Berita kecelakaan Gus Aab (KH. Abdullah Syamsul Arifin Jember, Ketua Lembaga Dakwah PBNU) di jalan tol Trans-Jawa kemarin (29/01/2024) membuat saya ingat pada artikel yang saya tulis beberapa waktu lalu. Artikel ini sebetulnya makalah yang sedianya akan saya presentasikan di pertemuan sebuah komunitas sopir. Sayangnya, rencana itu tidak berlanjut dan makalah ini saya simpan saja. Baru hari ini saya membukanya kembali.
Pengetahuan berlalu lintas secara luas (bukan sekadar hafal pasal dan rambu-rambu, melainkan juga wawasan berkendara hingga “fikih jalan raya”) wajib diajarkan, terutama di masa sekarang, wabilkhusus kepada mahasiswa. Kiai dan/atau sopir kiainya, pejabat, tokoh masyarakat pun harus tahu agar mereka benar-benar bisa menerapkan akhlak atau etiket atau tata cara interaksi sosial secara bermartabat di tempat yang paling luas dan terbuka lebar tantangannya, yaitu di jalan raya.
Di Pondok Pesantren Annuqayah, materi pengenalan rambu-rambu dan tertib di jalan raya saya ubah konsepnya, menjadi “Berakhlak di Jalan Raya”. Ia merupakan program tahunan, menjadi materi paket dalam rangkaian orientasi pendidikan kampus (ORDIK) bagi mahasiswa baru. Sementara di tingkat SLTA, materi tersebut diselenggarakan di jenjang pendidikan tertentu, semacam mapel pilihan.
Dasar pemikiran ini adalah kenyataan banyaknya perilaku santri dan masyarakat secara umum yang tidak mempedulikan keselamatan—alih-alih akhlakul karimah—di jalan raya.
Jika pihak kepolisian (melalui Dikyasalantas) melihat penyelenggaraan semacam ini cenderung dari sudut pandang keselamatan, saya mengindoktrinasinya dari sudut pandang akhlak, yakni ‘muamalah’. Acapkali, materi dibumbui kaidah usul fikih yang ternyata dapat pula digunakan sebagai aturan tertib lalu lintas melalui perspektif analogi.
Pada dasarnya, masyarakat luas telah tahu fungsi lampu merah, mengerti pada rambu larangan menyalip di tikungan, anjuran untuk parkir paralel, dan lain sebagainya. Akan tetapi mereka tidak mengindahkannya karena semua itu dianggap bukan larangan yang setara dengan keharaman babi untuk dimakan, tidak seperti larangan makan di siang hari bulan puasa, bahkan dianggap tidak berdosa. Mereka lupa, bahwa hal-hal yang menyelamatkan jiwa/nyawa itu justru prioritas utama di dalam agama. Dan pelanggaran adalah pemantik utama dari itu semua.
Sementara itu, di jalan bebas hambatan (seperti jalan tol) kita beranggapan bahwa ia akan memberikan kita rasa aman dari kecelakaan karena di sana tidak ada sepeda motor, tidak ada orang menyeberang mendadak, tidak ada lampu merah, tidak ada pasar tumpah. Semua gangguan tersebut justru membuat euforia dalam otak kita, bahwa jalan tol itu bebas hambatan, tapi membuat orang lupa bahwa jalan tol tidak bebas dari kecelakaan.
Saya meyakini, umumnya, kecelakaan di jalan tol disebabkan oleh munculnya euforia semacam ini sehingga pengemudi cenderung enteng terhadap larangan menyalip dari bahu jalan, tidak mempedulikan aturan bahwa yang melaju lambat hendaknya di sisi kiri, cuek pada batas kecepatan 100 km/jam (di Trans-Jawa dan 80 km/jam di ruas tol Ujung Perak-Gempol).
Semua aturan di atas adalah ikhtiar keselamatan. Pada saat kita melanggarnya, pada saat itu pula kita telah menghapus salah satu poin ikhtiar—yang dibebankan Allah kepada hamba-Nya.
Mari kita uji!
Saya beri contoh bagaimana kita menghadapi kerumunan di tepi jalan yang biasanya disebabkan oleh pasar tumpah (seperti di Losari di Brebes atau Bandaran di Pamekasan). Pengemudi kendaraan yang sedang melaju cepat akan membunyikan klakson untuk meminta jalan, tapi sebetulnya ia bisa juga melambatkan laju (deselarasi) untuk penyelamatan. Inilah konsep “mengemudi defensif”.
Di saat itulah berlangsung jihadun nafs, yaitu pertarungan kita dengan egoisme diri sendiri, antara meminta hak dirinya dan juga mengutamakan orang lain (dalam ranah muamalah ini dianjurkan, selagi bukan dalam ranah ibadah, seperti ‘berburu’ shaf terdepan dalam shalat berjamaah).
Ada contoh yang lain. Di saat kita bersepeda motor dan di depan kita ada jalan bergelombang atau kubangan, biasanya orang cenderung berpindah ke lajur kanan, mengambil hak pengguna jalan yang datang dari arah berlawanan. Sebetulnya, tindakan seperti itu dimaafkan selagi sudah dipastikan tidak ada kendaraan yang datang dari arah depan (dilihat dengan mata) dan juga tidak ada yang datang arah belakang (dilihat melalui spion). Akan tetapi, kebiasaan seperti ini akan menciptakan atomic habit, yakni kebiasaan kecil yang nanti secara otomatis akan bekerja dengan sendirinya di suatu saat ketika seseorang berada dalam kondisi darurat.
Maka, jika jalan yang kita lalui tidak baik, terima saja itu sebagai bagian dari jatah kita karena kebetulan posisi kita berada di posisi itu, sebab kita akan mendapatkan jatah yang baik saat kita berada dalam perjalanan pulang. Secara simpel, begitulah konsep jihadun nafs di jalan raya.
Sebetulnya, cara pandang seperti ini adalah konsep keseimbangan di dalam semua sisi kehidupan. Oleh sebab itu, cara pandang yang keliru harus diubah, bahwa tindakan seperti tadi (menerima jalan yang rusak) adalah “mengambil jatah sesuai hak berdasarkan pilihan sendiri” dan ia lebih aman daripada nanti kita menerima jatah kesusahan yang diberikan Allah—dan kita cenderung mengeluh karenanya—sebagai balasan karena sebelumnya kita telah mengambil hak kebaikan orang lain pada saat kita diberi kesempatan untuk menerimanya secara legawa.
Untuk tirakat, di zaman sekarang, Anda tidak perlu sembunyi ke dalam gua. Untuk riadah, Anda tidak perlu duduk bersila, berwirid selama dua jam tanpa mengubah posisi duduk dan tanpa bicara. Anda bisa melaluinya dari langkah dasar, yaitu menyadari kemanusiaan Anda saat berada di jalan raya.
Bukankah Anda pernah membaca hadis ini? Hadis marfu’ riwayat Abi Umamah Iyas bin Tsa’labah al-Haritsi ini sangat populer, disebut juga dalam Riyadus Shalihin, pada bab yang membahas haramnya kezaliman dan kewajiban kita untuk menentangnya. Berikut bunyi hadisnya:
من اقْتَطَعَ حَقَّ امرئٍ مسلم بيمينه، فقد أَوْجَبَ اللهُ له النارَ، وحَرَّمَ عليه الجنةَ, فقال رجل: وإن كان شيئا يسيرا يا رسول الله؟ فقال: وإنْ قَضِيبًا من أَرَاكٍ
Hadis tersebut mengisyarakan larangan mengambil hak orang lain, sekecil dan sereceh apa pun itu bentuknya, bahkan andaipun ia hanya setingkat batang pohon yang amat kecil. Ancamannya serius, yaitu neraka.
Sekarang, kita bandingkan dengan mengambil jatah/hak orang lain yang jauh lebih besar, yaitu mengambil hak jalannya. Lantas bagaimana hukumnya?
Dengan menggunakan analogi ini, sebetulnya kita telah dapat memastikan apa hukum menyerobot di jalan raya itu. Jadi, ingatalah! Menyerobot memang akan membuat kita cepat sampai: kadang ke tempat tujuan, kadang ke sisi-Nya. Entah ke tempat tujuan, entah ke sisi-Nya, Anda tidak dapat memilihnya karena menyerobot itu adalah berjudi dengan kecelakaan di jalan raya.
Kita harus bergerak bersama-sama, lebih-lebih di saat uji kompetensi telah kehilangan marwahnya, di saat memiliki SIM sama mudahnya dengan membeli cemilan di toko kelontong, di saat indikator-indikator keselamatan dan kepakaran dapat dibeli dan diakui dengan cara yang tidak sah.
Jadi, bagaimana dengan UGM, UNU, UII, UIN, UI, dan ITS, ITB, dan kampus-kampus lain di Indonesia, apakah masih tetap mau menjejali mahasiswa dengan Tridharma Perguruan Tinggi atau malah cukup P4 saja namun lupa membekali mereka dengan wawasan akhlakul karimah dan tata cara interaksi sosial di jalan raya?