Di samping keahlian medis yang mumpuni, seorang dokter juga perlu memiliki kemampuan untuk membekukan hati (tanpa kehilangan empati) saat menghadapi pasien-pasien yang datang kepadanya dengan seribu satu kepedihan hidup karena penyakit yang dideritanya. Andai seorang dokter tak sanggup “membekukan” emosinya, mungkin setiap saat dia akan menguras air matanya dan setiap detik larut dalam kepedihan.
Tentu saja, tak perlu seperti itu untuk menjadi seorang dokter yang baik. Dia cukup melakukan tugasnya secara profesional, memiliki kejujuran hati, dan mematuhi kode etik progesi.
Saya bukanlah seorang dokter. Saya tak terlatih menyimpan hati ke dalam freezer. Saat mewawancarai seseorang karena tugas profesi, tak jarang saya larut hingga menorehkan pedih di dada saya, bahkan menumpahkan air mata.
Sanggupkah air matamu tak tumpah jika yang kamu temui adalah kisah seperti di bawa ini:
Dia hanyalah gadis kecil berusia 13 tahun. Seperti kebanyakan temannya, dia terbiasa tidur dengan ayah dan ibunya.
Malam itu, dia tidur diapit ayah dan ibunya di ranjang kumuh di sudut rumahnya yang berdinding kayu apa adanya. Saat dia terlelap dalam tidur indahnya, dia tersentak bangun karena teriakan gerombolan orang di depan rumahnya. Suara-suara dengan nada marah-mengancam meminta ayahnya ke luar rumah.
Keadaan gulita. Satu-satunya yang membuatnya masih bisa mengenali sekelilingnya adalah cahaya lampu di kejauhan yang menerobos lewat cela-cela dinding rumahnya.
Dalam kebingungan dan ketakutan, gadis kecil itu menemukan ibunya menangis dan ayahnya bergerak ragu antara lari atau melindungi. Orang-orang di luar mulai melempari genting, memecah kaca, dan mendobrak pintu yang tentu saja jebol dalam sekali tendangan.
Tangisnya semakin tinggi saat ibunya menjerit memohon-mohon pada orang-orang berpenutup kepala itu agar tak menyeret keluar ayahnya.
Dia hanyalah seorang anak kecil. Sungguh dia tak tahu apa yang terjadi. Tapi teriakan-teriakan malam jelas terngiang di telinganya “dukun santet”.
Sejak malam itu hidupnya berubah. Dia tumbuh dalam ketakutan dan rasa malu yang tak tertanggungkan. Dia butuh perlindungan, tapi kepada siapa. Dia juga tak punya bahasa untuk menyatakannya.
Yang ada di sisinya hanya ibunya yang semakin menua dalam sedih dan air mata. Dia tahu, dia merasakannya, ibunya ingin menghibur dan melindunginya saat teman-teman sekolah dan juga tetangganya mengoloknya sebagai anak tukang santet. Tapi, yang bisa dilakukan ibunya hanya memeluknya, kemudian menangis bersama.
Saat gadis kecil itu tumbuh remaja, dia menikah dengan seorang jejaka. Dia berharap menemukan malaikat pelindungnya, yang bisa menghapus air matanya, yang mengulurkan tangan untuk memeluknya, dan menyediakan dadanya untuk merebahkan lara. Dia ingin ada teman untuk menceritakan hari-hari kelam masa lalunya.
Tapi, lelaki itu sejahat mereka. Tiap kali marah, pukulan selalu diterimanya. Yang paling melukainya adalah umpatan suaminya, “Dasar anak tukang santet.”
Tahukah kau apa itu pedihnya pedih? Adalah saat malaikat yang kau puja dan damba tak lebih dari iblis jahat yang menghancurkanmu.
Tak ada lagi yang tersisa kecuali anak kecil semata wayang buah cintanya. Itulah yang membuat hidup terasa memiliki masa depan. Dia harus membuat keputusan. Dia berpisah dengan suaminya.
Setiap waktu adalah air mata. Setiap detik adalah doa: “Ya Allah, tak ada lagi dendam, tak ada lagi rasa. Aku hanya ingin Engkau menemaniku dan menjaga permataku.”
Ya, sudah tak ada rasa, tapi bukan putus asa. Jangan tanya di mana negara. Jangankan melindunginya, bahkan negara pun terasa enggan mengakuinya.
Tumpah ruah air mataku saat semestinya aku harus duduk berwibawa di depannya sambil melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah kususun daftarnya.
Malam hari menjelang tidur, dalam temaram lampu kamar, aku menggumam dalam doa: “Ya Allah, jika kemanusiaanku semakin terasah dengan tangisan, selalu getarkan hatiku saat kujumpai kezaliman dan ketidakadilan. Mungkin air mata mampu membuatku lebih bermakna sebagai seorang hamba. Mencintai-Mu, ya Allah, adalah memberikan jantung hati ini kepada makhluk ciptaan-Mu.”
Yogyakarta, 15 November 2018