Aisyah, Istri Rasul Marah Saat Mendengar Kalimat “Perempuan Pembawa Sial”

Aisyah, Istri Rasul Marah Saat Mendengar Kalimat “Perempuan Pembawa Sial”

Aisyah, Istri Rasul Marah Saat Mendengar Kalimat “Perempuan Pembawa Sial”
Ilustrasi: Arab Women is a painting by Aeich Thimer

Pernah dengar hadis yang menjelaskan bahwa perempuan pembawa sial? Aisyah, Istri Rasul marah saat mendengar hadis itu.

Suatu hari Aisyah didatangi oleh dua orang yang merupakan bagian atau anggota keluarga Bani Amr. Dua orang Bani Amr ini mengadu kepada Aisyah tentang suatu hadis yang pernah mereka dengarkan sebelumnya. Selain sebagai istri Rasul, Aisyah juga seorang perempuan cerdas. Ia bahkan menjadi pembanding atau pengoreksi jika ada seorang sahabat yang meriwayatkan suatu hadis yang dianggap aneh.

Baca juga: Merasa Sial dalam Hidup adalah Perbuatan yang Batil

Selain sebagai pembanding, Aisyah juga menjadi pengkritik para sahabat yang terkadang salah memahami hadis atau tidak mengetahui kelengkapan suatu hadis sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan saat memahami hadis tersebut. Badruddin al-Zarkasyi bahkan secara khusus membuat satu karya yang menjelaskan kepiawaian Aisyah dalam mengkritik berbagai pandangan para sahabat. Karya al-Zarkasyi itu diberi judul al-Ijabah li Iradi ma Istadrakathu Aisyah ala al-Sahabah.

Dua orang dari Bani Amr yang mendatangi Aisyah itu kemudian bercerita perihal hadis yang ingin ia tanyakan kepada Aisyah. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.

إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ

Sesungguhnya pembawa sial itu ada tiga: kuda, perempuan, dan rumah”

Mendengar pernyataan yang disampaikan dua orang laki-laki tadi, Aisyah marah besar. Dalam riwayat Makhul yang disebut munqati’ (terputus, karena Makhul tidak bertemu Aisyah), diceritakan bahwasanya Aisyah sempat berkata bahwa Abu Hurairah tidak hafal bunyi hadis itu secara lengkap. Abu Hurairah, oleh Aisyah, dianggap hanya hafal bagian akhirnya saja, sedangkan bagian awal hadis tersebut tidak disebutkan olehnya, yaitu:

“قَاتَلَ الله اليَهُودَ، يَقُولُونَ الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ”

“Allah Swt. melaknat Yahudi karena mereka berkata bahwa kesialan itu ada pada tiga hal (kuda, perempuan, dan rumah).”

Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa Aisyah marah besar saat mendengar ucapan perempuan pembawa sial. Ia kemudian mencecar dua orang laki-laki Bani Amr yang datang itu. Ia bertanya kepada dua orang itu, “Lalu, apa yang dikatakan Abu Hurairah lagi?”

“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah menggunakan tiga hal itu untuk thiyarah, undian,” jawab Abu Hurairah sebagaimana disampaikan dua laki-laki itu kepada Aisyah.

Aisyah kemudian menyebutkan sebuah ayat, surat al-Hadid ayat 22:

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ – ٢٢

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.

Menurut al-Zarkasyi dalam al-Ijabah, dengan ayat tersebut Aisyah hendak mengatakan bahwa jika hadis di atas hanya difahami sepotong maka akan bertentangan dengan surat al-Hadid yang telah disebutkan di atas. Aisyah menyebut bahwa hadis Rasul itu adalah hanya sebuah kabar bahwa orang jahiliyah dahulu selalu menggunakan tiga hal di atas, termasuk perempuan untuk undian (tiyarah), jika nasib mereka tidak beruntung, mereka akan bilang kalau perempuan pembawa sial, begitu juga dengan kuda dan rumah. Sedangkan Islam melarang adanya undian seperti itu.

Begitu lah kepiawaian Aisyah dalam mengkritik sahabat atau orang yang hanya sepotong-potong menggunakan hadis tanpa mengetahui kronologi hadis itu secara lengkap. Apalagi jika hadis-hadis tersebut berkaitan dengan eksistensi perempuan, Aisyah adalah orang pertama yang mengkritiknya.

Baca juga: Aisyah, Istri Rasul dan Intelektual Muslimah Pertama

Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa hadis tidak bisa dipahami sepotong-sepotong, atau sebuah hadis tidak bisa difahami tanpa ilmu-ilmu yang berkaitan. Jika hanya demikian, maka akan berpotensi menimbulkan kesalahfahaman. (AN)

Wallahu a’lam.

 

*Artikel ini hasil kerja sama Islami.co dan RumahKitaB*