Akidah seorang muslim itu kuat, masak iya hilang gara-gara terompet dan kembang api belaka? Duh, malu dong sama generasi Salafu Shalih.
Sebentar lagi pergantian tahun, pertanda grup whatsApp, Line dan Blackberry Messengers (jika masih ada penggunanya) akan kembali dihiasi dengan dalil-dalil haram merayakan pergantian tahun Masehi. Dalil-dalil tersebut berasal dari pesan berantai yang tidak jelas sumbernya dan terkesan cocokologi, seolah saling berhubungan dan bisa diterima, tetapi ketika ditelaah belum tentu benar. Bahkan tidak berkorelasi sama sekali. Tujuannya baik: menjaga akidah seiman. Tetapi benarkah iman kita segampang itu hancur karena tiup terompet dan kembang api? Mari kita ulik bersama.
Penggiringan logika paling awal adalah mengatakan asal mula tahun baru Masehi berasal dari perayaan tahun bangsa Romawi, yang menyepakati pergantian tahun menggunakan kalender Gregorian, sehingga lahirlah pernyataan bahwa itu tradisi non-muslim. Lalu disambungkan dalil “Barang siapa menyerupai suatu kaum” yang populer itu sebagai penguat opini. Sebab hadis tersebut populer digunakan untuk menyudutkan fenomena-fenomena kebaratan tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan asbabul wurudnya (Baca: Tahun Baru dan Hadis Menyerupai Kaum Kafir).
Menurut saya, tahun baru masehi adalah tahun baru perayaan global. Meskipun memang Indonesia mayoritas muslim, tidak melulu semua hal dikaitkan dengan pendekatan islami. Perlu juga dikontekstualisasikan dengan keindonesiaan, jalan tengahnya adalah mengikuti hal-hal yang sudah terjadi dengan global. Misal di negara Islam banyak yang liburnya hari Jumat, tapi di sini hari Minggu. Semata bukan karena merayakan orang ke gereja tapi bagian dari kontekstualisasi hal yang cocok dengan Indonesia. Begitupula untuk perayaan tahun baru masehi.
Silakan jika tidak ingin merayakan tahun baru, silahkan pula jika ingin merayakannya. Banyak cara melakukan perayaannya, saya pernah merayakan pergantian tahun di majelis khotmil Qur’an dirangkaikan salat tahajjud dan bermuhasabah. Di lain kesempatan, saya melakukan bakar-bakar ikan bersama keluarga besar yang jarang berkumpul, aktivitas ini terdapat nilai silaturrahmi. Ataupun selayaknya perayaan tahun baru ala anak kosan, dengan menonton televisi dan menyaksikan kembang api di teras kamar. Merayakan tahun baru bisa dengan banyak hal, termasuk dengan kegiatan-kegiatan islami.
Masehi dan Hijriah Sama Saja
Kalaupun lebih nyaman merayakan tahun baru Islam, silahkan saja. Cuma jika diperhatikan dari metode perhitungan tahun baru tersebut (Masehi dan Hijriyah), keduanya telah tertulis dalam al Qur’an. Penjelasan keduanya dapat dijumpai dengan mempelajari ilmu Falak yang penyebutkan Syamsiyah untuk tahun masehi dan Qamariyah untuk tahun hijriyah, masing-masing ada dalilnya.
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak, dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui” (QS Yunus; 5).
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS Al An’am: 96).
Menurut Prof Quraish Shihab bahwa Allah telah menjadikan peredaran bulan dan matahari dengan sistem yang sangat teratur rapi. Dengan peredaran bulan dan matahari itu dapat diketahui waktu untuk beribadat dan bermuamalat. Itulah sistem yang sangat sempurna dan akurat. Peredaran matahari mengilhami perhitungan hari dan tahun. Sedang peredaran bulan mengilhami perhitungan bulan. Sehingga kita dapat memastikan bahwa kalender hijriah dan masehi telah direncanakan olehNya.
Kesabaran bukan Beradu Dalil
Dari tahun ke tahun kita selalu saja mempersoalkan masalah tahun baru hijrah dan giring opininya dari berita tanpa sumber di media social, gak capek? Kalaupun ada perbedaan pendapat ya dimaklumi saja. Urusan salat juga ada perbedaan pendapat, apalagi ‘hanya’ tahun baru. Menjadi pribadi islami, bukan berarti pribadi anti kekinian dan menolak konsep jaman now. Saya pribadi, kita sedang dibuat paranoid. Sedikit-sedikit curiga tentang ini dan itu, padahal dunia ini hanya tempat bersenda gurau. Urip gur mampir ngumbe lan nulis di islami.co.
Pertanyaannya masihkah kita mengisi tahun-tahun ke depan dengan perdebatan karena beda pendapat? Mengisi masa depan dengan ego masing-masing? Manusia negara lain sudah memikirkan ke bulan, sedang kita masih mantap berdebat sepanjang waktu.
Tentu kita tidak mau seperti sindiran dalam surah Quran ini: Demi waktu! “Demi masa –demi waktu yang telah senja. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan mengingatkan kepada kebenaran, dan mengingatkan kepada kesabaran” (QS Al Ashr: 1-3). Kesabaran bukan beradu dalil! Wallahu a’lam Bishawab