Ada perkembangan yang menarik dalam dunia pendidikan Islam (pesantren) dalam dua dekade terakhir. Pertama, mulai tumbuh dan berkembangnya tradisi “kajian” atau “pengkajian” dalam bentuk halqah atau seminar. Biasanya diadakan sebagai rangkaian acara hari besar keagamaan, haul, atau Mauludan. Materi yang dibahas dalam halqah lebihpersoalan kontemporer dengan pembahasan yang lebih “akademis” dan multi-disipliner.
Tradisi kajian sebenarnya sudah dirintis sejak akhir 1980-an, yang disebut oleh Martin Van Bruinessen sebagai gejala pembentukan wacana keagamaan baru di lingkungan pesantren. Namun menjadi marak seiring dengan era keterbukaan pasca era Reformasi hingga sekarang. Dikatakan sebuah perkembangan, karena sebelumnya pesantren masih berkutat dengan sistem pengajian. Aktivitas keilmuan yang mengacu pada materi pengetahuan normatif yang sudah baku atau dibakukan, dengan tujuan untuk mentransfer pengetahuan dari guru ke murid. Kerja keilmuan di seputar konsep pengajian berkisar pada upaya memelihara (menghafal) pengetahuan yang secara substantif sudah jadi atau sudah selesai.
Perkembangan yang kedua, adalah adaptasi pendidikan pesantren dalam merespon kemajuan pengetahuan dan tehnologi. Contoh menarik adalah Pesantren Balekambang, Jepara. Di bawah asuhan KH. Ma’mun, Pesantren Balekambang mengalami perkembangan pesat dengan mulai mengadopsi sistem pendidikan modern. Mulai tahun 2003 Pesantren Balekambang membuka Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Elektronika, Audio-video, tata busana, mekanik otomotif, Mekanika dan Tata Busana, hingga jurusan Animasi dan Tata Busana. Pendidikan model pesantren Balekambang ini sudah ditempuh oleh ribuan pesantren di Indonesia.
Rintisan lain yang patut diapresiasi dari dunia pendidikan Islam adalah adanya gerakan literasi di lingkungan pesantren. Sebenarnya tradisi literasi, kebahasaan atau baca-tulis ini tidak bisa dipisahkan dari dunia pesantren. Namun sebagai sebuah kesadaran baru untuk mengembangkan keilmuan dan potensi pelajar (santri) belum berlangsung secara massif.
Model pengembangan literasi yang layak diajukan sebagai contoh adalah Pesantren Qothrotul Falah di bilangan Cikulur, Lebak-Banten. Pesantren ini selain membangun perpustakaan yang lumayan bagus, juga mampu memfasilitasi para santrinya untuk membaca, menulis, dan berbicara (reading, writing, speaking). Hasilnya, bukan hanya karya tulis dari para santri, namun mereka telah berperan lebih jauh dalam kancah edukasi publik. Era informasi ternyata memberikan peluang yang sama bagi dunia pesantren dan pendidikan di luar pesantren untuk mengembangkan diri. Tinggal bagaimana pendidikan Islam mampu menyikapi, memanfaatkan, dan mengembangkan kesempatan yang ada di depan mata.
Dari perkembangan di atas, bukan tidak mungkin akan lahir pusat-pusat kajian ilmiah, perpustakaan, dan pengajaran ilmu alam yang terkemuka dari pesantren di masa yang akan datang. Pengalaman yang sebenarnya pernah dialami oleh umat Islam dengan Darul Ulum pada era Bani Fatimiah (395 H) di Kairo Mesir. Atau pusat-pusat kegiatan ilmiah dan budaya yang sangat berpengaruh dalam kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam seperti sekolah-sekolah Nizamiyah di Bahgdad (abad ke-5 H).
Pada bulan-bulan ini, menghadapi tahun ajaran baru, para orang tua sibuk mempersiapkan anaknya untuk memasuki dunia pendidikan. Ketika hendak memilih sekolah, biasanya dipilih sekolah mana yang bagus sarana-prasarananya, dan juga model pengajarannya yang baik. Bagi mereka yang mampu, biaya yang mahal tidak menjadi masalah untuk memilih sekolah yang favorit dengan biaya masuk yang mahal. Yang penting, anaknya berprestasi dengan capaian nilai sekolah yang bagus, bisa sebagai bekal untuk persiapan memasuki sekolah atau perguruan tinggi negeri.
Sementara itu, ada orang tua yang ingin anaknya tidak hanya sekedar memiliki pengetahuan, namun juga memiliki mental atau karakter yang baik. Mereka banyak yang memilih memasukkan anaknya ke pesantren, karena pesantren diyakini bisa membentuk karakter dengan modal pengetahuan keagamaan yang kuat, sehingga nantinya siap dalam mengarungi hidup.
Di tengah keadaan dalam masyarakat yang serba tidak menentu, tekanan dalam rumah tangga, sering membuat anak terasing dan terombang-ambing. Di sinilah tantangan seorang pendidik.
Tugas pertama-tama seorang pendidik adalah mengantarkan anak untuk menemukan dirinya sendiri, mengenali kelebihan dan kekurangannya, dan bergairah mengembangkan potensi yang dimilikinya. Tugas seorang guru terutama bukanlah menstrasfer ilmu pengetahuan atau menyampaikan mata pelajaran. Seorang pendidik mesti siap untuk menjadi pendamping dan motivator. Di sinilah keunggulan pesantren yang sudah teruji dan harus tetap dipertahankan selamanya. Sehingga, ajakan untuk memasukkan anak ke pondok pesantren layak kita sambut dengan tangan terbuka.