Ahok, Ahmad Dhani, dan Hukum Kompromi di Negeri Kita

Ahok, Ahmad Dhani, dan Hukum Kompromi di Negeri Kita

Ahok, Ahmad Dhani, dan Hukum Kompromi di Negeri Kita
Poto Antara

Kalau ceritanya ditarik ke belakang, sebagaimana saya yakini dan saya tulis, kasus dijebloskannya Ahok ke penjara dalam pandangan saya lebih karena tekanan publik, bukan karena murni kasus hukum. Orang bisa berdebat perihal bukti-bukti dan fakta hukum. Tapi kenyataan demonstrasi yang tanpa henti, juga menjelang pemilihan gubernur, membuat orang Tionghoa yang juga Kristen ini menjadi korban tekanan opini publik. Ini saya kira penyakit akut pengadilan kita.

Karena Ahok dihukum lewat tekanan publik dan sebagai komprominya pengadilan menjatuhkan hukuman, maka dasar logika ‘sama-sama harus masuk bui’ sepertinya, disadari atau tidak, tidak bisa dipungkiri sedang berjalan. Atau, setidaknya pihak lain harus menjalani model hukumuan yang kurang lebih setimpal. Rizik ‘dihukum’ lewat hukuman kota di Mekah, tidak bisa pulang. Ahmad Dhani dihukum 1,5 tahun karena cuitan, Buni Yani dihukum 1,5 tahun.

Hal ini bisa jadi karena intervensi politik tertentu (sebagaimana dituduhkan pendukung Dhani CS), tapi juga bisa terjadi karena semata institusi pengadilan berfikir: “biar sama-sama adil!” Adil lantas dikira kalau aktor kelompok A dihukum, maka aktor kelompok B lantas juga dihukum. Kenapa? agar ‘sama-sama adil’ dan merasakan penjara.

Jika Ahok dihukum karena tekanan publik dan dilaksanakan oleh institusi pengadilan, maka jika Dhani, Buni Yani atau Rizik dihukum karena logika lain diluar hukum, orang tidak bisa juga protes. Atau kalaupun protes, argumennya sama-sama lemah. Kalau dia beragumen ini ketidak-adilan pengadilan, Ahok juga dihukum dengan cara tidak adil, bukan? Orang akan dengan mudah berargumen: semua sudah melalui proses pengadilan. Pendukung Ahok akan bilang itu dengan mudah pada pendukung Dhani.

Ingat, kalau hukum digunakan sebagai alat untuk kepentinganmu saat ini, jangan salahkan jika suatu saat ia akan menerkam dirimu sendiri. Itulah yang terjadi sekarang, saya kira.

Orang lupa, bahwa keadilan dan hukum tidak bisa semata-mata dikatakan mendekati keadilan hanya karena mengikuti serangkaian proses (hukum acara pengadilan). Hukum positif berpijak pada landasan yang teramat rapuh jika dilepaskan dari hukum dan keadilan etis serta independensi.

Saya tidak mengatakan bahwa secara hukum mereka tidak menjalani proses pengadilan yang benar. Yang saya ingin kritik adalah akar dan fondasi persoalannya: bahwa hukum di Indonesia lebih mirip sebagai alat pemadam kebakaran yang diperintah untuk memadamkan api bernama tekanan publik atau intervensi politik (kasus Anas dulu sangat kental nuansa intervensi SBY pada lembaga hukum).

Tentu, kalau dibandingkan dengan model resolusi lain di luar hukum, misalnya yang konflik atau berbeda kepentingan itu malah saling tembak atau melakukan tindakan kekerasan pada lawannya, model hukum kompromi atau hukum sebagai alat pemadam kebakaran ini lebih baik. Tapi untuk jangka panjang, hukum haruslah menjadi institusi yang objektif dan netral, terlepas dari intervensi politik atau tekanan publik. Hukum harus bekerja atas rasionalitasnya.