang2 kafir dan kasih sayang (Rohmah) sesama mereka (orang beriman).”
Lalu, masih dalam tuit yang sama. Ia memaknai terjemahan ayat itu sebagai cara untuk memperlakukan orang di luar islam (non-muslim) seraya mencontohkan bahwa rahmah (kasih sayang) itu buat sesama mukmin, bukan sebaliknya.
“Dalam surat Al Fath ayat 29, Rasulullah saw itu bersikap tegas/keras kpd orang2 kafir, kasih sayang (rohmah) sesama orang beriman. JANGAN dibolak balik yaa. Rohmah sama orang2 kafir, eh sesama mu’min malah bersikap kasar,” cuit @tifsembiring
Dalam surat Al Fath ayat 29, Rasulullah saw itu bersikap tegas/keras kpd orang2 kafir, kasih sayang (rohmah) sesama orang beriman. JANGAN dibolak balik yaa. Rohmah sama orang2 kafir, eh sesama mu'min malah bersikap kasar…
— Tifatul Sembiring (@tifsembiring) July 1, 2018
Tentu saja hal ini membuat kontroversi di jagad twitter, baik pro dan kontra, mengingat di situ terdapat juga kata ‘kafir’ dan ‘rahmah’ yang belakangan kian ramai dibincangkan. Bahkan, kata pertama, seolah menjadi jargon bila menyebut orang di luar kelompoknya.
Dalam riset yang dilakukan Jaringan Gusdurian 2016 lalu, kata ini merupakan salah satu kata primadona dan digunakan sebagai peneguh identitas sebuah kelompok dan melenceng dari makna awalnya. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa makna ‘kafir’ adalah ‘menyembunyikan’ dan banyak makna lain lagi. Tapi, mungkin karena faktor politik, kafir jadi hanya ditafsirkan tanggal sebagai non-muslim (baca: beragam makna kafir).
Sedangkan kata ‘Rahmah’ diperbincangkan selepas diplomasi Gus Yahya ke Palestina. Diplomasi yang dianggap oleh banyak pihak, termasuk Tifatul Sembiring dan PKS melalui para petingginya seperti Hidayat Nur Wahid, Fahri Hamzah dan lain-lain sebagai sesuatu yang salah, bahkan dicibir.
Dua kata ini pula yang menjadi fokus banyak netizen untuk mempertanyakan apa maksud dan tujuan Tifatul Sembiring di cuitannya ini. Salah satunya adalah Dosen Monash University, Austaralia, Profesor Nadirsyah Hosen.
“Ustadz @tifsembiring monggo dibaca catatan ngaji saya,” balas @na_dir di cuitan @tifsembiring sembari memberikan tautan tulisan tentang ragam tafsir ayat Surat Alfath ayat 29.
https://twitter.com/na_dirs/status/1013610526784385024
Dalam tulisan bertajuk ‘Benarkah Muslim itu Hartus Keras Terhadap orang kafir? Tafsir surat fath:29′ itu Prof Nadir memberikan khazanah tafsir yang beragam.
“Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan ayat di masa tenang atau damai. Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita berinteraksi sosial tentu kurang pas,” bunyi artikel tersebut.
Tulisan itu juga menyertakan rujukan tiga tafsir berbeda, yakni Tafsir Al-Alusi, Tafsir Ibnu Abbas dan Tafsir Bahrul Ulum sebagai khazanah referensi yang bisa digunakan. Tentu saja, hal itu lebih dari cukup untuk memberikan makna bahwa tafsir surat Alfath tidaklah tunggal seperti yang ditafsirkan Tifatul.
“Terima kasih, Prof. Insya Allah kalau sudah agak luang saya baca,” balas Tifatul. “Ini sedang ada kerja dikit,” tambahnya, plus sebuah emotikon senyum.
Netizen pun dibuat tersenyum oleh polah mantan menteri komunikasi ini. Betapa tidak, ia bicara tafsir tapi sudah diberi alternatif tafsir-tafsir lain justru seoalah enggan membaca langsung. Alasannya, lagi ada kerjaan.
Apakah Tifatul akhirnya membaca saran dari Profesor Nadir? Tentu saja hanya beliau yang tahu.
Dalam islam, tentu saja kita tidak asing dengan kalimat ini ‘Undzur ma qoola wa lau tandzur man qoola’ yang kira-kira bermakna ‘perhatikanlah terhadap apa yang dikatakan, bukan kepada orang yang berbicara.
Nasihat itu tentu saja berlaku, sebagai pengingat diri jika keliru atau karena entah kebencian dalam diri kita atau apa, membuat kita tidak bisa berlaku adil, bahkan kurang bisa bijak terhadap suatu hal, maka baiknya kita banyak belajar lagi, dan lagi, dari manapun asalnya sumber ilmu tersebut.
“Mengutip ayat Al-Qur an, kemudian menerjemahkannya. Bahkan tidak menafsirkannya, tapi menggaris bawahi terjemahannya. Kok ada yg kebakaran jenggot ya. Salahnya inyong dimana? ” tanya @tifsembiring di cuitan berikutnya.
Mengutip ayat Al-Qur an, kemudian menerjemahkannya. Bahkan tidak menafsirkannya, tapi menggaris bawahi terjemahannya. Kok ada yg kebakaran jenggot ya. Salahnya inyong dimana?
— Tifatul Sembiring (@tifsembiring) July 1, 2018
Tentu saja tidak ada yang salah, Pak Tifatul. Apalagi, ini bukan kali pertama kelucuan terjadi. Dalam catatan techinasia, dalam 2014 saja, terdapat 5 kali cuitan Tifatul Sembiring membuat kontroversi dan membuat publik bertanya-tanya, kenapa bisa Tifatul membuat kegaduhan yang tidak perlu seperti itu?
Dua hal terpenting, antara lain. Pertama, terkait dengan tiga cuitannya tentang azab dan dosa dalam surah Quran 7;16. Cuitan tersebut tampak biasa saja, tapi menjadi berdampak buruk ketika twit tahun 2010 itu dilontarkan di waktu yang tidak tepat: pasca tsuami di Mentawai dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah.
Kedua, terkait dengan kesalahannya dalam memposting foto hoax terkait Rohingya. Cuitan itu terjadi 2017 lalu dan ternyata, foto mayat yang ia sebut sebagai kekerasan Rohingya adalah peristiwa di Thailand tahun 2014. Tifatul pun kemudian meminta maaf.
Dua hal ini menjadi indikator penting bagi politisi PKS dan mantan Menteri Komunikasi tersebut dalam caranya berbicara di publik dan pemaknaannya terhadap realitas. Apalagil di tengah mengerasnya pelbagai kubu kerena politik dan keberagaman kita belakangan ini. Sudah banyak riset yang membicarakan politik identitas yang kian menguat ini dan kata Kafir dan sejenisnya digunakan sebagai sebuah legitimasi politik, alih-alih sebagai bagian dari wacana perkembangan pemikiran islam–sesuatu yang mungkin bagi Tifatul tidak begitu penting.
Ya, memang tidak ada yang salah, seperti yang dibilang Tifatul, sebab kebenaran hanyalah milik Allah dan manusia cuma bisa menafsirkannya belaka.