Kitab Ihya Ulumiddin dianggap sebagai kitab babon dalam dunia tasawuf. Sayangnya banyak pernyataan yang menuduh bahwa al-Ghazali sering mencantumkan hadis-hadis daif bahkan palsu dalam kitabnya. Untuk memastikan hadis-hadis yang dikutip al-Ghazali memiliki sumber yang jelas atau tidak, Al-Iraqi, ulama kelahiran Mahran, menulis sebuah kitab yang berjudul “al-Mughni ‘an Hamli al-Ashfar fi al-Ashfar” yang merupakan kitab takhrij atas hadis-hadis yang ada dalam Ihya’ Ulumuddin.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Inbail Ghumar bi Abnail Umar menyebutkan bahwa ulama yang memiliki nama lengkap ‘Abdurrahim bin al-Husain bin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr bin Ibrahim al-Kurdi ar-Raziyani ini merupakan keturunan bangsa ‘Iraq, kelahiran kota Mahran, Mesir dan bermadzahab Syafi’i. Ia lahir pada tahun 725 H dan wafat pada tahun 806 H (81 Tahun).
Al-Iraqi merupakan pengajar di beberapa madrasah: Darul Hadits, al-Kamilah, azh-Zhairiyyah al-Qadimah, al-Qaransiqriyah, Jami’ Ibnu Thulun, dan al-Fadhilah. Ia juga pernah tinggal di dekat al-Haramain dalam beberapa waktu, Bahkan beliau pernah menjabat sebagai hakim di Madinah an-Nabawiyah, berkhutbah dan menjadi Imam di sana.
Selain al-Mughni, al-Iraqi juga menulis beberapa karya dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis. Seperti Kitab al-Marasil, Taqrib al-Isnad, At-Tabshirah wa at-Tadzkirah, Al-Alfiyah fi Gharib al-Qur’an, At-Tafsir wa al-Idhah fi Mushthalah al-Hadits, Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Tatsrib, Syarh at-Tirmidzi, bahkan ia juga pernah membuat syair dan syarh ilmu hadits dari Ibnu Shalah.
Mengenal Kitab Al-Mughni
Imam Ahmad bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghummari dalam Khushul al-Tafrij bi Ushul al-Takhrij menjelaskan bahwa kitab ini merupakan kitab takhrij hadis dari kitab “Ihya’ Ulumiddin” karya al-Ghazaly (505 H). Selain itu kitab ini merupakan ringkasan dari kitab takhrij “Ihya” sebelumnya yang belum selesai.
Sebelum mengarang kitab al-Mughni, al-Iraqi terlebih dahulu menulis kitab Al-Takhrij al-Kabir: Ikhbar al-Ahya’ bi Akhbar al-Ihya’ yang sama-sama merupakan takhrij dari kitab Ikhya karangan al-Ghazali. Namun kitab ini tidak sampai rampung. Kitab ini hanya ditulis al-Iraqi hanya sampai bab haji dalam bab Ihya’.
Setelah mengarang Al-Takhrij al-Kabir: Ikhbar al-Ahya’ bi Akhbar al-Ihya’ yang tidak sampai usai. Al-Iraqi kembali mengarang takhrij Ihya yang lebih ringkas. Kitab ini ia berinama Al-Takhrij al-Wasth: al-Kasyf al-Mubin fi Takhrij Ahadits Ihya’ Ulumiddin. Sebagaimana pendahulunya, kitab ini juga tidak sampai selesai, bahkan ada beberapa hadis yang tawaqquf.
Baru setelah menulis dua kitab yang semuanya tidak sampai selesai, al-Iraqi menulis kitab yang lebih ringkas dari pada dua kitab pendahulunya. Kitab ini diberi judul Al-Takhrij al-Shaghir: al-Mughni ‘an Hamli al-Ashfar fi al-Ashfar. Tidak seperti kedua pendahulunya yang tak sampai selesai, kitab ini berhasil dirampungkan oleh al-Iraqi. Kitab ini lah yang akan kitab bahas metodenya nanti.
Kitab ini ditulis menjadi bab per bab dan disesuaikan dengan bab-bab yang ditulis oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya. Bahkan beserta sub-sub bab yang ditulis oleh al-Ghazali. Setelah itu dikumpulkan semua hadis yang terdapat dalam bab tersebut beserta nomor juz dan halaman. Semua hadis yang dikumpulkan diberi nomor oleh al-Iraqi. Baru setelah itu ditakhrij dengan hanya mencantumkan kitab-kitabnya dan juga justifikasinya.
Mengenai cara yang digunakan oleh al-Iraqi dalam menulis kitab ini, Ahmad al-Ghummari memberikan pendapat bahwa saat ini para pembaca terlalu rumit jika membaca sanad yang terlalu panjang. Sehingga cara yang digunakan oleh al-Iraqi ini dianggap efektif.
Metode Takhrij Al-Iraqi dalam Kitab Al-Mughni
Dalam menyusun kitab al-Mughni ini, al-Iraqi menggunakan metode sebagaimana berikut:
Pertama, Hanya menyebutkan ujung hadis, periwayat dari sahabat, mukharrij serta justifikasi (terkadang menyebutkan hadis versi lengkap dalam mukharrijnya). Ia tidak mentakhrij atsar kecuali ada faedah.
Kedua, Jika sebuah hadis ditemukan di Sahihain maka ia cukup menisbatkan dan mempercayakan padanya terkait statusnya. Terkadang beberapa mukharrij lain juga sama.
Ketiga, Jika hadis tersebut terdapat dalam kitab sittah, dan tidak dinisbatkan lagi dalam kitab lain, berarti hadis tersebut sahih dalam kitabnya. Dan sekiranya lafadz yang digunakan mukharrij sama atau mendekati lafadz di Ihya.
Keempat, Menjelaskan sahih, hasan, dhaif atau bahkan hadis yang la ashla lah.
Kelima, Ia terkadang mengutip pendapat ulama dalam sebuah hadis seperti Ibnu Shalah dan an-Nawawi.
Keenam, terkadang ia menjelaskan hadis riwayat lain yang menyebutkan kata semakna walaupun dia telah menemukan dalam kitab tertentu.
Ketujuh, jika tidak menemukan hadis, ia akan mencari yang agak mendekati, jika masih tidak ketemu, ia cukup berkata “lam ajidhu”.
Kedelapan, jika hadisnya sama, ia cukup menyebutkan (taqaddama fi…).
Beberapa Fakta yang Terdapat dalam Kitab al-Mughni
Ada beberapa fakta menarik yang terdapat dalam karya al-Iraqi ini. Pertama, teryata tidak semua hadis ditakhrij oleh al-Iraqi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kitab takhrij yang muncul setelahnya, seperti: Al-Istidrak ala Takhrij al-ikhya, karya al-Asyqalani; Tuhfatul Ahya’ fi ma Fata min Takharij al-Ihya, karya al-Qasim bin Qatlubghi; dan Ithaf Sadat al-Muttaqin, karya al-Zubaidi. Kedua, al-Iraqi sering menyebut nama Ibnu Lahiah. Jika dalam sanad ada rawi tersebut disebutkan nama tersebut, artinya al-Iraqi meragukan atau bahkan mendhaifkan hadis tersebut, mengingat Ibnu Lahiah merupakan perawi yang berubah menjadi tidak dhabt setelah kitab-kitabnya terbakar.
Wallahu A’lam