Islami.co, Jakarta – Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang setara di ruang publik. Namun, ada anggapan bahwa perempuan masih dipinggirkan di ruang publik. Benarkah demikian?
Aktivis perempuan Dewi Candraningrum mengatakan bahwa pertanyaan ‘benarkah perempuan dipinggirkan di ruang publik?’ adalah pertanyaan klise.
“Sama seperti pertanyaan ‘benar nggak sih orang kulit hitam di Amerika itu terpinggirkan?’. Apakah itu perlu ditanyakan?” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk “Benarkah Perempuan Dipinggirkan di Ruang Publik” di Outlier Café, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Jumat (5/7/2024) lalu.
Editor buku seri Ekofiminisme ini menjawab pertanyaan tersebut melalui sebuah kasus yang terjadi di Jawa Tengah. Tepatnya kasus perempuan nelayan di Demak dan Jepara yang mengalami kesulitan saat mengajukan identitas kependudukan sebagai nelatan perempuan.
“Perempuan mengklaim di dalam KTP status sebagai nelayan perempuan. Simpel, kan? ‘KTP-ku ada status nelayan perempuan’. Nggak bisa, lho!” bebernya.
Dewi mengisahkan, para perempuan yang bekerja sebagai nelayan itu memerlukan waktu empat hingga enam tahun hanya untuk memperoleh status sebagai nelayan perempuan.
“Kenapa status nelayan itu lebih penting, lebih strategis, dibandingkan status istri nelayan? Karena, kalau suaminya meninggal, si istri nelayan ini tidak bisa mengklaim apapun,” jelasnya.
Dewi menyebut sejumlah hal yang tidak bisa didapatkan oleh perempuan ketika mereka hanya memiliki status kependudukan sebagai istri nelayan.
Di antaranya adalah mereka tidak bisa berhutang, mendapatkan kredit mikro, mendapatkan bantuan, hingga mendapatkan subsidi bahan bakar untuk melaut.
“Maka dari itu, benarkah perempuan dipinggirkan di ruang publik? Yo ora usah ditekokke (tidak usah ditanyakan). Karena itu klise,” tegas Dewi.
Dalam pandangannya, ketika pertanyaan itu diulang-ulang, itu justru meneguhkan bahwa perempuan masih menjada warga negara kelas dua.
“Perempuan juga menempati area ekonomi perawatan. Ekonomi perawatan yang selama ini nggak dibayar oleh negara,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, ada dua pekerjaan yang tidak dibayar. Salah satunya adalah pekerjaan perempuan.
“Ada dua pekerjaan perempuan yang nggak dibayar, pekerjaan domestik dan pekerjaan merawat,” ulasnya.
Perempuan kerap tidak dibayar ketika melakukan dua jenis pekerjaan tersebut karena dipandang bukan kerja produktif.
Satu pekerjaan lainnya yang tidak dibayar oleh sistem ekonomi kapitalis, Dewi menjelaskan, adalah pekerjaan alam atau environment service.