Melalui buku “Air Mata Darah Untuk Pangeran Madinah: Sebuah Syarah Ringkas Terhadap Kitab Burdah Karya Imam Muhammad Al-Bushiri”, Kuswaidi Syafi’i memberikan penjelasan ringkas atas syair-syair dalam kitab Burdah. Meski singkat, penjelasan tersebut sangat membantu para pembaca untuk memahami maksud dari syair-syair itu.
Banyak cara yang dilakukan manusia dalam mengekspresikan cintanya. Ada yang berupa pujian atas paras kekasihnya, ada juga atas perangainya. Para musisi musik misalnya, menyusun sebuah lagu dengan alunan musik melankolis dan menyayat-nyayat, untuk bernostalgia dan mengenang kisah cinta bersama kekasih terbaiknya yang telah tiada.
Atau seperti para penyair yang merangkai setiap gurat wajah, lekuk tubuh, dan hiruk-pikuk kehidupan kekasihnya, menjadi sebuah untaian puisi. Seperti soneta-soneta roman Pablo Naruda yang diterjemahkan M. Aan Mansyur, puisi-puisi Nizar Qabbani, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, atau kisah roman Nizam Ganjavi yang viral itu, dan banyak lagi.
Begitu pun saat pujian-pujian disenandungkan kepada kekasih Allah Swt., yakni Nabi Muhammad Saw. Para penyair Islam merangkai syair begitu indah. Lalu dibacakan dengan iringan musik hadrah. Syahdu dan sakral sekali.
Para muhibbin Nabi Muhammad Saw., mengekspresikan cintanya dengan versinya masing-masing, sesuai isyarat yang mendatanginya, baik melalui mimpi, maupun langsung. Di antara versi yang lumrah dibaca: Simtu ad-Duror, al-Diba’i, al-Barzanji, Adhiya Ulami, al-‘Azab, dan Burdah.
Yang terakhir ini, berbeda dengan yang lain; murni pujian yang tersusun dalam bentuk syair. Syai-syair dalam Burdah terdiri atas 160 bait. Setiap baitnya, mengandung nilai sastra yang tinggi, lembut dan menyentuh pembacanya, terutama yang paham dengan bahasa Arab.
Apakah orang yang tidak paham bahasa dan sastra Arab bisa membacanya? Tentu, bisa. Sebab, karangan Imam al-Bushiri ini telah diterjemahkan dan disarikan dalam berbagai bahasa. Sehingga, semua orang, yang mendapati buku sesuai terjemahan bahasa daerahnya, bisa menikmati Qasidah Burdah tersebut.
Buku Air Mata Darah Untuk Pangeran Madinah
Di Indonesia, Kuswaidi Syafi’i telah menerbitkan buku yang berisi terjemahan Burdah serta catatan-catatan pendek sebagai uraian (syarah ringkas). Meskipun pendek, tapi catatan ini sangat membantu pembaca dalam memahami maksud atau makna tersirat dari bait-bait Burdah. Buku itu diberi judul “Air Mata Darah Untuk Pangeran Madinah: Sebuah Syarah Ringkas Terhadap Kitab Burdah Karya Imam Muhammad Al-Bushiri”.
Sebab, ada beberapa bait yang bercerita suatu kejadian, dan di dalamnya menyebutkan nama tempat yang asing bagi yang awam sejarah. Misalnya pada bait kedua:
أم هبت الريح من تلقاء كاظمة
و أومض البرق في الظلماء من إضم
Atau kau menangis disebabkan oleh angin yang berhembus dari kota Kazhimah?
Atau lantaran kilat yang menyambar di malam yang kelam dari Gunung Idhami?
Kuswaidi memberikan catatan, bahwa Kazhimah, bagi seorang sufi yang sengaja membenamkan diri di bumi ketidakterkenalan, tak lain adalah Taman Surga yang terletak di antara mimbar Rasulullah Saw. dengan rumahnya yang hari ini berada di dalam Masjid Nabawi yang senantiasa disesaki oleh orang-orang yang ingin mendapatkan sebanyak mungkin rahmat-Nya. Sedangkan, ‘Idhami merupakan nama sebuah gunung di dekat kota Madinah al-Munawwarah yang sering disinggahi oleh Rasulullah.
Kuswaidi melanjutkan, ketika kilat menyambar di malam yang kelam dari sekitar gunung ‘Idhami itu, orang-orang yang haus terhadap kedekatan dengan hadirat-Nya memahami dan merasakan hal itu sebagai kilauan cahaya Nabi Muhammad Saw. Cahay itu memang senantiasa diharapkan kedatangannya untuk direngkuh oleh setiap orang beriman. Dan masih banyak lagi catatan-catatan yang ditulis dalam bukunya. Tentu, sangat membantu.
Bait demi bait Burdah dalam buku Air Mata Darah Untuk Pangeran Madinah telah dikaji sekian tahun. Uniknya, penulis mengkajinya di kafe-kafe milik owner penerbit buku ini, di Jogja. Tentu, ngaji kitab di kafe nuansa dan sensasinya berbeda, tak sama dengan di mushala, masjid, atau aula khusus pengajian. Bagi Kuswaidi, kafe adalah tempat alternatif di mana seseorang bisa dengan leluasa “membawa Tuhan” ke sana. Pengajian kitab Burdah semakin sublim ketika senandung musik rohani dimainkan oleh grup musik al-Mizan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Uraian bait-bait Burdah dalam buku ini terbagi menjadi 10 bagian (fashl). Pertama, Nyanyian dan Derita Cinta. Kedua, Hati-hati terhadap Hawa Nafsu. Ketiga, Puji-puji untuk Sang Nabi. Keempat Hari Kelahiran Nabi. Kelima, Mukjizat-mukjizat Sang Nabi Saw. Bagian-bagian selanjutnya secara berurutan adalah Kemuliaan dan Keterpujian Qur’an; Isra’ dan Mi’raj Sang Nabi; Jihad Sang Nabi; Tawassul terhadap Sang Nabi, dan; Munajat dan Menyampaikan Hajat terhadap Sang Nabi Saw.
Termasuk penerjemah Burdah lainnya adalah al-Habib Muhammad bin Alawi Alaydrus (Sa’ad). Berbeda dengan Kuswaidi, beliau menerjemahkan dan menambahkan tentang rahasia dan khasiat yang terdapat dalam Burdah. Dalam versi terjemahan lain, ada yang melengkapi dengan Qosidah Mudloriyah, Muhammadiyah, dan do’a Burdah, diterbitkan oleh penerbit Mihrab.
Sebagai masukan, alangkah lebih sempurna jika di awal pembahasan buku Air Mata Darah Untuk Pangeran Madinah, Kuswaidi mendahuluinya dengan biografi tentang penulis Burdah. Kemudian juga melengkapinya dengan tambahan-tambahan seperti yang ditulis penerjemah di atas. Sehingga, dalam satu buku saja, pembaca bisa menikmati Qasidah Burdah secara lengkap.