Dalam surat al-Isra’ ayat 82, Allah Swt berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata “syifa’ / obat” dalam ayat tersebut.
Pendapat pertama mengartikan obat dalam ayat tersebut sebagai obat yang berkenaan dengan penyakit hati, menghilangkan tirai kebodohan dan menghapus keraguan akan kebesaran tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Pendapat kedua, al-Qur’an sebagai obat penawar penyakit lahir seperti sakit kepala, infeksi dan lain sebagainya.
Berikut ini beberapa argumen yang menguatkan pendapat kedua.
Pertama, hadits-hadits Nabi tentang berobat dengan ayat al-Qur’an
Terdapat sejumlah hadis yang menjelaskan ihwal berobatnya Rasulullah dengan menggunakan ayat al-Qur’an. Di antaranya hadis riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasai, bahwa mula-mula Rasulullah melindungi diri dari segala penyakit dan serangan musuh dengan bacaan ta’awwudz dan beberapa kalimat dzikir. Namun setelah turunnya surat al-Falaq dan al-Nas, beliau mencukupkan dengan kedua surat tersebut dan meninggalkan selainnya. Sahabat Abu Sa’id al-Khudri pernah menyembuhkan seseorang yang terkena sengatan ular dengan bacaan ayat “Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin” sebanyak tujuh kali.
Kedua, berdasarkan kaidah ushuliyyah
Kaidah yang populer di kalangan pakar ushul fiqh mengatakan:
اِنَّ الْكَلَامَ اِذَا احْتَمَلَ التَّأْكِيْدَ أَوِ التَّأْسِيْسَ فَحَمْلُهُ عَلَى الثَّانِيْ أَرْجَحُ
“Pembicaraan apabila memungkinkan mengarah kepada pengukuhan (substansi yang sudah pernah disampaikan) atau mendasari (substansi baru yang belum pernah tersampaikan), maka mengarahkannya kepada yang kedua adalah lebih unggul”.
Dalam konteks ini, mengarahkan QS al-Isra’ ayat 82 kepada obat penyakit lahir lebih utama sebagai informasi baru yang belum pernah disampaikan sebelumnya. Hal ini lebih baik ketimbang mengarahkannya kepada pemahaman al-Qur’an sebagai obat penyakit batin yang sudah banyak dijelaskan ayat-ayat lain.
Ketiga, berdasaran kaidah nahwiyyah
Dalam ayat di atas, kata “syifa’; obat” dan “rahmat” dirangkai jadi satu dengan penghubung huruf ‘athaf yakni “wawu (yang secara literal merupakan kata sambung yang bermakna “dan”). Rahmat yang dimaksud dalam ayat mencakup obat dari segala penyakit hati. Dalam kaidah ilmu nahwu, penggabungan satu kata dengan yang lain dengan penghubung huruf athaf wawu menunjukan perbedaan makna kedua kata tersebut. Bila kata “rahmat” diartikan obat penyakit batin, seharusnya kata “syifa’, obat” diartikan sebagai obat penyakit lahir, agar keduanya menunjukan arti yang berbeda sebagai pengamalan dari kaidah nahwu di atas.
Keempat, berdasarkan kaidah Manthiqiyyah-silogisme
Berdasarkan fakta yang berulang kali teruji kebenarannya dari sejak masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in hingga kurun setelahnya,menunjukan bahwa al-Qur’an dapat mengobati penyakit racun,gila, luka dan penyakit lahir lainnya. Dalam disiplin ilmu manthiq dikatakan:
اِنَّ الْمُجَرَّبَاتِ مِنَ الْقَضَايَا الْيَقِيْنِيَّاتِ
“Sesungguhnya beberapa eksperimen yang telah teruji kebenarannya termasuk jenis berita/proporsi yang berfaidah yakin”.
Demikianlah beberapa argumen mengapa QS al-Isra’ di atas dipahamai sebagai obat penyakit lahir. Tentu ini bukan tafsir yang menjadi kebenaran tunggal. Argumen-argumen di atas belum tentu disepakati. Namun demikian, terlepas dari perbedaan tafsir ayat di atas, ulama’ menegaskan bahwa al-Qur’an dapat menjadi obat penawar dari penyakit lahir dan batin. Wallahu a’lam.
(disarikan dari kitab “Kamal al-Iman fi al-Tadawi bi al-Qur’an” karya Syaikh Abdullah bin Muhammad Shidiq al-Ghumari, hal.121)
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren, tinggal di Kediri