Pada masa klasik Islam kecenderungan umum masyarakat menganggap bahwa orang alim, ulama atau cerdik pandai adalah orang yang banyak hapal pendapat-pendapat para ulama sebelumnya berikut teks-teks mereka, bahkan juga hapal nama-nama kitab dan silsilah masing-masing mereka sampai Nabi.
Semakin banyak hapalan seseorang, semakin alimlah dia. Sebaliknya orang yang tidak hapal teks, betapapun cerdas dan tangkasnya dia berargumentasi, ia tidak layak disebut orang alim atau ulama, melainkan lebih sebagai cendikiawan, intelektual, sarjana atau sebutan lainnya.
Pandangan ini mendapat kritik Ibnu Rusyd al Hafid (w. 1198). Filsuf, komentator utama Aristoteles dan faqih (ahli hukum Islam) terkemuka dari Andalusia, Spanyol, dan mujtahid besar, ini pernah melontarkan kritik terhadap para ulama pada masanya yang lebih rajin menghapal teks-teks keilmuan dan mengikuti pandangan-pandangan tekstual para ulama daripada melakukan analisis dan kajian-kajian mendalam, rasional dan empiris.
Para ahli fiqh, menurut dia, seyogyanya tidak terus menerus bertaklid kepada orang lain dan tidak hanya sibuk menghafal atau mereproduksi fiqh dan pikiran-pikiran para pendahulu mereka. Orang yang hapal produk-produk hukum para mujtahid, betapapun banyaknya, tidaklah patut disebut “faqih” dan “alim”. Seseorang baru bisa disebut “faqih” (ahli fiqh), dan “alim”, jika dia mampu menganalisis dan menggali teks-teks hukum secara mendalam, melalui argumen-argumen yang dapat diterima secara rasional dan sejalan dengan realitas yang berkembang. Apalagi jika ia bisa menciptakan kerangka dan metodologinya sendiri.
Ibnu Rusyd membuat analogi melalui seorang ahli sepatu. Ahli sepatu, katanya, bukanlah orang yang punya banyak sepatu yang siap pakai. Ia bukanlah kolektor sepatu, seperti Imelda Marcos atau pemilik toko sepatu. Memang baik saja orang yang punya banyak sepatu yang dengannya dia bisa memakainya, menjualnya kepada masyarakat atau memberikannya kepada yang memerlukannya.
Akan tetapi, repotnya adalah jika pada suatu saat ada pembeli atau ada orang yang meminta model terbaru atau dengan ukuran tertentu. Apalagi perubahan adalah niscaya, Ia adalah karakter makhluk hidup dan alam semesta. Masyarakat terus berkembang dari waktu ke waktu, cepat bosan dan selalu ingin hal-hal baru. “Kullu Jadid Ladzidz” (setiap yang baru itu enak). Maka bagaimanakah dia harus memenuhi permintaan orang tersebut bila model atau ukuran (size) tidak tersedia di rumah atau di tokonya? Ia tentu saja tidak bisa melayaninya atau memenuhinya.
Menurut Ibnu Rusyd, ahli sepatu adalah orang yang bisa membuat sepatu dan mampu menciptakan dan mengkreat model-model yang sesuai dengan trend zamannya. Dengan begitu, ia akan bisa memenuhi kebutuhan orang yang berbeda-beda dan dengan model apa saja, meski memang harus sedikit sabar, menunggu si ahli merancang dan mengerjakannya.