Ahok, begitulah namanya, membangun Jakarta dengan kemajuan, baik infrastruktur, administrasi pemerintahan, maupun keberpihakan kepada mereka yang miskin melalui kebijakan pengadministrasian keadilan sosial harus dibayar dengan bui. Ia memang berkata kasar, tapi ia berkata benar tentang mereka yang menjual ayat suci untuk kepentingan politik. Namun, karena ia adalah dobel minoritas, ia tidak memiliki suara di publik untuk mengatakan itu. Di atas hukum dan undang-undang memang tertulis bahwa semua warga negara adalah sama, meskipun secara politik mereka tetaplah dianggap berbeda.
Atas nama penistaan agama, berbondong-bondong orang datang ke Monas, menuntutnya untuk di penjara. Melalui tekanan massa, ia akhirnya diputuskan bersalah dan mendapatkan hukuman selama 2 tahun.
Dalam penjara, Cahaya tidak pernah meredup, ia tetap menjadi Purnama mengenai keteladan seorang tokoh politik untuk menjaga amanah dengan benar, utamanya adalah tidak korupsi. Selama di penjara, namanya justru terus menjadi cahaya di tengah praktik politik busuk yang dilakukan oleh lawan-lawan politiknya. Satu-persatu mereka masuk bui karena menyelewengkan uang rakyat!.
Sebagai Purnama, ia belajar untuk tidak memiliki dendam. Sebaliknya, ia mengampuni orang-orang yang marah kepadanya. Ia mengakui ucapannya yang kasar ini adalah teguran dari Tuhan. Karena itu, ia berkali-kali meminta maaf. Namun, maaf yang dilakukan oleh orang yang memiliki dobel identitas minoritas adalah kesia-siaan di tengah suara mayoritas yang menganggap ucapan mereka adalah kebenaran.
Sebab itu, jika ada seorang Muslim, bahkan ia sekelas ustadz menodai mutiara Islam, maka itu bukanlah sebuah penistaan. Meskipun demikian, sebagai seorang Muslim, hanya karena mayoritas, ia merasa berhak untuk membicarakan agama lain. Dobel standar ini ada, cuma kita tidak mau mengakui.
Sebagai warga negara, ia memiliki hak untuk asimilasi di bulan Agustus kemarin; merasakan udara bebas dengan cara bergabung ke dalam masyarakat. Asimilasi sebagai bagian dari haknya sebagai warga negara sebenarnya memungkinkan untuk menyatukan kembali dirinya dengan dua buah hatinya yang terus bertumbuh dan membutuhkan figur seorang ayah. Namun, ia tidak mengambil haknya tersebut. Sebaliknya, ia justru khawatir, kebebasan bersyaratnya akan menciptakan kegaduhan di masyarakat dan menciptakan instabilitas negara.
Selain itu, ia merasa bahwa jika harus mengambil haknya tersebut akan menyisakan sisa dendam dalam dirinya yang sejak masuk penjara ia benamkan berkali-kali dengan mentafakuri kitab suci yang terus dibacanya berulang-ulang. Tapi, bukankah orang tidak akan peduli, apakah ia dendam ataupun tidak? Apalagi, tujuannya untuk memenjarakannya karena dianggap menghina Islam sudah tercapai.
Lalu untuk apa ia berkorban, di tengah banyak pemimpin tidak pernah mau mengorbankan dirinya untuk rakyat melalui praktik korupsi? Jikalau pun seolah-olah membela rakyat, kebijakannya, dengan gelontoran uang rakyat justru tidak mencerminkan keberpihakan.
Di sini, saya belajar tentang sebuah figur keteladanan sebagai seorang pemimpin, berkorban untuk kebaikan masyarakatnya. Kepentingan ini yang jauh dianggap melampaui semuanya. bahkan mengorbankan untuk bertemu secara intensif dengan keluarga tercintanya.
Saya juga belajar mengenai keteguhan karakter seorang politikus yang berkata sesuai nuraninya di tengah ombak yang justru menghempaskan dirinya.
Ahok tidak perlu merasa jadi orang baik yang dipantas-pantaskan jika itu tidak sesuai dengan karakter dirinya. Ia juga tidak mau menjadi contoh yang diterima oleh semua masyarakat agar diterima secara penuh.
Teladan seperti ini yang mulai hilang, ketika orang berlomba-lomba menampakan dirinya menjadi yang paling agamis tetapi kelakukan sehari-harinya jauh panggang dari api. Ada yang berpura-pura menjadi seorang santri yang soleh hanya untuk mendapatkan suara. Ada yang terus mengeluarkan kata-kata suci, tetapi ujungnya adalah korupsi yang justru dilaknat dalam Agama Islam, karena telah mengambil hak yang bukan miliknya.
Mengenai figur ini, saya teringat dengan satu peribahasa Arab, “undzur maa qoola walaa tandzur man qoola”. Artinya, “lihat apa yang disampaikan namun jangan lihat siapa yang menyampaikan.” Dengan kata lain, saya tidak peduli dia Tionghoa dan Kristen, tapi ucapan dan figurnya merupakan teladan untuk saya dan pembelajaran untuk anak-anak saya bahwa di satu waktu pernah ada Gubernur Jakarta dengan teladan dan karakter yang begitu kuat dengan kerja-kerjannya yang nyata, tanpa banyak bicara seperti membacakan puisi.
Jika ingin menempuh jalur politik, sosoknya adalah teladan yang harus diteruskan. Tapi, begitulah Cahaya, begitulah Purnama. Terkadang, ia memang cuma datang sebentar saja.